Sejarah Monas, Lingga Yoni dan Presiden SoeKarno
Spoiler for tirto:
Dari
Yogyakarta, ibukota republik kembali ke Jakarta pada 1950 itu. Sukarno
selaku presiden pun langsung berhasrat membangun suatu simbol untuk
mempresentasikan karakter bangsa, layaknya Menara Eiffel di Paris
sebagai lambang Revolusi Perancis. Gagasan pembangunan Monumen Nasional
(Monas) pun menjadi salah satu agenda utama di dalam benak Bung Karno.
Tanggal 17 Agustus 1954, dibentuklah suatu komite nasional untuk
mewujudkan hasrat sang presiden. Sukarno menghendaki Monas dibangun di
Lapangan Merdeka yang berada tepat di depan Istana Merdeka sehingga
ketika ada tamu negara yang datang, simbol kemegahan bangsa Indonesia
itu langsung terlihat.
Sayembara Merancang Monas
Tepat setahun setelah komite nasional pembangunan Monas dibentuk, diadakanlah sayembara untuk rancangan monumen tersebut. Sayembara yang dimulai pada 17 Agustus 1955 itu berhasil mengumpulkan sebanyak 51 karya. Namun, hanya satu desain saja memenuhi kriteria, yakni karya Frederich Silaban (Eka Saputra, Indonesia Poenja Tjerita, 2016). Komite nasional yang dipimpin Sarwoko Martokusumo itu menilai, rancangan Silaban setidaknya memenuhi kriteria, yakni menggambarkan karakter bangsa Indonesia. Maka, diajukanlah desain itu kepada Bung Karno. Sang presiden ternyata hanya sedikit tertarik, tapi masih kurang puas.
Sukarno menghendaki monumen nasional berbentuk tugu yang tinggi menjulang menantang langit dengan gagahnya. Tak main-main, tugu itu nantinya akan dibuat dari beton dan besi pilihan, serta batu pualam yang tahan gempa dan tidak lekang digerus zaman setidaknya hingga 1000 tahun ke depan. Selain itu, monumen nasional harus bisa memantik semangat nasionalisme dan patriotisme. "(Bangunan) yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada materi yang mati,” tegas Presiden Sukarno waktu itu (Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek, 2005).
Sayembara pun digelar lagi untuk memenuhi hasrat sang presiden, dari tanggal 10 hingga 15 Mei 1960. Kali ini, yang mengirimkan karya jauh lebih banyak, yakni 222 orang dengan 136 desain rancangan bangun. Dari sekian banyak opsi itu, rupanya tidak ada satu pun yang sesuai harapan. Bung Karno memang terlalu perfeksionis jika berurusan dengan karya seni, ia adalah seorang arsitek, insinyur lulusan Technische Hogeschool, cikal-bakal Institut Teknologi Bandung (ITB).
Panitia yang nyaris putus asa kemudian membujuk Silaban untuk merevisi desain rancangannya sesuai dengan keinginan Presiden Sukarno. Selain itu, rancangan awal yang diajukan Silaban dinilai terlalu megah sehingga akan membutuhkan biaya yang amat besar untuk mewujudkannya. Sedangkan negara saat itu sedang dalam situasi perekonomian yang buruk. Silaban menolak mengubah rancangannya itu. Ia justru menyarankan agar pembangunan monumen nasional ditunda saja hingga kondisi keuangan negara membaik. Namun, hasrat Sukarno sudah tak bisa dibendung lagi dan harus diwujudkan dalam tempo yang secepat-cepatnya.
Sukarno menerima rancangan awal Silaban. Kemudian, ditunjuklah seorang arsitek bernama R.M. Soedarsono untuk mengejawantahkan desain tersebut dan diselaraskan seperti keinginan sang presiden. Soedarsono yang paham betul bahwa Sukarno sangat menyukai filosofi kemudian menyertakan angka 17-8-45 dalam rancangan baru itu. Angka 17-8-45 merujuk pada moment kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Dalam konteks rancangan monumen itu, susunan angka-angka tersebut diwujudkan dalam rencana pembangunannya: tinggi cawan dari halaman 17 meter, lebar dasar monumen 8 meter, dan lebar halaman cawan 45 meter (Adolf Heuken, Medan Merdeka Jantung Ibukota RI, 2008).
Antara Sakral atau Vulgar
Pembangunan monumen nasional akhirnya dimulai pada 17 Agustus 1961 di atas lahan seluas 80 hektare di seberang Istana Negara, Jakarta Pusat. Selain Soedarsono, Silaban selaku perancang awal desainnya pun turut dilibatkan dalam pelaksanaan proyek mercusuar ini. Sesuai keinginan Bung Karno, monumen nasional nantinya berupa tugu yang tegak berdiri dengan cawan sebagai wadah di bagian bawahnya. Bentuk seperti ini sebenarnya sudah cukup lama dikenal di Indonesia. Inilah Lingga-Yoni, simbol hubungan sakral antara laki-laki dan perempuan, yang menjadi salah satu unsur khas di banyak candi peninggalan leluhur Nusantara.
Dalam buku Candi Indonesia: Seri Jawa, Indonesian-English terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) yang dihimpun Edi Sedyawati dan kawan-kawan, disebutkan bahwa Lingga adalah simbol Syiwa (salah satu dewa tertinggi dalam ajaran Hindu) dengan bentuk alat kelamin laki-laki. Sementara Yoni merupakan perlambang kesuburan yang menjadi simbol alat reproduksi perempuan.
Lingga-Yoni memang sering ditemukan pada candi-candi yang ada di Indonesia. Sukarno sendiri mengakui bahwa ia terinspirasi dengan Lingga-Yoni yang terdapat di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. “Monumen-monumen itu pencerminan dari jiwa besar Indonesia,” sebut Bung Karno. Namun, tentu saja Lingga-Yoni yang mewujud pada bentuk monumen nasional tidak melulu dimaknai dengan konotasi yang boleh jadi dianggap vulgar. Buku resmi tentang Monas berjudul Tugu Nasional: Laporan Pembangunan terbitan tahun 1978 menjelaskan lebih rinci mengenai pemaknaan Lingga-Yoni itu.
Disebutkan, selain sebagai lambang kesuburan pria dan wanita, bentuk Monas yang berupa Lingga-Yoni juga melambangkan alu dan cawan, alat tradisional yang sangat umum bagi rakyat Indonesia, terlebih di pedesaan. Lingga-Yoni bisa pula dimaknai sebagai lambang dua sisi yang selalu ada di dunia ini, misalnya siang-malam, kanan-kiri, dan seterusnya.
Pembangunan Monas sempat tersendat karena terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang kelak menjadi pemicu runtuhnya Orde Lama. Namun, Bung Karno tidak sempat melihat proyek monumen nasional yang lama didambakannya itu rampung. Presiden pertama RI ini wafat pada 21 Juni 1970 ketika Soeharto sedang memantapkan posisinya sebagai penguasa baru. Lima tahun berselang, proyek pembangunan monumen nasional akhirnya rampung juga. Monas yang menjadi impian Sukarno justru diresmikan oleh penerus yang sekaligus kerap diindikasikan sebagai penggulingnya, Soeharto, pada 12 Juli 1975, tepat hari ini 43 tahun lalu.
Sayembara Merancang Monas
Tepat setahun setelah komite nasional pembangunan Monas dibentuk, diadakanlah sayembara untuk rancangan monumen tersebut. Sayembara yang dimulai pada 17 Agustus 1955 itu berhasil mengumpulkan sebanyak 51 karya. Namun, hanya satu desain saja memenuhi kriteria, yakni karya Frederich Silaban (Eka Saputra, Indonesia Poenja Tjerita, 2016). Komite nasional yang dipimpin Sarwoko Martokusumo itu menilai, rancangan Silaban setidaknya memenuhi kriteria, yakni menggambarkan karakter bangsa Indonesia. Maka, diajukanlah desain itu kepada Bung Karno. Sang presiden ternyata hanya sedikit tertarik, tapi masih kurang puas.
Sukarno menghendaki monumen nasional berbentuk tugu yang tinggi menjulang menantang langit dengan gagahnya. Tak main-main, tugu itu nantinya akan dibuat dari beton dan besi pilihan, serta batu pualam yang tahan gempa dan tidak lekang digerus zaman setidaknya hingga 1000 tahun ke depan. Selain itu, monumen nasional harus bisa memantik semangat nasionalisme dan patriotisme. "(Bangunan) yang mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada materi yang mati,” tegas Presiden Sukarno waktu itu (Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek, 2005).
Sayembara pun digelar lagi untuk memenuhi hasrat sang presiden, dari tanggal 10 hingga 15 Mei 1960. Kali ini, yang mengirimkan karya jauh lebih banyak, yakni 222 orang dengan 136 desain rancangan bangun. Dari sekian banyak opsi itu, rupanya tidak ada satu pun yang sesuai harapan. Bung Karno memang terlalu perfeksionis jika berurusan dengan karya seni, ia adalah seorang arsitek, insinyur lulusan Technische Hogeschool, cikal-bakal Institut Teknologi Bandung (ITB).
Panitia yang nyaris putus asa kemudian membujuk Silaban untuk merevisi desain rancangannya sesuai dengan keinginan Presiden Sukarno. Selain itu, rancangan awal yang diajukan Silaban dinilai terlalu megah sehingga akan membutuhkan biaya yang amat besar untuk mewujudkannya. Sedangkan negara saat itu sedang dalam situasi perekonomian yang buruk. Silaban menolak mengubah rancangannya itu. Ia justru menyarankan agar pembangunan monumen nasional ditunda saja hingga kondisi keuangan negara membaik. Namun, hasrat Sukarno sudah tak bisa dibendung lagi dan harus diwujudkan dalam tempo yang secepat-cepatnya.
Sukarno menerima rancangan awal Silaban. Kemudian, ditunjuklah seorang arsitek bernama R.M. Soedarsono untuk mengejawantahkan desain tersebut dan diselaraskan seperti keinginan sang presiden. Soedarsono yang paham betul bahwa Sukarno sangat menyukai filosofi kemudian menyertakan angka 17-8-45 dalam rancangan baru itu. Angka 17-8-45 merujuk pada moment kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Dalam konteks rancangan monumen itu, susunan angka-angka tersebut diwujudkan dalam rencana pembangunannya: tinggi cawan dari halaman 17 meter, lebar dasar monumen 8 meter, dan lebar halaman cawan 45 meter (Adolf Heuken, Medan Merdeka Jantung Ibukota RI, 2008).
Antara Sakral atau Vulgar
Pembangunan monumen nasional akhirnya dimulai pada 17 Agustus 1961 di atas lahan seluas 80 hektare di seberang Istana Negara, Jakarta Pusat. Selain Soedarsono, Silaban selaku perancang awal desainnya pun turut dilibatkan dalam pelaksanaan proyek mercusuar ini. Sesuai keinginan Bung Karno, monumen nasional nantinya berupa tugu yang tegak berdiri dengan cawan sebagai wadah di bagian bawahnya. Bentuk seperti ini sebenarnya sudah cukup lama dikenal di Indonesia. Inilah Lingga-Yoni, simbol hubungan sakral antara laki-laki dan perempuan, yang menjadi salah satu unsur khas di banyak candi peninggalan leluhur Nusantara.
Dalam buku Candi Indonesia: Seri Jawa, Indonesian-English terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2013) yang dihimpun Edi Sedyawati dan kawan-kawan, disebutkan bahwa Lingga adalah simbol Syiwa (salah satu dewa tertinggi dalam ajaran Hindu) dengan bentuk alat kelamin laki-laki. Sementara Yoni merupakan perlambang kesuburan yang menjadi simbol alat reproduksi perempuan.
Lingga-Yoni memang sering ditemukan pada candi-candi yang ada di Indonesia. Sukarno sendiri mengakui bahwa ia terinspirasi dengan Lingga-Yoni yang terdapat di Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. “Monumen-monumen itu pencerminan dari jiwa besar Indonesia,” sebut Bung Karno. Namun, tentu saja Lingga-Yoni yang mewujud pada bentuk monumen nasional tidak melulu dimaknai dengan konotasi yang boleh jadi dianggap vulgar. Buku resmi tentang Monas berjudul Tugu Nasional: Laporan Pembangunan terbitan tahun 1978 menjelaskan lebih rinci mengenai pemaknaan Lingga-Yoni itu.
Disebutkan, selain sebagai lambang kesuburan pria dan wanita, bentuk Monas yang berupa Lingga-Yoni juga melambangkan alu dan cawan, alat tradisional yang sangat umum bagi rakyat Indonesia, terlebih di pedesaan. Lingga-Yoni bisa pula dimaknai sebagai lambang dua sisi yang selalu ada di dunia ini, misalnya siang-malam, kanan-kiri, dan seterusnya.
Pembangunan Monas sempat tersendat karena terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang kelak menjadi pemicu runtuhnya Orde Lama. Namun, Bung Karno tidak sempat melihat proyek monumen nasional yang lama didambakannya itu rampung. Presiden pertama RI ini wafat pada 21 Juni 1970 ketika Soeharto sedang memantapkan posisinya sebagai penguasa baru. Lima tahun berselang, proyek pembangunan monumen nasional akhirnya rampung juga. Monas yang menjadi impian Sukarno justru diresmikan oleh penerus yang sekaligus kerap diindikasikan sebagai penggulingnya, Soeharto, pada 12 Juli 1975, tepat hari ini 43 tahun lalu.
Spoiler for xtra:
sumber 1
sumber 2
sumber 3
0 comments:
Post a Comment