Peasant Revolt 1381
Pada
tahun 1381, sekitar 35 tahun setelah Kematian Hitam melanda Eropa yang
membunuh lebih dari sepertiga populasi saat itu, terjadi kekurangan
orang untuk bekerja di tanah pertanian. Menyadari kebutuhan akan
kekuatan mereka, para petani yang tersisa mulai mengevaluasi ulang nilai
mereka dan kemudian menuntut upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja
yang lebih baik.
Kisah dan Latar Belakang Pemberontakan Petani
Richad II
Para
petani yang selamat dari Kematian Hitam (1348-1350) percaya bahwa ada
sesuatu yang istimewa tentang mereka, yang hampir seolah-olah Tuhan
telah melindungi mereka, oleh karena itu mereka mengambil kesempatan
atas kejadian wabah penyakit tersebut untuk meningkatkan gaya hidup
mereka. Hukum feodal saat itu menyatakan bahwa petani hanya bisa
meninggalkan desa mereka jika mereka memiliki izin dari tuan tanah
mereka, tetapi dilain pihak, banyak penguasa ditempat lain kekurangan
tenaga kerja yang sangat dibutuhkan untuk tanah yang mereka miliki.
Setelah Kematian Hitam, para penguasa secara aktif mendorong para petani
untuk meninggalkan desa tempat mereka tinggal untuk bekerja bagi
mereka. Ketika para petani melakukan hal ini, tuan baru tempat mereka
bekerja akan mengikat mereka dan menolak untuk mengembalikan mereka ke
desa asal mereka.
Petani dapat menuntut upah yang lebih tinggi karena mereka tahu bahwa
para tuan tanah ini depresi untuk meningkatkan hasil panennya, disaat
yang sama pemerintah menghadapi masalah bahwa para petani meninggalkan
desa-desa mereka untuk menemukan 'kesempatan' yang lebih baik dari
seorang penguasa sehingga mengganggu gagasan Sistem Feudal yang telah
diperkenalkan untuk mengikat petani di tanah asal mereka.
Untuk mengekang para petani yang berkeliaran mencari gaji yang lebih
baik, pemerintah memperkenalkan Statute of Laborers pada tahun 1351 yang
menyatakan:
-Tidak ada petani yang boleh dibayar lebih dari upah yang biasa dibayarkan pada tahun 1346.
-Tidak boleh ada tuan tanah yang menawarkan lebih banyak upah daripada yang dibayar pada 1346.
-Tidak ada petani yang boleh meninggalkan desa tempat mereka tinggal.
Beberapa petani memutuskan untuk mengabaikan undang-undang ini, namun
banyak yang sadar bahwa ketidakpatuhan akan menyebabkan hukuman yang
serius. Pada 1380 pemerintah juga memperkenalkan Pajak Poll ketiga hanya
dalam tempo empat tahun. Tuan tanah terus-menerus meningkatkan harga
sewa di tanah mereka di mana para petani sekarang diikat oleh peraturan
Statute of laborer. Hal inilah yang menciptakan kemarahan besar di
antara kaum tani yang merasa dibohongi pada tahun 1381 dengan
menciptakan Revolusi Petani. Karena itu dapat dikatakan bahwa Black
Death dan Poll tax adalah penyebab dari Pemberontakan Petani.
Pengepungan London
Bergabung dengan penduduk desa lainnya dari seluruh penjuru tenggara
Inggris, para petani memutuskan pergi ke London untuk menyuarakan
kepentingan dan tuntutan mereka dengan harapan akan ada kesepakatan yang
lebih baik kepada raja muda mereka. Para petani sebenarnya tidaklah
menyalahkan Richard atas masalah mereka, kemarahan mereka lebih
ditujukan kepada penasihatnya raja, Simon Sudbury, Uskup Agung
Canterbury , dan John of Gaunt, Adipati Lancaster, yang mereka yakini
korup.
Para petani mengepung London
Para
petani ini berangkat ke london dengan koordinasi yang baik, mereka
bergerak ke London pada tanggal 2 Juni dalam semacam gerakan menjepit,
Penduduk desa dari utara Sungai Thames, terutama dari Essex, Norfolk dan
Suffolk, berkumpul di London melalui Chelmsford, mereka yang berasal
dari selatan Sungai Thames, yang sebagian besar terdiri dari kaum
Kentish, pertama-tama menyerang Kastil Rochester dan kemudian Sudbury's
Canterbury, sebelum berangkat ke Blackheath di pinggiran London.
John Kent memprovokasi warga
Lebih
dari 60.000 orang dilaporkan terlibat dalam pemberontakan, mereka tidak
semuanya petani, beberapa merupakan tentara dan pedagang serta beberapa
agamawan yang kecewa, termasuk seorang pemimpin petani yang dikenal
sebagai 'imam gila Kent', John Ball.
Munculnya Wat Tyler
Wat Tyler memimpin para pemberontak
Ketika
para petani sampai ke London, mereka menjarah catatan, daftar pajak,
dan membunuh beberapa pejabat pajak, bangunan yang menyimpan catatan
pemerintah dibakar. Saat mereka marching, seorang lelaki muncul dan
bertindak sebagai pemimpin secara mendadak, dia adalah Wat Tyler (Walter
the Tyler) dari Kent.
Para pemberontak memasuki London dengan mudah karena beberapa penduduk
setempat dengan sengaja membiarkan gerbang kota terbuka bagi mereka,
para pemberontak itu menghancurkan Istana Savoy dari John Gaunt dan
membakar bangunan itu sampai rata dengan tanah.
Wat Tyler bersama para pemberontak itupun kehilangan kendali dan
menjarah kota london, mereka menjarah makanan dan minuman, harta benda
di rumah-rumah orang kaya disertai juga dengan beberapa pembunuhan dan
hal itu terus berlanjut, namun khususnya bagi para petani, mereka hanya
menargetkan kebencian mereka kepada para aristokrat, kaum borjuis dan
imam di kota.
Dalam upaya untuk mencegah masalah menjadi lebih serius, raja setuju
untuk bertemu Wat Tyler di Mile End pada tanggal 14 Juni. Pada pertemuan
ini, Richard II menyetujui semua tuntutan petani dan meminta mereka
pulang dengan tenang. Beberapa petani merasa puas dan memutuskan untuk
menurut dan pulang kerumahnya masing-masing, namun sementara pertemuan
ini berlangsung, beberapa pemberontak justru mengepung Menara London dan
membunuh Simon Sudbury, Archbishop of Canterbury dan Robert Hales,
Bendaharanya. Kepala mereka dipenggal di Tower Hill. Saat itu tentara
kerajaan sedang berada di Perancis, Skotlandia dan Wales, sehingga Raja
Richard II menghabiskan malam dalam persembunyian karena takut akan
keselamatannya.
Keesokan harinya Richard bertemu dengan Wat Tyler dan rekannya untuk
memperundingkan tentang pemberontak Kentish untuk sekali lagi, kali ini
pertemuan dilaksanakan di Smithfield, tepat di luar tembok kota.
Diperkirakan bahwa ini adalah ide dari Tuan Walikota London, Sir William
Walworth, yang menginginkan para pemberontak keluar dari kotanya,
mungkin karena khawatir akan kerusakan yang dapat mereka lakukan di
lingkungan abad pertengahan yang rata-rata dipenuhi dengan rumah-rumah
kayu yang kering.
Kematian Wat Tyler
Pertemuan ini berjalan dengan tegang dan bermuatan tensi tinggi, Tuan
Walikota tampaknya tersinggung oleh sikap arogan Wat Tyler kepada raja
dan tuntutannya yang berlebihan, dia kemudian menarik pedangnya dan
menebas tepat dileher Tyler. Karena mengalami cedera yang parah di
lehernya, Tyler dilarikan ke Rumah Sakit St Bartholomew di dekat situ.
Wat Tyler di tebas
Tidak
jelas bagaimana cara raja berbicara tentang permasalahan ini kepada
kerumunan massa pemberontak yang mengepungnya, tetapi negosiasi ini
pasti hal yang sukses dan baik. Seorang mencatat bahwa raja menyapa
mereka dengan teriakan, 'Aku adalah rajamu, aku akan menjadi pemimpinmu.
Ikuti saya ke ladang'.
Apa pun yang dikatakan atau dijanjikan raja, pasti terdengar sangat
meyakinkan, karena mengakibatkan para petani yang memberontak menyebar
dan pulang ke rumah, tapi bagaimana nasib Wat Tyler? Yang pasti dan
jelas dia tidak menerima perlakuan bintang lima yang bisa dia harapkan
saat itu dari rumah sakit St Bartolomew, berkat perintah Walworth, luka
di leher Tyler ditambah panjang, yang memberi efek melepaskan kepalanya
hanya beberapa inci di atas bahu.
Pada akhir musim panas tahun 1381, pemberontakan kaum tani telah
berakhir, tercatat pemberontakan itu hanya berlangsung beberapa minggu.
Richard tidak bisa menepati janjinya karena kekuasaannya yang terbatas
di Parlemen. Dia juga mengklaim bahwa ketika janji-janji ini dibuat saat
dia berada di bawah ancaman mereka karenanya tidak sah di mata hukum.
Para pemberontak yang tersisa ditangani dengan kekerasan.
Pajak pemungutan suara kembali ditarik dan para petani dipaksa kembali
ke cara hidup lama mereka, di bawah kendali tuan tanah, uskup atau uskup
agung.
Namun seiring waktu berjalan, kekuasaan kelas penguasa semakin mengalami
degradasi, kematian Hitam telah menyebabkan kekurangan tenaga kerja
yang dalam tempo 100 tahun berikutnya semakin banyak petani yang berani
menuntut lebih, para penguasa akhirnya menyerah, mereka akhirnya
terpaksa untuk mengakui kekuatan "persediaan dan permintaan" petani.
Sumber
Sumber
0 comments:
Post a Comment