Sunday, 13 May 2018

PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA (PDRI) / 22 Desember 1948- 13 Juli 1949

PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA (PDRI) / 22 Desember 1948- 13 Juli 1949

PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA (PDRI) / 22 Desember 1948- 13 Juli 1949
Tokoh-tokoh PDRI

Pemimpin Republik Jawa telah menduga kemungkinan agresi Belanda II dan telah membuat rencana menghadapi kemungkinan itu. Pada bulan November 1948, wakil presiden Moh. Hatta mengajak Mr. Sjafruddin Prawiranegara Menteri kemakmuran Republik ke Bukittinggi, dan Moh. Hatta kembali ke Yogyakarta, Sjafruddin tetap tinggal untuk mempersiapkan kemungkinan pembentukan sebuah pemerintahan darurat di Sumatera seandainya ibu kota Republik di Jawa jatuh ke tangan Belanda.

Pertengahan Desember 1948, Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru mengirim sebuah pesawat untuk membawa Soekarno dan Hatta keluar Jawa. Dalam perjalanan keluar Jawa, pesawat itu akan singgah di Bukitinggi, disini hatta akan tinggal untuk mengepalai pemerintahan darurat sementara Presiden Soekarno terbang ke New Delhi, dan dari sana ke New York mengajukan masalah Republik ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi sebelum pesawat Nehru sampai di Yogyakarta, pesawat tersebut tertahan di Singapura karena pemerintah Belanda menolak memberi izin melintasi daerah mereka dan memberikan hak mendarat di Jakarta.

Soekarno dan Hatta masih berada di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember ketika belanda menyerang dan menduduki kota itu. Di Bukitinggi, ketika mendengar berita Belanda menyerang Yogyakarta, Sjafruddin pada mulanya tidak percaya bahwa pemerintahan Republik dapat hancur sedemikian cepatnya atau bahwa hampir semua anggota kabinet , termasuk Soekarno dan Hatta telah membiarkan diri mereka tertahan. Dia menduga bahwa laporan itu mungkin hanya propaganda Belanda, dan merasa kurang pasti dengan legalitas kekuasaanya, dia menunda pembentukan pemerintahan darurat di Sumatera sampai sesudah dia, bersama dengan para pemimpin pemerintahan provinsi Sumatera dan komandan militer Sumatera yang baru Kolonel Hidayat, meninggalkan Bukitinggi dan mundur ke Halaban, kira-kira 16 km di tenggara Payakumbuh. Mereka sampai disana 21 Desember dan segera diikuti residen Sumatera Barat Mr. Rasjid.

Di Halaban mereka segera menyusun strategi untuk menjawab serangan Belanda. Yakin bahwa pada saat itu pemimpin-pemimpin Republik di Jawa telah ditahan belanda, maka pada tanggal 22 Desember Sjafruddin mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), dia sendiri sebagai ketua, Gubernur Sumatera Mr. Tengku Moh D. Hassan sebagai wakil ketua dan Mr. Rasjid sebagai menteri keamanan. Kabinet mengangkat panglima angkatan darat, laut dan udara, serta menunjuk perwakilan Indonesia di India, Mr. Maramis sebagai menteri luar negeri dan menugaskannya agar membawa masalah Indonesia ke PBB. Mereka kemudian menunjuk Susanto Seuanya menteri dalam kabinet Hatta yang luput dari penangkapan Belanda ketika mereka meyerang Yogyakarta.

Sejak itu PDRI memainkan peranan penting dan menjamin bahwa perjuangan melawan Belanda tetap dipimpin oleh pemerintahan yang sah yang di akui oleh republik di seluruh nusantara. PDRI merupakan simbol nasional dan faktor pemersatu, khususnya bagi pasukan gerilya yang terpencar di seluruh Jawa dan Sumatera, karena pemerintahan Sjafruddin diakui oleh pasukan Republik (dibawah Panglima Besar Jend. Sudirman).

Sebelum meninggalkan Halaban, pemimpin republik memencar. Syafruddin dan kebanyakan menterinya berangkat ke selatan unuk mendirikan pemerintahan mobile di bidang alam, di perbatasan Sumatra barat dengan Jambi. Kolonel Hidayat dan komandemen militer Sumatera berangkat ke utara, berhenti untuk beberapa minggu di Rao di bagian utara Sumatera Barat dan kemudian melanjutkan “long march” ke Aceh. Disana Hidayat membentuk markas komando militer Sumatera di daerah yang tidak pernah terjamah oleh Belanda. Mr. Rasjid dan anggota pemerintahan Sumatera Barat pindah ke Kototinggi, suatu nagari di pegunungan di luar Suliki, sebelah utara Payakumbuh. Ia ditemani oleh Catib Sulaiman dan Anwan Sutansaidi, sampai disana 24 desember dan membentuk pemerintahan militer Sumatera barat di kantor perwakilan nagari.


Sjafruddin Prawiranegara
PEMERINTAHAN DARURAT REPUBLIK INDONESIA (PDRI) / 22 Desember 1948- 13 Juli 1949
Sjafruddin Prawiranegara / Wakil Perdana Menteri RI ke-3
source: wikipedia.org

Mr. Sjafruddin Prawiranegara lahir di Serang, Banten pada tanggal 28 Februari 1911 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 15 Februari 1989 pada umur 77 tahun. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia. Tokoh yang lahir di Anyar Kidul memiliki nama kecil “kuding”, yang berasal dari kata Udin pada nama Sjafruddin. Ia memiliki darah keturunan Sunda dari pihak ibu dan Sunda Minangkabau dari pihak ayah. Sebelum kemerdekaan, Sjafruddin pernah bekerja sebagai pegawai siaran radio swasta (1939-1940), Petugas pada Departemen Keuangan Belanda (1940-1942), serta pegawai Departemen Keuangan Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia, Ia menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (1945), yang bertugas sebagai badan legislatif di Indonesia sebelum terbentuknya MPR dan DPR. KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Agresi Militer Belanda II atau operasi gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Syahrir dan beberapa tokoh lainnya. Pemerintahan resmi lumpuh. Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh dewan siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk kabinet dan mengambil alih Pemerintahan Pusat. Pemerintahan Sjafruddin ini kemudian dikenal sebagai l Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.

Di sebuah danau kecil yang belakangan dikenal sebgai “Danau Yaya” Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan berdirinya PDRI pada Rabu 22 Desember 1948. Dari sudut pandang seorang pemuda pengikutnya, Kamil Koto, mengalirlah kisah presiden Sjahfruddin Prawiranegara yang selama 207 hari, melanjutkan kemudi kapal besar bernama Indonesia yang sedang oleng dan nyaris karam. Sebuah perjuangan yang mungkin terlupakan, tetapi sangat krusial dalam memastikan keberlangsungan Indonesia. Atas usaha Pemerintahan Darurat, Belanda terpaksa berunding dengan Indonesia.

Perjanjian Roem-Royen mengakhiri upaya Belanda, dan akhirnya Soekarno dan kawan-kawan dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta. Pada 13 Juli 1949, diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta serta sejumlah Menteri kedua Kabinet. Serah terima pengembalian mandat dari PDRI secara resmi terjadi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta. Meskipun hanya sementara memegang jabatan Presiden, namun memiliki arti penting pada masanya. Tetapi sosok Syafruddin Prawiranegara seolah tenggelam ketika penguasa Orde Baru menebar jaring kepatuhan tanpa reserve. Tampaknya Syafruddin Prawiranegara memang berseberangan dengan Suharto.

Peranan Sjafruddin Prawiranegara Dalam PDRI
Dengan adanya PDRI dan Mr. Sjafruddin dipilih sebagai pejabat Presiden sementara maka eksistensi Negara Indonesia tetap ada serta merdeka dan berdaulat karena dihadapan pemerintah Belanda, pemerintahan RI secara de facto di pimpin oleh Soekarno dari penjara, meskipun sebenarnya secara de jure pemerintahan berada di tangan Syafruddin Prawiranegara dan kedudukan Soekarno yang berada dalam tahanan bukan lagi sebagai kepala Negara yang merdeka dan berdaulat.

Jadi, dengan diberikan mandat dari Presiden kepada Kepala pemerintahan darurat RI maka posisi Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai pejabat Presiden sementara (Ketua PDRI) dan bukan dianggap sebagai Presiden RI yang utuh karena ia hanya sebagai pemegang jabatan sementara saja berdasarkan mandat yang diterimanya dari mandatori yaitu Presiden Pertama RI sendiri. Maka dari fakta ini, Mr. Sjafruddin Prawiranegara tidak menyalahgunakan amanah pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) untuk mengangkat dirinya sebagai Presiden PDRI melainkan hanya sebagai ketua PDRI.

Mr. Sjafruddin selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain bahkan sampai ke pelosok-pelosok daerah terpencil dikarenakan pemerintahan PDRI sangat dicari oleh pihak kolonial Belanda untuk dihancurkan. Namun ini bukan berarti pemerintahan darurat ini tanpa adanya perlawanan karena pada tanggal 1 Januari 1949 PDRI ini membentuk lima wilayah pemerintahan militer di Sumatera yaitu Aceh dengan gubernur Militer Tgk Daud Beureuh. Daerah Tapanuli dan Sumatera Timur Bagian Selatan dengan Gubernur Militer dr. Ferdinand Lumban Tobing sedangkan Riau dengan Gubernur Militer R.M Utoyo. Sumatera Barat dipimpin oleh Gubernur Militer Mr. Sultan Muhammad Rasjid dengan Wakil Gubernur Militer Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Sementara Sumatera Selatan dengan Gubernur Militer dr. Adnan Kapau Gani. Mungkin pembentukan ini dengan maksud sebagai alat bertaha dari tentara pemerintahan Belanda sehingga Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tetap terlindungi dari serangan musuh dan eksistensi Negara Indonesia tetap ada.



Setelah terjadinya peristiwa pengkudetaan PKI di Madiun 19 September 1948, Belanda kembali melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948 tepatnya pukul 06.00 pagi. Serangan ini dilakukan oleh pihak Belanda sebagai serangan terakhir yang bertujuan untuk menghancurkan Republik Indonesia. Dengan pasukan lintas udara, serangan langsung ditujukan ke ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Lapangan terbang Maguwo dapat dikuasai Belanda, dan selanjutnya seluruh kota Yogyakarta. Dengan keberhasilan ini maka Belanda beranggapan bahwa mereka dapat dengan mudah menduduki dan melumpuhkan ibu kota Republik Indonesia.

Dengan adanya Agresi Militer II ini secara fisik Belanda berhasil menangkap dan menawan Presiden Soekarno yang diterbangkan ke kota Parapat (Sumatera Utara) dan kemudian dipindahkan ke Bangka, Wakil Presiden Mohammad Hatta yang diasingkan di Bangka, dan beberapa petinggi lainnya seperti H. Agus Salim (Menteri Luar Negeri), Mohammad Roem dan beberapa menteri lainnya.

Sebelum para petinggi Republik Indonesia ini ditawan oleh pihak Belanda, mereka mengadakan sidang Kabinet dan mengambil sebuah keputusan untuk memberikan mandat melalui radiogram yang akan dikirimkan kepada Menteri Kemakmuran yaitu Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera. Mandat atau materi kawat ini dikirim pada menit-menit terakhir sebelum Soekarno-Hatta ditawan. Mandat tersebut berisikan agar Mr. Sjarfuddin Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Dengan tertangkapnya para petinggi Republik Indonesia lantas tidak berarti bahwa pemerintah Republik Indonesia telah berakhir. Pada umumnya tentara Republik Indonesia tidak dapat memahami alasan menyerahnya para politisi sipil pada Belanda sementara para prajurit mengorbankan jiwa mereka demi Republik. Seluruh kekuatan TNI yang ada di Yogyakarta diperintahkan keluar kota untuk bergerilya. Pasukan-pasukan Republik Indonesia mengundurkan diri keluar kota-kota dan memulai perang gerilya secara besar-besaran di kedua belah garis Van Mook.

Selain menteri, kawat yang dikirimkan kepada Mr. Sjarfuddin Prawiranegara, wakil presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim mengirim Kawat kedua kepada Dr. Soedarsono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis di New Delhi. Materi kawat atau radiogram itu ternyata tidak pernah diterima oleh Mr. Sjarfuddin, hal ini diperkirakan bahwa dalam keadaan perang itu sangat dituntut mobilitas yang tinggi dengan berpindah-pindah kedudukan yang dimaksudkan untuk menghindari serangan dari lawan. Kekhawatiran inilah yang menyebabkan Hatta mengirimkan radiogram kepada Dr. Sudardono, A.N. Palar, Mr. A.A. Maramis. Namun, kontroversi mengenai sampai tidaknya radiogram itu berhenti pada tanggal 22 Desember 1948, ketika di desa Halaban, dekat Payakumbuh, Sumatera Barat, diadakan rapat dengan beberapa tokoh, yang akhirnya memutuskan untuk membentuk pemerintah darurat. Mr. Sjafruddin Prawiranegara, terpilih sebagai ketua PDRI dan pada tanggal 31 Maret 1949 berhasil membentuk pemerintah darurat.
Quote:


Perjalanan Singkat PDRI
Setelah ditawannya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta dan beberapa Menteri lainnya. Sesuai dengan rencana awal dalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948 bahwa seluruh kekuatan TNI yang masih ada di Yogyakarta diperintahkan ke luar kota untuk melakukan gerilya. Angkatan perang yang telah membagi wilayah pertahanan republik menjadi dua komando, yaitu Jawa dan Sumatera siap melaksanakan rencana di bidang pemerintahan tersebut. Untuk melancarkan rencananya telah disiapkan konsepsi baru dalam bidang pertahanan. Konsepsi tersebut dituangkan dalam perintah siasat nomor 1 tahun 1948 yang pokok isinya adalah sebagai berikut:
Quote:

Siasat ini berhasil untuk melawan Belanda yang bersenjatakan lengkap. Perlahan ala TNI ini bergerilya ke luar Yogyakarta. Di jawa, berdasarkan siasat tersebut berlangsung long march siliwangi yang sangat terkenal itu. Sejumlah 11 Batalion Divisi Siliwangi dengan keluarga mereka dan penduduk lainnya mulai bergerak kembali ke Jawa Barat dengan jalan kaki. Namun, setibanya di Jawa Barat mereka dihadang oleh Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh Kartosuwiryo. Namun, setelah dua bulan melakukan long march, mereka berhasil menguasai atau memperoleh kedudukan di Jawa Barat sesuai dengan yang diharapkan.

Berkat Perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara dengan PDRI di Bukittinggi Sumatera Barat dan exile government di India, serta perjuangan A.N. Palar selaku wakil Indonesia di PBB, menyebabkan dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi pada tanggal 28 Januari 1949. Kemudian pada tanggal 1 maret 1949 terjadilah serangan umum terhadap kota Yogyakarta yang diduduki oleh Belanda ketika itu. Penyerangan inii dilakukan oleh TNI dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Komandan Brigade 10 daerah wehrkreise ketiga yang membawahi daerah Yogyakarta. Awal penyerangan ini dibentuk sektor-sektor untuk mempermudah pengepungan. Sektor barat dipimpin oleh Mayor Fentje Sumual, sektor untuk selatan dan timur dipimpin oleh Mayor Sarjono, sektor utara dipimpin oleh Mayor Kusno. Untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki. Serangan dilakukan dari berbagai penjuru kota, sehingga dalam waktu 6 jam Yogyakarta behasil dikepung dan dikuasai oleh TNI. Dan serangan umum ini berhasil mencapai tujuannya yaitu mendukung perjuangan secara diplomasi dan meninggikan moral rakyat serta TNI yang sedang bergerilya, menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI mempunyai kekuatan yang mampu mengadakan serangan serta mematahkan moral pasukan Belanda.

Akhir PDRI
Belanda menerima himbauan PBB supaya mengadakan gencatan senjata pada tanggal 31 Desember 1948 di Jawa dan tanggal 5 Januari 1949 di Sumatera, tetapi perang gerilya terus berlangsung. Sebagian besar satuan tentara beroperasi secara otonom selama perang gerilya ini. Di samping banyak kemenangan kecil mereka atas pihak Belanda, pasukan-pasukan Republik yang berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Soeharto mendapat suatu kemenangan besar ketika mereka berhasil merebut kembali dan menguasai Yogyakarta dalam tempo 6 jam pada tanggal 1 Maret 1949.

PBB dan Amerika Serikat mulai mengambil sikap yang lebih tegas terhadap Belanda. Dengan memberikan berbagai tekanan dan ancaman yang dilakukan oleh militer Republik dan Amerika Serikat, akhirnya pada bulan april Belanda telah sepakat untuk menyerah, tetapi mendesak untuk mengadakan perbincangan-perbincangan dengan pemerintah Republik. Pada tangal 6 Juli 1949 pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.

Berakhirnya pemerintahan PDRI ini kemudian berkaitan erat dengan perundingan Roem-Royen dimana Belanda menyetujui pemerintahan republik ke Yogyakarta. Dan membebaskan tahanan politik yang ditahan sejak 19 Desember 1948, hal ini juga berarti pemerintahan kedaulatan akan segera diserahkan oleh Belanda kepada Padaris, ditambah dengan meninggalnya Panglima Militer Belanda Simon H. Spoor yaitu salah satu tokoh yang memprakarsai perebutan kedaulatan pemerintah Indonesia.

Walaupun demikian, pertahanan Indonesia di Sumatera tak sepenuhnya aman. Belanda yang berkubu di Bukittinnggi beruasaha berkali-kali mengusir pasukan RI yang berpangkal di Palupuh. Hingga sampai pada penyerahan kedaulatan oleh Belanda ke Republik Indonesia. Pertempuran-pertempuran tidak sering terjadi terlebih setelah case fire gerakan Belanda tertuju pada keamanan saja.

Pemerintahan PDRI yang berlangsung kurang lebih selama 7 bulan itu berakhir ketika penyerahan mandat dari PDRI kepada Moh. Hatta pada tanggal 14 Juli 1949. Setelah perjanjian Roem-Royen disahkan dan Natsir meyakinkan Prawiranegara untuk datang dan menyelesaikan dualisme pemerintahan yang ada pada saat itu.***

0 comments:

Post a Comment