Sejarah Perkebunan Tembakau Sumatera Timur (1865 - 1891)
Perkebunan Tembakau di Deli
sumber : kitlv.nl
Latar Belakang
Konsentrasi Pemerintah Hindia Belanda dalam perekonomian di Pulau Jawa dan banyaknya perang yang dihadapi di Jawa, terutama perang Diponegoro yang menghabiskan biaya, menyebabkan ekspansi wilayah ke Nusantara bagian barat tidak terlalu besar atau dapat dikatakan belum ada. Ketidakberminatan Belanda dalam melakukan ekspansi teritorial ke daerah-daerah luar Jawa tersebut karena sejak tahun 1830, Jawa menjelma menjadi sebuah daerah koloni yang menghasilkan banyak keuntungan lewat tanam paksa.
Munculnya kesadaran Belanda untuk melakukan ekspansi daerah-daerah nusantara lain disebabkan kekhawatiran akan terancamnya hegemoni Belanda di wilayah nusantara, terutama munculnya “Raja Brooke” di Serawak yang mendeklarasikan diri sebagai Raja Serawak dengan asal kebangsaan dari Inggris. Tidak hanya itu, ekspansi Belanda juga didasari oleh motif ekonomi seperti adanya pembukaan perkebunan komoditi ekspor serta penemuan bahan-bahan mineral yang berharga di daerah luar Jawa, yaitu timah di daerah pulau Bangka, Belitung, dan Singkep, batu bara di Ombilin, Sumatera Barat, emas di Kalimantan barat dan batu bara di Kalimantan Tenggara.
Dengan perluasan dan peningkatan ekonomi yang dilakukan oleh Belanda menyebabkan ketertarikan para pemodal asing untuk melakukan investasi di Hindia Belanda, terutama pada wilayah perkebunan. Maka pada tahun 1870 ketika kebijakan pintu terbuka atas Hindia Belanda diterapkan, banyak modal asing yang berkiprah dalam usaha perkebunan, salah satunya perkebunan tembakau di daerah Sumatera Timur.
Perkebunan tembakau Sumatera Timur melambung namanya ketika seorang Belanda, Jacob Nienhuis, pada tahun 1865 mampu menjual 189 bal daun tembakau dengan mudah di Eropa dengan harga yang tinggi dan kualitas yang baik. Hal itu ternyata mampu menarik perhatian kalangan-kalangan besar negeri Belanda untuk menanam tembakau di Sumatera Timur, seperti Badan Usaha Dagang Belanda (Nederlandshe Handel Maatschappij) milik Raja Willem I yang menanam sahamnya pada perkebunan Nienhuis tahun 1869. Kemudian, masuknya modal swasta mengakibatkan semakin luasnya wilayah perkebunan tembakau, dimana beberapa daerah di Sumatera Timur berubah kawasan dari hutan-hutan menjadi perkebunan.
Akan tetapi, semakin meningkatnya produksi tembakau dari Sumatera Timur pada akhir abad ke 19 membuatnya mengalami sebuah ketidakseimbangan dan penurunan, sedangkan permintaan menurun, terutama di Amerika karena diberlakukannya peningkatan bea impor membawa pada krisis tahun 1891. Untuk mengatasi hal tersebut perkebunan-perkebunan tembakau dikurangi jumlahnya dan untuk mengisi kekosongan lahan, pada tahun 1904 di Sumatera Timur wilayah perkebunan tersebut mulai ditanami tanaman eksport lain seperti kopi, karet dan kelapa sawit dalam skala besar.
Hal penting yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan perkebunan di Sumatera Timur tersebut adalah kebutuhan akan tenaga kerja. Kebutuhan tenaga kerja yang banyak tidak mampu disediakan oleh daerah Sumatera Timur sehingga mengakibatkan dipekerjakannya buruh dari luar Sumatera Timur, seperti pekerja Cina dan Jawa. Adanya pekerja-pekerja yang bekerja di perkebunan milik swasta tersebut memunculkan suatu peraturan kontrak kerja yang dikenal dengan Koeli Ordonantie dan Poenalie Sanctie.
PERKEMBANGAN PERKEBUNAN TEMBAKAU 1870-1891
Perkebunan Tembakau di deli, 1905
sumber : kitlv.nl
Sejak akhir abad ke-19, Hindia Belanda bukan lagi sebuah wilayah monopoli ekonomi dari Pemerintah Hindia Belanda. Kemenangan kaum liberal pada tahun 1850 di Belanda mendorong Hindia Belanda untuk dibuka sebagai tempat penanam modal swasta yang bertujuan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat pribumi. Modal swasta yang masuk tersebut tidak hanya dari negeri Belanda, tetapi juga negara lain seperti Inggris dan Amerika. Modal-modal tersebut masuk dalam berbagai sektor ekonomi, seperti perkebunan dan pertambangan. Dalam bidang perkebunan masuknya modal swasta mampu meningkatkan kuantitas perkebunan besar di beberapa wilayah di Jawa dan Sumatera, salah.satunya perkebunan termbakau di Sumatera Timur.
Wilayah Sumatera Timur masuk dalam wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda setelah ditandatanginya perjanjian antara Sultan Siak dan Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Februari 1858 yang dikenal dengan Traktat Siak. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Siak beserta daerah taklukannya sampai batas Tamiang yang berbatasan dengan Aceh berada di bawah perlindungan Belanda. Kemudian pada 22 Agustus tahun 1862 dibuat penandatangan perjanjian Acte van Verband antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Deli sehingga memperkokoh kekuasaan Belanda di Sumatera Timur. Maka ketika modal asing dibuka, Sumatera Timur telah berada di bawah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda.
Sebelum pengusaha-pengusaha barat datang untuk membuka lahan perkebunan, lahan yang subur telah dimanfaatkan oleh masyarakat di daerah sekitarnya, yaitu Batak Karo dan Melayu untuk menanam padi, dan cabai secara berselang-seling. Tidak hanya itu, masyarakat juga menanam lada untuk dieskpor serta menanam tembakau. Hal itu sudah diketahui juga oleh orang asing sejak masa Anderson*. Pengamatan Anderson mengenai penanaman tembakau Deli sangat penting karena tanaman inilah yang kemudian membuat Deli terkenal ke seluruh dunia. Tembakau yang ditanam oleh orang-orang Melayu dan Batak dilakukan dengan cara yang sangat sederhana**. Namun tanaman tembakau yang diusahakan oleh masyarakat tersebut masih dalam skala kecil sehingga tidak mampu memberikan keuntungan yang besar. Komoditas tembakau Sumatera Timur itu mendunia berkat jasa Jacob Nienhuis, seorang pekerja perkebunan belanda di surabaya, J.F. van Leeuwen and Co. yang datang ke Deli pada 6 Juli 1863 karena mendapat perintah untuk bertemu Said Abdullah yang menyatakan bahwa wilayah Deli sebagai wilayah yang berpotensi memproduksi tembakau dengan mutu baik. Namun pada awal tahun tersebut pengusahaan tembakau oleh Nienhuis tersebut tidak memberikan hasil yang baik sehingga J.F Leeuwen and Co. menarik kembali pekerja dan bantuannya ke Jawa, namun Nienhuis tetap bertahan. Pada 1865, perkebunan tembakau Nienhuis mampu menghasilkan daun tembakau sebanyak 189 bal. Nienhuis kemudian menjualnya ke Eropa dan mampu mendatangkan keuntungan karena bermutu baik sehingga menunjukan ketertarikan yang besar dari pengusaha-pengusaha di sana. Pada tahun 1869, Badan Perusahaan Dagang Belanda milik Raja Willem I (Netherland Handels Maatschappij) menanamkan modalnya pada perusahaan Nienhuis dan temannya (Jannsen dan Clemen), yaitu Deli Maatschappij dengan total saham 50%.
Ketika kebijakan pintu terbuka bagi modal swasta diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda, terbukalah kesempatan bagi para pengusaha Eropa untuk menanamkan modalnya di Wilayah Sumatera Timur dan hal tersebut juga didukung oleh pemberlakuan Undang-Undang Agraria tahun 1870. Undang-undang tersebut memberi peluang untuk membuka lahan perkebunan seluas-luasnya di wilayah Sumatera Timur. Pembukaan hutan untuk perkebunan tidak saja dipusatkan di Deli, akan tetapi meluas ke daerah Serdang, Langkat, Simalungun, dan Asahan. Maka wilayah Sumatera Timur yang awalnya merupakan hutan belantara, dalam beberapa dekade berubah menjadi salah satu daerah penghasil komoditi ekspor tembakau terpenting di Hindia Belanda. Daerah-daerah yang berada di sepanjang pesisir pantai Sumatera menjadi incaran para pengusaha Eropa untuk mengembangkan tanaman komoditas yang tengah laku di pasaran dunia.
Adapun untuk mendapatkan daerah perkebunan, para pengusaha-pengusaha asing tersebut harus menyewanya dari penguasa setempat seperti sultan Deli, sultan Langkat, dan yang lainnya. Perusahaan Nienhuis, yaitu Deli Maatschappij mendapatkan sewa tanah dari Sultan Deli, di mana sultan deli memberi konsesi-konsesi tanah dalam kontrak selama 12 tahun pertama, yang jangka waktunya berbeda-beda. Beberapa konsesi berlaku untuk 99 tahun, yang lainnya berlaku untuk 70 tahun atau 75 tahun. Pada Kontrak Mabar-Delitua tanggal 11 Juni 1870 yang ditanda tangani oleh Sultan Deli dan Deli Maatschappij , disepakati pembukaan lahan seluas 12.000 bau*** dalam waktu lima tahun. Pada akhir jangka lima tahun Deli Maatschappij memperoleh hak selama 99 tahun atas semua tanah yang sudah dibuka dan ditanami. Kontrak lain yang disepakati pada tanggal 4 Desember 1869, adalah Kontrak Polonia yang ditandatangani oleh Sultan Deli, yaitu hak konsesi untuk membuka tanah antara sungai Deli dan Babura. Pada tahun 1868 keuntungan yang diperoleh Jacobus Nienhuys lebih dari 100%, di mana biaya yang dkeluarkan 30.000 gulden dengan keuntungan 67.000 gulden.
Bukan hanya Sultan Deli yang menawarkan tanahnya kepada pemodal Eropa, melainkan juga Sultan Langkat. Tahun 1871 Sultan Langkat mengkonsesikan tanahnya seluas 17.000 bau, dan 20 buah perkebunan berdiri di atas tanah tersebut.
KRISIS PERKEBUNAN TEMBAKAU SUMATERA TIMUR 1891
Perkembangan perkebunan tembakau di Deli, Langkat, dan Serdang akhirnya mengalami kemunduran. Pada akhir dasawarsa delapan puluhan mulai tampak adanya kelebihan produksi, terlebih pada tahun 1891, di mana panen tembakau mencapai 500.000 bal atau lebih banyak dari tahun sebelumnya. Akibat dari kelebihan produksi tersebut menyebabkan terjadinya krisis sehingga harga tembakau jatuh di pasaran dunia melebihi 50%. Krisis yang terjadi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama pasar dunia mengalami peningkatan penawaran tembakau karena kenaikan produksi tembakau Deli. Kedua, UU tarif bea masuk Mc. Kinley (tarif bea masuk atas impor tembakau ke Amerika Serikat) dinaikkan sehingga pada tahun 1891 pembelian tembakau oleh Amerika tidak terjadi. Akibat dari adanya krisis tersebut maka beberapa perkebunan tembakau mulai ditutup sebagian. Antara tahun 1890 sampai 1894 tidak kurang dari 25 perusahaan tembakau yang memiliki banyak perkebunan di bubarkan.
Akibat penting dari adanya krisis 1891 adalah tidak hanya dikuranginya luas tanah yang ditanami tembakau, akan tetapi mulai ada peningkatan usaha penanaman tanaman-tanaman perdagangan baru yang mempunyai prospek ekspor yang baik di pasaran dunia layaknya tembakau, karena krisis 1891 memperlihatkan bahaya ekonomi yang bergantung pada satu tanaman (monoculture economy). Tanaman yang ditanam dalam skala besar dan menguntungkan adalah karet. Tanaman karet tersebut ditanam di daerah Serdang yang mulai diproduksi secara serius dalam skala besar pada tahun 1906 setelah sebelumnya melakukan penanaman percobaan dari tahun 1899 sampai tahun 1905.
BURUH PERKEBUNAN TEMBAKAU
Pekerja Perkebunan Tembakau di deli
sumber :kitlv.nl
Masalah mengenai tenaga kerja asing untuk perkebunan tembakau sejak awal telah muncul, yaitu sejak pertama kali perkebunan milik Nienhuis dibuka pada tahun 1863. Tidak seperti penduduk di Jawa yang padat dengan tanah yang sempit, di Sumatera Timur penduduknya sedikit dan tanah relatif luas untuk digarap sehingga tidak ada keinginan untuk bekerja di perkebunan asing untuk mendapatkan penghasilan. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja tersebut Nienhuis pergi ke Penang untuk memperkerjakan orang-orang Cina. Kemudian ketika modal swasta mulai banyak masuk ke Hindia Belanda, hal serupa pun juga dilakukan, yaitu mencari tenaga kerja Cina ke Penang dan Singapura melalui perantara-perantara (broker) Cina.
Pengerahan tenaga kerja lewat perantara tersebut cukup memakan biaya yang mahal karena para perantara menuntut uang komisi yang tinggi untuk jasa mereka, selain itu sistem rekruitmen tenaga kerja lewat perantara menimbulkan penyelewengan, seperti terjadinya penculikan dan penipuan terhadap calon tenaga kerja dengan cara membujuk calon tenaga kerja lewat janji yang muluk-muluk untuk pergi ke Sumatera Timur tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Oleh karena hal-hal tersebut, para pengusaha perkebunan mengambil keputusan untuk mencari sendiri pekerja-pekerja di negeri Cina. Pada tahun 1879 para pengusaha perkebunan tembakau Sumatera Timur tergabung dalam perhimpunan pengusaha-pengusaha perkebunan Deli (Deli Planters Vereniging atau DPV) sebagai sebuah tempat untuk membicarakan permasalahan yang dihadapi pengusaha perkebunan secara bersama-sama, termasuk mengenai tenaga kerja. Pada tahun 1888, DPV mendrikan suatu biro imigarasi untuk mengurus calon tenaga kerja dari Cina dan juga pengangkutannya dari Cina ke Sumatera Timur, serta mengatur alokasi pekerja-pekerja tersebut di berbagai perkebunan. Hasil yang diperoleh dari sistem ini cukup membuat tenaga kerja Cina tumbuh pesat di Sumatera Timur, yaitu yang pada tahun 1888 mampu mendatangkan 1.152 pekerja, pada tahun 1889 menjadi 5.167 pekerja dan pada tahun 1890 menjadi 6.666 pekerja.
Besarnya pengeluaran perusahaan untuk mendatangkan tenaga kerja dari Cina tentu tidak ingin merugi jika pekerjanya tersebut kabur sebelum bekerja dengan waktu yang disepakati, maka para pekrja tersebut diikat dalam sebuat sistem kontrak. Pada tahun 1888 Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan pertama mengenai persyaratan hubungan kuli kontrak di Sumatera Timur yang disebut Koeli Ordonnantie. Koeli Ordonnantie tersebut memberikan jaminan pada perusahaan terhadap kemungkinan pekerja-pekerja melarikan diri sebelum masa kontrak habis serta sebagai bentuk jaminan perlindungan para pekerja terhadap perusahaan tindakan sewenang-wenang. Peraturan mengenai buruh tersebut dilengkapi dengan aturan hukum Poenalie Sanctie, yaitu apabila pekerja-pekerja perkebunan melarikan diri dapat ditangkap oleh polisi dan dibawa ke perkebunan dengan kekerasan jika melakukan perlawanan. Hukuman lainnya dapat berupa kerja paksa tanpa bayaran ataupun perpanjangan masa kerja melebihi ketentuan dalam kontrak kerja.
Tidak hanya sebatas pada tenaga kerja/kuli Cina yang diperkerjakan karena mereka pekerja yang efisien dan hemat, perusahaan-perusahaan perkebunan juga menggunakan tenaga kerja dari Pulau Jawa. Penduduk Jawa dipilih karena mereka rajin, tahan bekerja serta memiliki kemampuan dalam bidang pertanian sehingga mampu menyesuaikan diri. Pada awalnya pemerintah Hindia Belanda melarang adanya penduduk Jawa yang bekerja di perkebunan Sumatera Timur, namun karena Pulau Jawa semakin sempit maka dilakukan transmigrasi, selain itu banyak yang ingin menghindari pajak kepala yang diterapkan oleh pemerintah.
Tenaga kerja dari Jawa yang didatangkan tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Para perempuan ini bekerja untuk mencari ulat tembakau, menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantungkan dan mengikat daun-daun tembakau. Dengan adanya tenaga kerja perkebunan dari luar Sumatera Timur dan berbagai masyarakat yang masuk ke Sumatera Timur dengan berbagai kepentingan mengakibatkan jumlah penduduk di Sumatera Timur semakin meningkat. Pada tahun 1880 jumlah penduduk Sumatera Timur berjumlah 118.755, naik menjadi 420.928 orang (naik 88%) pada tahun 1900. Pada tahun 1905 penduduknya berjumlah 568.417 orang (naik 35%). Demikian pula tahun 1915 penduduknya berjumlah 833.320 orang (naik 47%).
Kesimpulan
Perluasan ekspansi wilayah oleh pemerintah Belanda terhadap pulau-pulau di luar Jawa memberikan dampak yang mampu mengubah tatanan wilayah tersebut, salah satunya bidang ekonomi. Sumatera, salah satu pulau yang masih memiliki banyak lahan ‘kosong’ dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi perkebunan tidak lepas dari sorotan kolonial. Akan tetapi eksploitasi yang benar-benar optimal adalah ketika dibukanya Hindia Belanda untuk modal swasta sehingga perkebunan-perkebunan besar bermunculan, terutama perkebunan tembakau di wilayah Sumatera Timur yang menjamur pasca tahun 1870 karena Jacob Nienhuis memperkenalkan tembakau Deli ke Eropa pada tahun 1865 dengan kualitas tembakau yang tinggi serta keuntungan yang besar.
Dengan Undang-Undang Agraria yang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, para pengusaha swasta yang menanamkan modalnya tersebut diperbolehkan menyewa lahan untuk perkebunan mereka. Hal tersebut tidak cukup sulit karena raja-raja setempat memberikan hak sewa lahan dengan jangka waktu yang lama. Untuk mengelola perkebunan perkebunan tersebut digunakan kuli-kuli dari luar Sumatera Timur, yaitu kuli Cina, baik yang berasal dari Cina sendiri maupun dari Penang dan Singapura, serta tenaga kerja dari Jawa. Kuli-kuli yang masuk tersebut dikontrakan dengan suatu kontrak yang disebut Koeli Ordonantie. Di perkebunan tembakau tidak hanya kuli laki-laki yang diperkerjakan, tetapi juga wanita, bahkan anak-anak. Dengan masuknya tenaga kerja dari luar Sumatera Timur, otomatis jumlah penduduk Sumatera Timur bertambah dengan berbagai ras dan etnik.
Perkebunan-perkebuna tembakau tersebut mengalami titik nadir kegemilangannya pada tahun 1891 ketika jumlah produksi lebih tinggi dibandingkan permintaan pasar sehingga harganya jatuh sampai 50%. Akibat kejadian tersebut banyak perusahaan yang menutup perkebunannya, sedangkan yang lainnya berubah orientasi dengan menanam komoditi lain yang dapat setara dengan keuntungan tembakau, yaitu karet.
0 comments:
Post a Comment