Sejarah Islamisasi dan Tantangan Kristenisasi di Pematang Siantar, 1850-1913
Sepanjang
eksistensinya, Islam sebagai sebuah agama telah menorehkan tinta emas
dalam sejarah umat manusia sejak 14 abad silam. Salah satu faktor yang
mendorong Islam berkembang menjadi agama besar dan berpengaruh di dunia
adalah penyebarannya yang sangat cepat. Sejak pertama kali didakwahkan
oleh Nabi Muhammad pada abad ke-7, Islam telah mengubah tatanan
kehidupan bangsa Arab yang mendiami kawasan Semenanjung Arab. Setelah
Nabi Muhammad wafat, dakwah Islam dilanjutkan oleh pengikut-pengikutnya
yang tersebar ke luar Semenanjung Arab. Selama berabad-abad setelahnya,
Islam menjadi agama utama yang dianut bangsa-bangsa di Timur Tengah,
Asia Tengah, Asia Tenggara, Afrika Utara, dan bangsa-bangsa di sekitar
Laut Mediterania terutama Spanyol Selatan (Andalusia). Kekhalifahan
Utsmaniyah dan Abbasiyah pun menggunakan Islam sebagai standar hukum
negara sebagaimana yang sebelumnya dilakukan oleh Gereja-gereja di Eropa
terhadap agama Kristen selama Abad Pertengahan.
Di Nusantara, Islamisasi berlangsung dengan sangat mudah. Berbagai
suku-bangsa pribumi yang sebelumnya menganut kepercayaan nenek moyang
asli maupun Hindu-Buddha, secara berangsur-angsur menerima Islam sejak
abad ke-7. Lagipula, ajaran Islam menghendaki para penganutnya untuk
menyebarkan agama lebih luas lagi. Oleh karena itu, siapapun boleh
menjadi da’i (pendakwah). Dakwah yang sebagian besar dilakukan oleh para
ulama dan pedagang secara damai dan tanpa paksaan berhasil mengokohkan
Islam begitu kuat hingga menjadi agama resmi sebagian besar
kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara.
Terkait dengan hal itu, Al-Qaradhawi mengatakan bahwa: “… da’i Islam
adalah Islam itu sendiri. Akidah dan syari’at yang ada di dalam agama
tersebut telah menarik manusia untuk memasukinya. Untuk kemudian tanpa
dikurangi, Islam akan memberikan segala hal kepada orang yang
memasukinya.” (Al-Qaradhawi, 2013: 207).
Secara umum Islamisasi di Sumatera lebih dahulu menjangkau negeri-negeri
di daerah pesisir. Ramainya aktivitas pelayaran dan perniagaan di
kawasan Selat Malaka dan Samudera Hindia mengakibatkan banyak sekali
kota-kota pelabuhan yang muncul dengan corak keislaman yang kental.
Kesultanan Aceh yang sangat bercorak islamis merupakan salah satu
kerajaan yang secara politik dan ekonomi memiliki pengaruh dan kekuasaan
yang paling luas di Sumatera bagian utara dan sebagian Semenanjung
Malaya. Sejak era keemasannya di bawah Sultan Iskandar Muda hingga awal
era kolonialisme Belanda, wilayah pengaruh Kesultanan Aceh di Sumatera
bagian utara secara federatif meliputi semua pelabuhan-pelabuhan penting
di pantai barat sampai ke Barus dan di pantai timur sampai ke Asahan (Reid, 2007: 3, Perret, 2010: 131). Oleh karena itu, mayoritas negeri-negeri di pesisir timur dan barat Sumatera bagian utara merupakan penganut Islam.
Sementara itu, negeri-negeri dan daerah daerah di pedalaman diketahui
masih menganut agama dan kepercayaan nenek moyang. Bahkan hingga Belanda
berkuasa, terjadi dua hal yang nantinya menjadi pengaruh yang sangat
besar terhadap sejarah perkembangan agama-agama di wilayah yang kini
disebut sebagai Sumatera Utara, yaitu:
(1) Islamisasi tidak hanya berlanjut dari pesisir yang didominasi oleh
penduduk Melayu ke pedalaman yang didominasi oleh penduduk Batak,
melainkan juga berlanjut secara mengejutkan masuk dari arah selatan
(Sumatera Barat) ke Tapanuli oleh Kaum Paderi, sehingga berpotensi
mengislamkan seluruh Tanah Batak;
(2) Belanda pada awalnya tidak keberatan jika penduduk Batak tetap
memeluk agama nenek moyangnya, namun belakangan kehadiran Kaum Paderi di
Tapanuli dipandang sebagai ancaman. Sejak itu, dimulailah agenda
Kristenisasi terhadap penduduk Batak di pedalaman untuk membendung
Islamisasi.
Mengislamkan Tanah Simalungun
Sebelum
kedatangan Belanda, Islamisasi sudah menjangkau hampir seluruh daerah
Sumatera bagian utara terutama di pesisir. Negeri-negeri Melayu di
pesisir timur merupakan basis penganut Islam yang dikenal taat. Proses
Islamisasi yang telah berlangsung sangat lama di kawasan Selat Malaka
mengakibatkan keislaman di kalangan bangsa Melayu telah mengakar sangat
kuat. Mudahnya Islamisasi di Sumatera bagian utara didukung oleh
beberapa faktor, yaitu:
(1) dakwah Islam dilakukan secara damai dan tidak mengandung unsur paksaan bagi pemeluk agama lain;
(2) ajaran Islam sangat mudah disesuaikan dengan kehidupan masyarakat;
(3) keimanan dalam ajaran Islam bersifat dogmatik terutama wajib
mengimani kebenaran mutlak dari Tuhan yang sulit dicerna dengan logika
manusia, sehingga kesucian dan kesakralannya dapat diterima oleh setiap
pemeluknya.
Sementara itu, Islamisasi baru mulai menjangkau ke arah pedalaman
Sumatera bagian utara ketika memasuki abad ke-19. Islamisasi juga
menjangkau ke Tanah Simalungun, salah satunya adalah Pematang Siantar.
Sebelumnya penduduk lokal telah menganut kepercayaan asli nenek moyang
atau dapat juga disebut sebagai ‘agama suku’. Agama suku yang dianut oleh penduduk di sana dikenal dengan istilah Habonaron Do Bona
yang lebih tepat tergolong dalam jenis aliran kepercayaan. Menariknya,
arus Islamisasi ke pedalaman berlangsung hampir bersamaan dengan arus
kolonialisme Belanda yang ingin menguatkan hegemoninya di pantai timur
Sumatera. Belanda yang terlibat kontestasi dengan Inggris dalam hal
penguasaan jalur perdagangan di pantai timur Sumatera mengharuskan
mereka lebih aktif menjalin hubungan baik dengan penguasa-penguasa lokal
(Reid, 2007: 32-37).
Pasca Gerakan Paderi yang berhasil diredam oleh pemerintah kolonial,
sejumlah misionaris Kristen (zending ) mulai bergerak ke pedalaman dan
berhasil mengumpulkan berbagai informasi. Di antara banyak informasi
tersebut bisa diketahui bahwa ternyata Islamisasi sudah menjangkau ke
Pematang Siantar pada dasawarsa 1850-an. Informasi dari misionaris
Kristen menyebut bahwa sebelum tahun 1850 sudah ada penduduk dari
kalangan bangsawan Simalungun yang menjadi penganut agama Islam terutama
di Bandar (Siantar Hilir) yang berada dekat dengan,pemukiman orang
Melayu. Agustono menyebut pula bahwa Islamisasi masuk dari Batu
Bara di sebelah timur ke pedalaman Simalungun dan kemudian meluas ke
daerah Kerajaan Siantar dan Tanah Jawa. Tidak jelas bagaimana Islam
didakwahkan di sana. Namun bisa dipastikan bahwa Islamisasi di
sana,tidak berlangsung semudah seperti di pesisir. Penyebabnya adalah
penduduk lokal masih memiliki keinginan untuk mempertahankan kepercayaan
yang sudah mereka anut secara turun-temurun. Di samping itu, tidak ada
informasi yang menguatkan ada atau tidaknya aktivitas ulama yang
berdakwah di sana. Dengan demikian, ajaran Islam yang tidak tersebar
secara efektif mengakibatkan Islam sulit diterima dengan mudah oleh
mayoritas penduduk, sehingga ajaran Habonaron Do Bona tetap
dipertahankan (Agustono, 2012: 242).
Diduga kuat, Islamisasi di Pematang Siantar tidak didakwahkan langsung
oleh para ulama, melainkan tersebar secara alami dan inklusif di tengah
masyarakat sekitar dasawarsa 1850-an. Daerah pertama yang diidentifikasi
memiliki kontak dengan Islam adalah Bandar yang bersebelahan dengan
Tanjung Kasau, di mana masyarakat Melayu muslim bermukim. Di Bandar,
pada awalnya Islam mulai dianut oleh kalangan bangsawan lokal. Di
antaranya adalah keluarga Tuan Bandar Tongah dan Tuan Sariani Damanik. Setelah itu Islam segera dianut oleh saudaranya yang lain, salah satunya adalah Tuan Sawadim Damanik.
Di samping itu, Islam yang telah dianut oleh keluarga bangsawan
tersebut kemudian juga ikut dianut oleh kalangan kawula atau rakyatnya.
Secara sederhana, demikianlah Islam diterima dan berkembang di daerah
Pematang Siantar.
Walaupun Islamisasi di Pematang Siantar berlangsung lebih lambat, namun
pada akhirnya keberhasilan Islamisasi di Bandar kemudian mempengaruhi
pucuk kepemimpinan Kerajaan Siantar. Memasuki dasawarsa 1900-an, Raja
Siantar bernama Sang Naualuh Damanik yang sebelumnya menganut
kepercayaan Habonaron Do Bona memutuskan untuk masuk Islam. Setelahnya
Islam mulai mengarah ke cara Islamisasi yang ideal. Berkat bantuan raja,
agama Islam kemudian didakwahkan ke seluruh penjuru wilayah Kerajaan
Siantar. Dalam mengupayakan Islamisasi di wilayahnya, raja mengerahkan
bantuan dari para ulama dari negeri-negeri Melayu, Mandailing, bahkan
Arab yang singgah untuk mengenalkan Islam di kalangan orang Simalungun.
Tidak hanya itu, raja juga memiliki program-program yang bertujuan untuk
mendukung seluruh kegiatan dakwah Islam. Di samping itu, karena di
wilayahnya belum ada institusi lokal yang mengurusi persoalan keislaman,
maka raja mendirikan sebuah rumah adat di kampung Naga Huta sebagai
tempat pengajian. Selain itu, raja juga mewakafkan sebidang tanah untuk
penduduk muslim yang kelak untuk pembangunan masjid, di mana
kegiatan-kegiatan ibadah dilaksanakan.
Tidak hanya berperan aktif dalam mengislamkan penduduk di Simalungun,
raja juga dikenal bijaksana dalam menjalin dan merawat hubungan dengan
para ulama. Pada awalnya hubungan keduanya hanya berupa hubungan
perdagangan. Para pedagang muslim yang juga berperan sebagai da’i
tersebut sebelumnya telah menjalin kemitraan dengan para bangsawan.
Kemitraan inilah yang kemudian dipandang olehvraja sebagai peluang,
bahwa para da’i tersebut bisa menyebarkan pengetahuan agama Islam ke
tengah-tengah masyarakat. Selain itu, raja juga memposisikan ulama
sebagai penasihat pribadinya, khususnya dalam hal menentukan kebijakan
pemerintahan. Dengan kata lain, kebijakan yang diputuskan oleh pihak
kerajaan kemudian telah berlandaskan atas ajaran-ajaran dalam Islam.
Pada periode inilah perkembangan Islam di Pematang Siantar mengalami
puncaknya.
Menghadapi Kristenisasi dan Tekanan- tekanan Politik Kolonial
Islamisasi
di Pematang Siantar juga menghadapi tantangan yang sangat besar, yaitu
adanya upaya-upaya Kristenisasi yang didukung dengan tekanan-tekanan
dari pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa upaya Kristenisasi tidak hanya dilatarbelakangi oleh
motif agama, melainkan juga motif politik dan ekonomi. Tujuan Belanda
sejak awal abad ke-19 sudah terang-terangan menginginkan penguasaan
penuh atas segala potensi ekonomi yang terkandung di pantai timur
Sumatera. Maka tidak heran Belanda rela ‘menukar’ sebagian kecil wilayah
kekuasaanya di Semenanjung Malaya dan Afrika Selatan kepada Inggris
demi berkuasa penuh atas pulau Sumatera. Di samping itu, daerah
pedalaman seperti Tanah Simalungun dan Tanah Batak dibekali dengan
potensi ekonomi yang menggiurkan, terutama karena sistem pertanian
tradisional telah menghasilkan sejumlah komoditas perdagangan yang
sangat menguntungkan untuk dipasarkan di Eropa. Untuk mewujudkannya,
Belanda berupaya untuk memiliki kendali atas kerajaan-kerajaan lokal di
sana. Kerajaan Siantar khususnya, tidak luput dari perhatian Belanda
untuk ditaklukan secara definitif seperti halnya kerajaan-kerajaan
Melayu di pantai timur Sumatera. Maka dengan bantuan pemerintah kolonial
Belanda, upaya membendung Islamisasi agar tidak semakin meluas ke
daerah pusat Tanah Batak sangat diprioritaskan.
Hal yang paling membuat pemerintah Belanda begitu khawatir dengan
perkembangan Islam adalah spirit keislaman yang bisa muncul kapan saja
dari para penganutnya yang mengakibatkan mereka menjadi semakin sulit
untuk ditaklukan dan dikendalikan. Ideologi jihad di jalan Allah dan
anti-kafir sangat ditakuti Belanda dan itu sangat merepotkan mereka.
Buktinya adalah kesulitan yang dialami Belanda ketika ingin menguasai
Kesultanan Aceh.
Demikian pula dengan pengalaman Belanda ketika ikut campur dalam Perang
Paderi. Maka wajar saja jika pengalaman tersebut mengakibatkan Belanda
kian mewaspadai arus Islamisasi dari pesisir dan terutama dampak dari
Gerakan Paderi di Tapanuli agar tidak menjangkau ke seluruh bagian
pedalaman, di mana pengaruh politik dan ekonomi Kesultanan Aceh begitu
terasa di sana sejak lama (Perret: 2010, 127-141). Menariknya, para ilmuwan dan ahli bahasa yang dikirim untuk mengumpulkan informasi bagi kepentingan kolonial seperti Franz
Wilhelm Junghuhn dan Herman Neubronner van der Tuuk, ternyata
merekomendasikan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk
memperkenalkan agama Kristen kepada orang Batak, yang tujuannya adalah
untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam” dan “orang Batak harus diinjilkan untuk membendung pengaruh Islam di bagian utara pulau Sumatera” (Kozok, 2010: 17-27). Untuk itulah misionaris Kristen dari lembaga penginjil asal Jerman Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG)
dikirim ke sana untuk memetakan dan mengenalkan agama mereka kepada
penduduk lokal. Dengan demikian, persekutuan pemerintah kolonial Belanda
dan misionaris Kristen merupakan gabungan kekuatan untuk mewujudkan
kepentingan mereka di Sumatera.
Tidak seperti keberhasilan para misionaris dalam mengkristenkan penduduk
Batak di Lembah Silindung dan sekitar Danau Toba, justru sebaliknya di
Pematang Siantar upaya tersebut terbilang gagal. Salah satu sebabnya
adalah Islam telah dianut cukup kuat oleh penduduk di sana, sehingga
upaya menarik perhatian mereka kepada agama Kristen tidak membuahkan
hasil. Sebab lainnya adalah sang raja yang telah menganut Islam. Kabar
telah masuk Islamnya Sang Naualuh Damanik sangat disesalkan oleh
Belanda yang kerepotan dengan kekuatan Islam. Untuk mengubah situasi
tersebut, pemerintah kolonial Belanda mengutus kontrolir agar membujuk
raja masuk Kristen. Namun secara tegas ditolak oleh sang raja yang kukuh
dengan keimanannya. Tidak sampai di situ, Belanda menemukan cara lain
untuk menghilangkan pengaruh Islam di Kerajaan Siantar, yaitu
menciptakan tekanan-tekanan dan intrik politik untuk menjatuhkan sang
raja. Upaya menjebak dan mencari kesalahan sang raja ternyata gagal. Di
samping itu, pemerintah kolonial juga memberi ancaman penjara kepada
para ulama agar tidak kembali lagi ke Pematang Siantar. Upaya ini cukup
berhasil, sehingga penduduk dijauhakan dari ulamanya.
Upaya pemerintah kolonial Belanda untuk menjatuhkan sang raja dari
tahtanya terus berlanjut. Dengan licik, Belanda melontarkan tuduhan
bahwa sang raja menguasai istri orang dan memiliki wanita simpanan lain
serta tidak berbuat adil dalam menyelesaikan persoalan istri dan suami
yang sedang bersengketa. Selain itu, Belanda juga menuduh sang raja
telah mencoba meracuni aparat pemerintah kolonial dan mandor kecil di
perkebunan. Dengan alasan tersebut, Belanda merasa berhak untuk
menangkap dan menahan sang raja atas berbagai tuduhan yang menimpanya
tersebut. Dengan kata lain, konspirasi yang diciptakan Belanda berhasil
mengurung sang raja dengan alasan tindakannya sangat mengancam keamanan
dan ketertiban di Simalungun. Pada akhirnya, pemerintah kolonial Belanda
menangkap dan mengasingkan sang raja ke Bengkalis, Riau. Kekuasaan
Kerajaan Siantar mutlak berhasil dikuasai dan dikontrol oleh Belanda.
Dengan demikian pengaruh Sang Naualuh Damanik terhadap rakyat di wilayah
bekas kekuasaannya telah berhasil dihilangkan. Dalam pengasingan, Sang
Naualuh Damanik wafat pada 9 Februari 1913 dan dimakamkan pula di
Bengkalis.
Demikianlah bahwa Islamisasi yang berlangsung di Pematang Siantar telah
berhasil membentuk komunitas muslim yang kuat. Sejak wafatnya Sang
Naualuh Damanik, Islamisasi di Siantar bisa dikatakan terhenti, namun
rakyat Siantar yang sudah memeluk agama Islam tetap berpegang teguh
dengan keyakinan mereka walaupun ada usaha kristenisasi dari pihak
kolonial. hal ini disebabkan kebijakan yang dulunya berada di tangan
raja Siantar Sang Naualuh berlandaskan Islam beralih ke tangan
pemerintahan kolonial Belanda yang memasukkan unsur – unsur misi kristen
(zending) di Siantar.,Islamisasi merupakan ancaman serius yang dapat
menyulitkan penguasaan politik-ekonomi dan hegemoni mereka di Sumatera
bagian utara. Serangkaian upaya Kristenisasi yang diupayakan oleh para
misionaris Kristen atas kemauan pemerintah untuk merobohkan keimanan
penduduk di Pematang Siantar untuk beralih ke Kristen. Di Pematang
Siantar, Islamisasi ternyata telah berkembang kuat dan berusaha
dilemahkan tidak hanya dengan percobaan Kristenisasi, melainkan juga
dengan benturan benturan politis yang sengaja diciptakan oleh Belanda.
Akhir
Islamisasi
di Tanah Simalungun mulai berlangsung sejak paruh kedua abad ke-19.
Dari daerah Batu Bara di pesisir, Islam secara perlahan-lahan menyebar
ke pedalaman Simalungun, termasuk Pematang Siantar. Islamisasi di
Pematang Siantar pada awalnya berlangsung lambat karena penduduk lokal
masih mempertahankan Habonaron Do Bona sebagai kepercayaan mereka. Tanpa
adanya peran ulama, Islam berhasil diperkenalkan kepada penduduk di
Bandar akibat kontak sosial dengan penduduk Melayu muslim dari daerah
tetangganya, yaitu Tanjung Kasau. Barulah sekitar dasawarsa 1900-an,
pengaruh Islamisasi di Bandar menular ke Kerajaan Siantar dengan masuk
Islamnya raja Sang Naualuh Damanik. Setelahnya Islamisasi berlangsung
dengan cara ideal, yaitu adanya peranan ulama sebagai pendakwah dan
peranan raja dalam membantu dakwah di wilayahnya. Sejak periode itu
penduduk di wilayah Kerajaan Siantar banyak yang menganut Islam.
Sementara itu, untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda, Islamisasi
merupakan ancaman serius yang dapat menyulitkan penguasaan
politik-ekonomi dan hegemoni mereka di Sumatera bagian utara.
Serangkaian upaya Kristenisasi yang diupayakan oleh para misionaris
Kristen atas kemauan pemerintah terbukti gagal merobohkan keimanan
penduduk di Pematang Siantar untuk beralih ke Kristen. Raja yang teguh
keislamannya secara politik diturunkan dari tahtanya oleh pemerintah
kolonial Belanda. Di Pematang Siantar, Islamisasi ternyata telah
berkembang kuat dan berusaha dilemahkan tidak hanya dengan percobaan
Kristenisasi, melainkan juga dengan benturan-benturan politis yang
sengaja diciptakan oleh Belanda.***
Wednesday, 30 May 2018
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment