Pemberontakan Petani Ciomas 1886
Ilustrasi gambar
Masyarakat Jawa sebagian besar merupakan masyarakat agraris yang memandang tanah sebagai aset penting dalam kehidupan. Hal ini dikarenakan tanah merupakan sumber daya alam yang diolah untuk keperluan hidup. Di dalam masyarakat agraria khususnya di Jawa, dalam sistem kepemilikan tanah dibagi berdasarkan status sosial. Kelas pertama yaitu petani pemilik disebut juga kuli kenceng. Kelas kedua adalah petani penyewa atau disebut kuli karang kopek. Kelas ketiga adalah petani penggarap atau sering disebut bujang. Kelas status yang ketiga inilah yang selalu menjadi sasaran kebengisan atau kesewenang-wenangan bagi kelas yang berada di atasnya maupun penguasa. Tanah bagi masyarakat agraris berfungsi sebagai aset produksi untuk dapat menghasilkan komoditas hasil pertanian, baik untuk tanaman pangan ataupun tanaman perdagangan.
Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20 terdapat peristiwa historis dalam masyarakat petani di Indonesia. Ada beberapa perlawanan petani yang berskala besar dan terorganisir, diantaranya Gerakan Cikandi Udik (1845), Ciomas (1886), Ciampea (1892). Pada masa kolonial dikenal sebutan tanah partikelir. Tanah Partikelir itu sendiri berarti wilayah yang dibeli oleh swasta dari Belanda. Timbulnya tanah partikelir ini akibat dari penjualan tanah yang dilakukan oleh Belanda sejak zaman VOC, dan terus berjalan sampai pada abad 19. Semua tanah partikelir tersebut merupakan pemberian VOC kepada orang-orang yang dianggap telah berjasa dalam menjaga ketentraman suatu wilayah. Tanah-tanah tersebut berada di daerah di sekitar Bogor.
Kebijakan tanah partikelir ini dilanjutkan kembali oleh pemerintah Gubernur Jendral Herman Willem Daendels dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles. Kebijakan penjualan tanah partikelir ini bukan hanya menyerahkan sebidang tanah dan tanaman yang ada diatasnya melainkan juga penyerahan wilayah serta penduduk diatasnya dalam jangka waktu yang tanpa batas. Dan tuan tanah juga memperoleh hak-hak istimewa.
Pada awalnya penyerahan tanah dengan status tanah partikelir hanya dilandasi kepentingan politik. Namun, VOC banyak menghadiahkan tanah-tanah kepada orang yang dianggap bertanggung jawab atas keamanan dan ketentraman di Batavia untuk mencari dukungan dari pihak-pihak tertentu. Dan pada masa pemerintahan Daendels dan Raffles, tanah banyak dijual untuk reorganisasi dan rasionalisasi pemerintahan Hindia yang sedang bangkrut.
Karena tidak adanya konsistensi pemerintahan dalam menjalankan kontrol dalam menjalankan tanah partikelir, hal itu membuat tindakan tuan tanah yang sewenang-wenang tetap berjalan sehingga menimbulkan keresahan dan kegelisahan dikalangan petani. Para petani bertanggung jawab dalam urusan pembayaran pajak. Dan mereka yang mengolah tanah berkewajiban pula untuk melakukan kerja rodi selama lima hari disetiap bulannya. Tingginya pungutan pajak, pekerjaan berat yang sangat menekan petani serta tindakan pemerasan membangkitkan timbulnya gerakan-gerakan sosial di tanah partikelir. Dan hal inipun yang membuat petani di Ciomas melakukan pemberontakan atas ketidakadilan yang dilakukan para tuan tanah.
Pada tahun 1886, terjadi pemberontakan di kalangan petani di bagian utara lereng Gunung Salak. Gerakan ini disebut sebagai Gerakan Pemberontakan Petani Ciomas. Peristiwa ini merupakan suatu pertentangan antara para petani dengan tuan tanah dan pemerintah. Seperti di tanah partikelir lainnya, para petani di daerah Ciomas pun dihadapkan pada kondisi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan karena tenaganya dieksploitasi oleh tuan tanah, para pengawas, dan petugas tuan tanah lainnya yang menuntut pelayanan kerja yang berat serta pemenuhan pajak yang tinggi.
Situasi sosial ekonomi di daerah Ciomas sebelum terjadinya kerusuhan memang dirasakan sangat menekan. Pertama, para petani menaruh dendam kepada para pemungut pajak. Sebab untuk menuai padi, para petani harus menunggu waktu yang ditentukan oleh tuan tanah. Setelah itu, tuan tanah menugaskan petugas-petugas dan pengawas yang ditempatkan disawah untuk mengawasi panen. Oleh karena para petugas itu tidak diawasi langsung oleh tuan tanah, maka mereka cenderung menggunakan kedudukannya untuk praktik curang kepada petani. Kedua, para petani di Ciomas wajib mengangkut hasil panen tuan tanah dari sawah ke lumbung yang jaraknya antara 15 sampai 18 kilometer. Ketiga, di kebun-kebun dan pabrik-pabrik Ciomas berlaku sistem perbudakan yang lebih berat sehingga berlaku juga sistem tanam paksa. Kepada buruh yang tidak hadir atau datang terlambat akan dikenakan peraturan yang keras. Keempat, petani diwajibkan menyerahkan jenis barang tertentu, antara lain penyerahan dua butir kelapa untuk setiap pohon, penyerahan sebatang bamboo untuk sepetak sawah, penyerahan seluruh hasil pohon enau dan kopi yang diwajibkan ditanam dikebun petani yang jumlahnya 250 batang. Kelima, petani dilarang mengekspor padi, kerbau dan hasil bumi lainnya. Keenam, jika petani tidak dapat membayar hutangnya, maka akan dikenakan penyitaan atas tanah, rumah dan kerbaunya. Ketujuh, perluasan kekuasaan tuan tanah terhadap petani sampai juga pada pengawasan terhadap penjualan ternak, rumput, kayu, dan penebangan pohon-pohon. Dan terakhir, kaum wanita dan anak-anak pun harus bekerja selama Sembilan hari dalam sebulan.
Umumnya gerakan-gerakan yang terjadi di Indonesia merupakan suatu ketidakpuasan terhadap pemerintah terutama pemerintah kolonial, yang sebagian besar mereka bertindak sewenang-wenang terhadap kaum marginal atau petani yang ada di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Umumnya para petani yang melakukan gerakan ini mengungkapkan suatu bentuk protes yang mendasar terhadap keadaan hidup yang terjadi di pedesaan. Hampir dari semua gerakan yang telah terjadi, menunjukkan adanya konsep Ratu Adil. Ciri penting dari pemberontakan Ciomas adalah adanya bentuk perlawanan baik perseorangan maupun kelompok dan hal itu terjadi tanpa diduga-duga.
Adanya dominasi politik sosial ekonomi terhadap kaum petani pun menimbulkan situasi yang buruk yang pada akhirnya sampai pada konflik yang tajam. Menjelang pecahnya perlawanan petani di Ciomas, terjadi migrasi penduduk dari daerah tersebut. Bagi mereka yang sudah tidak tahan dengan praktik tuan tanah dan merasa terancam akan kehancuran ekonominya segera angkat kaki meninggalkan tanah partikelir di Ciomas. Dan terjadilah pelarian petani Ciomas yang jumlahnya mencapai 2000 orang.
ilustrasi gambar
Perlawanan secara langsung diawali dengan pemberontakkan pada tanggal 22 februari 1886, ketika camat Ciomas, H. Abdurrachim dibunuh. Dan pada bulan Februari pun, Arpan dan kawan-kawannya mundur ke Pasir Paok dan disana mereka menolak menyerahkan diri ke pemerintahan colonial. Pada bulan sebelumnya pun Mohammad Idris telah mengundurkan diri ke Gunung Salak. Ia adalah salah seorang yang membenci tuan tanah dan kaki tangannya. Karena sikapnya inilah, makin banyak petani pelarian dari tanah parteklir untuk menggabungkan diri. Setelah diadakan pertemuan di pondok kecilnya, Idris serta para pengikutnya sepakat untuk mengadakan penyerangan ke Ciomas.
Pada tanggal 19 Mei 1886, sesuai dengan rencana semula Idris dan pengikutnya berhasil menduduki Ciomas bagian Selatan. Selama menduduki daerah tersebut mereka tidak melakukan perampokan di gudang-gudang di Sukamantri, Gadong, dan Warungloa. Bahkan sebaliknya mereka mengatakan bahwa serangan yang dilancarkannya itu tidak bermaksud untuk merampok kekayaan, tetapi serangan tersebut hanya ditunjukkan khusus kepada pribadi tuan tanah. Tanggal 20 Mei 1886, beberapa pengikut Mohammad Idris langsung melampiaskan kekesalan menyerang agen-agen tuan tanah secara membabi buta setelah acara perayaan sedekah bumi itu berakhir. Dari Laporan diketahui sejumlah 40 orang mati dibunuh, dan 70 orang lainnya luka-luka.
Setelah pemberontakan petani di Ciomas, maka dua tahun kemudian terjadi pemberontakan petani di Banten. Karena peristiwa itu terjadi polemik yang berkepanjangan baik di Hindia Belanda terutama parlemen Belanda yang menyebabkan turunnya Gubernur Jendral Otto Van Rees, sehingga masalah Ciomas pun berhenti begitu saja. Namun, peristiwa ini menjadi alasan bagi para penentang kebijakan tanah partikelir mendesak pemerintahan Hindia Belanda untuk secepatnya mengambil kembali semua tanah-tanah partekelir yang ada di Hindia Belanda.
Sumber:
· Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka.
· DPD PEPABRI JAWA BARAT. Kilas Balik 62 Tahun Perjuangan Rakyat Jawa Barat. Bandung Jawa Barat: LPPM
· Iskandar, Ciomas 1886 Suatu Pemberontakan Petani di tanah Partikelir.
0 comments:
Post a Comment