Wednesday, 30 May 2018

Sejarah Islamisasi dan Tantangan Kristenisasi di Pematang Siantar, 1850-1913

Sejarah Islamisasi dan Tantangan Kristenisasi di Pematang Siantar, 1850-1913Sejarah Islamisasi dan Tantangan Kristenisasi di Pematang Siantar, 1850-1913
Sepanjang eksistensinya, Islam sebagai sebuah agama telah menorehkan tinta emas dalam sejarah umat manusia sejak 14 abad silam. Salah satu faktor yang mendorong Islam berkembang menjadi agama besar dan berpengaruh di dunia adalah penyebarannya yang sangat cepat. Sejak pertama kali didakwahkan oleh Nabi Muhammad pada abad ke-7, Islam telah mengubah tatanan kehidupan bangsa Arab yang mendiami kawasan Semenanjung Arab. Setelah Nabi Muhammad wafat, dakwah Islam dilanjutkan oleh pengikut-pengikutnya yang tersebar ke luar Semenanjung Arab. Selama berabad-abad setelahnya, Islam menjadi agama utama yang dianut bangsa-bangsa di Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, Afrika Utara, dan bangsa-bangsa di sekitar Laut Mediterania terutama Spanyol Selatan (Andalusia). Kekhalifahan Utsmaniyah dan Abbasiyah pun menggunakan Islam sebagai standar hukum negara sebagaimana yang sebelumnya dilakukan oleh Gereja-gereja di Eropa terhadap agama Kristen selama Abad Pertengahan.

Di Nusantara, Islamisasi berlangsung dengan sangat mudah. Berbagai suku-bangsa pribumi yang sebelumnya menganut kepercayaan nenek moyang asli maupun Hindu-Buddha, secara berangsur-angsur menerima Islam sejak abad ke-7. Lagipula, ajaran Islam menghendaki para penganutnya untuk menyebarkan agama lebih luas lagi. Oleh karena itu, siapapun boleh menjadi da’i (pendakwah). Dakwah yang sebagian besar dilakukan oleh para ulama dan pedagang secara damai dan tanpa paksaan berhasil mengokohkan Islam begitu kuat hingga menjadi agama resmi sebagian besar kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara.

Terkait dengan hal itu, Al-Qaradhawi mengatakan bahwa: “… da’i Islam adalah Islam itu sendiri. Akidah dan syari’at yang ada di dalam agama tersebut telah menarik manusia untuk memasukinya. Untuk kemudian tanpa dikurangi, Islam akan memberikan segala hal kepada orang yang memasukinya.” (Al-Qaradhawi, 2013: 207).

Secara umum Islamisasi di Sumatera lebih dahulu menjangkau negeri-negeri di daerah pesisir. Ramainya aktivitas pelayaran dan perniagaan di kawasan Selat Malaka dan Samudera Hindia mengakibatkan banyak sekali kota-kota pelabuhan yang muncul dengan corak keislaman yang kental. Kesultanan Aceh yang sangat bercorak islamis merupakan salah satu kerajaan yang secara politik dan ekonomi memiliki pengaruh dan kekuasaan yang paling luas di Sumatera bagian utara dan sebagian Semenanjung Malaya. Sejak era keemasannya di bawah Sultan Iskandar Muda hingga awal era kolonialisme Belanda, wilayah pengaruh Kesultanan Aceh di Sumatera bagian utara secara federatif meliputi semua pelabuhan-pelabuhan penting di pantai barat sampai ke Barus dan di pantai timur sampai ke Asahan (Reid, 2007: 3, Perret, 2010: 131). Oleh karena itu, mayoritas negeri-negeri di pesisir timur dan barat Sumatera bagian utara merupakan penganut Islam.


Sementara itu, negeri-negeri dan daerah daerah di pedalaman diketahui masih menganut agama dan kepercayaan nenek moyang. Bahkan hingga Belanda berkuasa, terjadi dua hal yang nantinya menjadi pengaruh yang sangat besar terhadap sejarah perkembangan agama-agama di wilayah yang kini disebut sebagai Sumatera Utara, yaitu:

(1) Islamisasi tidak hanya berlanjut dari pesisir yang didominasi oleh penduduk Melayu ke pedalaman yang didominasi oleh penduduk Batak, melainkan juga berlanjut secara mengejutkan masuk dari arah selatan (Sumatera Barat) ke Tapanuli oleh Kaum Paderi, sehingga berpotensi mengislamkan seluruh Tanah Batak;

(2) Belanda pada awalnya tidak keberatan jika penduduk Batak tetap memeluk agama nenek moyangnya, namun belakangan kehadiran Kaum Paderi di Tapanuli dipandang sebagai ancaman. Sejak itu, dimulailah agenda Kristenisasi terhadap penduduk Batak di pedalaman untuk membendung Islamisasi.


Mengislamkan Tanah Simalungun
Sebelum kedatangan Belanda, Islamisasi sudah menjangkau hampir seluruh daerah Sumatera bagian utara terutama di pesisir. Negeri-negeri Melayu di pesisir timur merupakan basis penganut Islam yang dikenal taat. Proses Islamisasi yang telah berlangsung sangat lama di kawasan Selat Malaka mengakibatkan keislaman di kalangan bangsa Melayu telah mengakar sangat kuat. Mudahnya Islamisasi di Sumatera bagian utara didukung oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) dakwah Islam dilakukan secara damai dan tidak mengandung unsur paksaan bagi pemeluk agama lain;
(2) ajaran Islam sangat mudah disesuaikan dengan kehidupan masyarakat;
(3) keimanan dalam ajaran Islam bersifat dogmatik terutama wajib mengimani kebenaran mutlak dari Tuhan yang sulit dicerna dengan logika manusia, sehingga kesucian dan kesakralannya dapat diterima oleh setiap pemeluknya.

Sementara itu, Islamisasi baru mulai menjangkau ke arah pedalaman Sumatera bagian utara ketika memasuki abad ke-19. Islamisasi juga menjangkau ke Tanah Simalungun, salah satunya adalah Pematang Siantar. Sebelumnya penduduk lokal telah menganut kepercayaan asli nenek moyang atau dapat juga disebut sebagai ‘agama suku’. Agama suku yang dianut oleh penduduk di sana dikenal dengan istilah Habonaron Do Bona yang lebih tepat tergolong dalam jenis aliran kepercayaan. Menariknya, arus Islamisasi ke pedalaman berlangsung hampir bersamaan dengan arus kolonialisme Belanda yang ingin menguatkan hegemoninya di pantai timur Sumatera. Belanda yang terlibat kontestasi dengan Inggris dalam hal penguasaan jalur perdagangan di pantai timur Sumatera mengharuskan mereka lebih aktif menjalin hubungan baik dengan penguasa-penguasa lokal (Reid, 2007: 32-37).

Pasca Gerakan Paderi yang berhasil diredam oleh pemerintah kolonial, sejumlah misionaris Kristen (zending ) mulai bergerak ke pedalaman dan berhasil mengumpulkan berbagai informasi. Di antara banyak informasi tersebut bisa diketahui bahwa ternyata Islamisasi sudah menjangkau ke Pematang Siantar pada dasawarsa 1850-an. Informasi dari misionaris Kristen menyebut bahwa sebelum tahun 1850 sudah ada penduduk dari kalangan bangsawan Simalungun yang menjadi penganut agama Islam terutama di Bandar (Siantar Hilir) yang berada dekat dengan,pemukiman orang Melayu. Agustono menyebut pula bahwa Islamisasi masuk dari Batu Bara di sebelah timur ke pedalaman Simalungun dan kemudian meluas ke daerah Kerajaan Siantar dan Tanah Jawa. Tidak jelas bagaimana Islam didakwahkan di sana. Namun bisa dipastikan bahwa Islamisasi di sana,tidak berlangsung semudah seperti di pesisir. Penyebabnya adalah penduduk lokal masih memiliki keinginan untuk mempertahankan kepercayaan yang sudah mereka anut secara turun-temurun. Di samping itu, tidak ada informasi yang menguatkan ada atau tidaknya aktivitas ulama yang berdakwah di sana. Dengan demikian, ajaran Islam yang tidak tersebar secara efektif mengakibatkan Islam sulit diterima dengan mudah oleh mayoritas penduduk, sehingga ajaran Habonaron Do Bona tetap dipertahankan (Agustono, 2012: 242).

Diduga kuat, Islamisasi di Pematang Siantar tidak didakwahkan langsung oleh para ulama, melainkan tersebar secara alami dan inklusif di tengah masyarakat sekitar dasawarsa 1850-an. Daerah pertama yang diidentifikasi memiliki kontak dengan Islam adalah Bandar yang bersebelahan dengan Tanjung Kasau, di mana masyarakat Melayu muslim bermukim. Di Bandar, pada awalnya Islam mulai dianut oleh kalangan bangsawan lokal. Di antaranya adalah keluarga Tuan Bandar Tongah dan Tuan Sariani Damanik. Setelah itu Islam segera dianut oleh saudaranya yang lain, salah satunya adalah Tuan Sawadim Damanik. Di samping itu, Islam yang telah dianut oleh keluarga bangsawan tersebut kemudian juga ikut dianut oleh kalangan kawula atau rakyatnya. Secara sederhana, demikianlah Islam diterima dan berkembang di daerah Pematang Siantar.

Walaupun Islamisasi di Pematang Siantar berlangsung lebih lambat, namun pada akhirnya keberhasilan Islamisasi di Bandar kemudian mempengaruhi pucuk kepemimpinan Kerajaan Siantar. Memasuki dasawarsa 1900-an, Raja Siantar bernama Sang Naualuh Damanik yang sebelumnya menganut kepercayaan Habonaron Do Bona memutuskan untuk masuk Islam. Setelahnya Islam mulai mengarah ke cara Islamisasi yang ideal. Berkat bantuan raja, agama Islam kemudian didakwahkan ke seluruh penjuru wilayah Kerajaan Siantar. Dalam mengupayakan Islamisasi di wilayahnya, raja mengerahkan bantuan dari para ulama dari negeri-negeri Melayu, Mandailing, bahkan Arab yang singgah untuk mengenalkan Islam di kalangan orang Simalungun. Tidak hanya itu, raja juga memiliki program-program yang bertujuan untuk mendukung seluruh kegiatan dakwah Islam. Di samping itu, karena di wilayahnya belum ada institusi lokal yang mengurusi persoalan keislaman, maka raja mendirikan sebuah rumah adat di kampung Naga Huta sebagai tempat pengajian. Selain itu, raja juga mewakafkan sebidang tanah untuk penduduk muslim yang kelak untuk pembangunan masjid, di mana kegiatan-kegiatan ibadah dilaksanakan.

Tidak hanya berperan aktif dalam mengislamkan penduduk di Simalungun, raja juga dikenal bijaksana dalam menjalin dan merawat hubungan dengan para ulama. Pada awalnya hubungan keduanya hanya berupa hubungan perdagangan. Para pedagang muslim yang juga berperan sebagai da’i tersebut sebelumnya telah menjalin kemitraan dengan para bangsawan. Kemitraan inilah yang kemudian dipandang olehvraja sebagai peluang, bahwa para da’i tersebut bisa menyebarkan pengetahuan agama Islam ke tengah-tengah masyarakat. Selain itu, raja juga memposisikan ulama sebagai penasihat pribadinya, khususnya dalam hal menentukan kebijakan pemerintahan. Dengan kata lain, kebijakan yang diputuskan oleh pihak kerajaan kemudian telah berlandaskan atas ajaran-ajaran dalam Islam. Pada periode inilah perkembangan Islam di Pematang Siantar mengalami puncaknya.


Menghadapi Kristenisasi dan Tekanan- tekanan Politik Kolonial
Islamisasi di Pematang Siantar juga menghadapi tantangan yang sangat besar, yaitu adanya upaya-upaya Kristenisasi yang didukung dengan tekanan-tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa upaya Kristenisasi tidak hanya dilatarbelakangi oleh motif agama, melainkan juga motif politik dan ekonomi. Tujuan Belanda sejak awal abad ke-19 sudah terang-terangan menginginkan penguasaan penuh atas segala potensi ekonomi yang terkandung di pantai timur Sumatera. Maka tidak heran Belanda rela ‘menukar’ sebagian kecil wilayah kekuasaanya di Semenanjung Malaya dan Afrika Selatan kepada Inggris demi berkuasa penuh atas pulau Sumatera. Di samping itu, daerah pedalaman seperti Tanah Simalungun dan Tanah Batak dibekali dengan potensi ekonomi yang menggiurkan, terutama karena sistem pertanian tradisional telah menghasilkan sejumlah komoditas perdagangan yang sangat menguntungkan untuk dipasarkan di Eropa. Untuk mewujudkannya, Belanda berupaya untuk memiliki kendali atas kerajaan-kerajaan lokal di sana. Kerajaan Siantar khususnya, tidak luput dari perhatian Belanda untuk ditaklukan secara definitif seperti halnya kerajaan-kerajaan Melayu di pantai timur Sumatera. Maka dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda, upaya membendung Islamisasi agar tidak semakin meluas ke daerah pusat Tanah Batak sangat diprioritaskan.

Hal yang paling membuat pemerintah Belanda begitu khawatir dengan perkembangan Islam adalah spirit keislaman yang bisa muncul kapan saja dari para penganutnya yang mengakibatkan mereka menjadi semakin sulit untuk ditaklukan dan dikendalikan. Ideologi jihad di jalan Allah dan anti-kafir sangat ditakuti Belanda dan itu sangat merepotkan mereka. Buktinya adalah kesulitan yang dialami Belanda ketika ingin menguasai Kesultanan Aceh.

Demikian pula dengan pengalaman Belanda ketika ikut campur dalam Perang Paderi. Maka wajar saja jika pengalaman tersebut mengakibatkan Belanda kian mewaspadai arus Islamisasi dari pesisir dan terutama dampak dari Gerakan Paderi di Tapanuli agar tidak menjangkau ke seluruh bagian pedalaman, di mana pengaruh politik dan ekonomi Kesultanan Aceh begitu terasa di sana sejak lama (Perret: 2010, 127-141). Menariknya, para ilmuwan dan ahli bahasa yang dikirim untuk mengumpulkan informasi bagi kepentingan kolonial seperti Franz
Wilhelm Junghuhn
dan Herman Neubronner van der Tuuk, ternyata merekomendasikan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk memperkenalkan agama Kristen kepada orang Batak, yang tujuannya adalah untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam” dan “orang Batak harus diinjilkan untuk membendung pengaruh Islam di bagian utara pulau Sumatera” (Kozok, 2010: 17-27). Untuk itulah misionaris Kristen dari lembaga penginjil asal Jerman Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG) dikirim ke sana untuk memetakan dan mengenalkan agama mereka kepada penduduk lokal. Dengan demikian, persekutuan pemerintah kolonial Belanda dan misionaris Kristen merupakan gabungan kekuatan untuk mewujudkan kepentingan mereka di Sumatera.

Tidak seperti keberhasilan para misionaris dalam mengkristenkan penduduk Batak di Lembah Silindung dan sekitar Danau Toba, justru sebaliknya di Pematang Siantar upaya tersebut terbilang gagal. Salah satu sebabnya adalah Islam telah dianut cukup kuat oleh penduduk di sana, sehingga upaya menarik perhatian mereka kepada agama Kristen tidak membuahkan hasil. Sebab lainnya adalah sang raja yang telah menganut Islam. Kabar telah masuk Islamnya Sang Naualuh Damanik sangat disesalkan oleh Belanda yang kerepotan dengan kekuatan Islam. Untuk mengubah situasi tersebut, pemerintah kolonial Belanda mengutus kontrolir agar membujuk raja masuk Kristen. Namun secara tegas ditolak oleh sang raja yang kukuh dengan keimanannya. Tidak sampai di situ, Belanda menemukan cara lain untuk menghilangkan pengaruh Islam di Kerajaan Siantar, yaitu menciptakan tekanan-tekanan dan intrik politik untuk menjatuhkan sang raja. Upaya menjebak dan mencari kesalahan sang raja ternyata gagal. Di samping itu, pemerintah kolonial juga memberi ancaman penjara kepada para ulama agar tidak kembali lagi ke Pematang Siantar. Upaya ini cukup berhasil, sehingga penduduk dijauhakan dari ulamanya.

Upaya pemerintah kolonial Belanda untuk menjatuhkan sang raja dari tahtanya terus berlanjut. Dengan licik, Belanda melontarkan tuduhan bahwa sang raja menguasai istri orang dan memiliki wanita simpanan lain serta tidak berbuat adil dalam menyelesaikan persoalan istri dan suami yang sedang bersengketa. Selain itu, Belanda juga menuduh sang raja telah mencoba meracuni aparat pemerintah kolonial dan mandor kecil di perkebunan. Dengan alasan tersebut, Belanda merasa berhak untuk menangkap dan menahan sang raja atas berbagai tuduhan yang menimpanya tersebut. Dengan kata lain, konspirasi yang diciptakan Belanda berhasil mengurung sang raja dengan alasan tindakannya sangat mengancam keamanan dan ketertiban di Simalungun. Pada akhirnya, pemerintah kolonial Belanda menangkap dan mengasingkan sang raja ke Bengkalis, Riau. Kekuasaan Kerajaan Siantar mutlak berhasil dikuasai dan dikontrol oleh Belanda. Dengan demikian pengaruh Sang Naualuh Damanik terhadap rakyat di wilayah bekas kekuasaannya telah berhasil dihilangkan. Dalam pengasingan, Sang Naualuh Damanik wafat pada 9 Februari 1913 dan dimakamkan pula di Bengkalis.

Demikianlah bahwa Islamisasi yang berlangsung di Pematang Siantar telah berhasil membentuk komunitas muslim yang kuat. Sejak wafatnya Sang Naualuh Damanik, Islamisasi di Siantar bisa dikatakan terhenti, namun rakyat Siantar yang sudah memeluk agama Islam tetap berpegang teguh dengan keyakinan mereka walaupun ada usaha kristenisasi dari pihak kolonial. hal ini disebabkan kebijakan yang dulunya berada di tangan raja Siantar Sang Naualuh berlandaskan Islam beralih ke tangan pemerintahan kolonial Belanda yang memasukkan unsur – unsur misi kristen (zending) di Siantar.,Islamisasi merupakan ancaman serius yang dapat menyulitkan penguasaan politik-ekonomi dan hegemoni mereka di Sumatera bagian utara. Serangkaian upaya Kristenisasi yang diupayakan oleh para misionaris Kristen atas kemauan pemerintah untuk merobohkan keimanan penduduk di Pematang Siantar untuk beralih ke Kristen. Di Pematang Siantar, Islamisasi ternyata telah berkembang kuat dan berusaha dilemahkan tidak hanya dengan percobaan Kristenisasi, melainkan juga dengan benturan benturan politis yang sengaja diciptakan oleh Belanda.


Akhir
Islamisasi di Tanah Simalungun mulai berlangsung sejak paruh kedua abad ke-19. Dari daerah Batu Bara di pesisir, Islam secara perlahan-lahan menyebar ke pedalaman Simalungun, termasuk Pematang Siantar. Islamisasi di Pematang Siantar pada awalnya berlangsung lambat karena penduduk lokal masih mempertahankan Habonaron Do Bona sebagai kepercayaan mereka. Tanpa adanya peran ulama, Islam berhasil diperkenalkan kepada penduduk di Bandar akibat kontak sosial dengan penduduk Melayu muslim dari daerah tetangganya, yaitu Tanjung Kasau. Barulah sekitar dasawarsa 1900-an, pengaruh Islamisasi di Bandar menular ke Kerajaan Siantar dengan masuk Islamnya raja Sang Naualuh Damanik. Setelahnya Islamisasi berlangsung dengan cara ideal, yaitu adanya peranan ulama sebagai pendakwah dan peranan raja dalam membantu dakwah di wilayahnya. Sejak periode itu penduduk di wilayah Kerajaan Siantar banyak yang menganut Islam. Sementara itu, untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda, Islamisasi merupakan ancaman serius yang dapat menyulitkan penguasaan politik-ekonomi dan hegemoni mereka di Sumatera bagian utara. Serangkaian upaya Kristenisasi yang diupayakan oleh para misionaris Kristen atas kemauan pemerintah terbukti gagal merobohkan keimanan penduduk di Pematang Siantar untuk beralih ke Kristen. Raja yang teguh keislamannya secara politik diturunkan dari tahtanya oleh pemerintah kolonial Belanda. Di Pematang Siantar, Islamisasi ternyata telah berkembang kuat dan berusaha dilemahkan tidak hanya dengan percobaan Kristenisasi, melainkan juga dengan benturan-benturan politis yang sengaja diciptakan oleh Belanda.***

0 comments:

Post a Comment