SUPERSEMAR
Setiap kali kita bicara tentang Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), selalu ada sederet kontroversi dan tanda tanya tentang itu. Hingga kini, 50 tahun setelah surat sakti itu dikeluarkan, sederet kontroversi dan tanda tanya itu terus mengitari bangsa ini. Ia belum tuntas walau telah kita bicarakan selama 50 tahun. Posisinya sebagai secarik surat dengan ragam tanya, namun begitu sakti hingga menjatuhkan Presiden Sukarno ‘lah yang menjadi pangkal timbulnya kontroversi dan tanda tanya seputarnya. Berikut ini tiga kontroversi dan tanda tanya seputar Supersemar.
Naskah SuperSemar
Pertama, keberadaan naskah otentik Supersemar. Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, seperti ditulis Kompas, keberadaan naskah otentik Supersemar hingga kini belum diketahui. Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik.
Kedua, proses mendapatkan surat itu. Surat itu disebut-sebut ditulis oleh Bung Karno di bawah tekanan, bukan kemauan dan kebijakannya. Ada banyak kisah soal ini. Misalnya, dikisahkan Asvi bahwa sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. Tapi Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak.
Sidarto Danusubroto
Adapun kisah dari Sidarto Danusubroto, ajudan terakhir Bung Karno pasca-Supersemar, menyebut: “Bung Karno merasa dikibuli.” “Dalam Supersemar, mana ada soal penahanan? Penahanan fisik, (dibatasi bertemu) keluarganya, penahanan rumah. Supersemar itu seharusnya melindungi keluarganya, melindungi ajarannya (Bung Karno),” katanya seperti dikutip Kompas.
Kisah lain menyebutkan bahwa pada 11 Maret 1966 pagi, Presiden Soekarno menggelar rapat kabinet di Istana Merdeka, Jakarta. Pada saat bersamaan, ia dikejutkan dengan kehadiran demonstran yang mengepung Istana. Demonstrasi itu dimotori kelompok mahasiswa yang mengusung Tritura (tiga tuntutan rakyat; bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga-harga).
Brigjen Kemal Idris
Pada waktu yang sama, Brigjen Kemal Idris mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad untuk mengepung Istana. Alasan utamanya adalah untuk menangkap Soebandrio yang berlindung di Kompleks Istana. Pasukan yang dikerahkan Kemal itu tidak mengenakan identitas. Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan kepada Soekarno bahwa Istana dikepung “pasukan tidak dikenal”.
Letjen Soeharto tidak hadir dalam rapat kabinet dengan alasan sakit. Karena itu, Soekarno tidak dapat memerintahkan Soeharto membubarkan “pasukan tidak dikenal” tersebut dan akhirnya memilih keluar dari Istana Merdeka menggunakan helikopter menuju Istana Bogor. Setelah itu, Soeharto mengutus Basoeki Rachmat, Jusuf, dan Amir Machmud menemui Soekarno di Istana Bogor. Ketiga jenderal itulah yang membawa Supersemar ke Jakarta untuk Soeharto.
Bahkan, menurut kisah ajudan Soekarno yang bernama Soekardjo Wilardjito, Sukarno saat menerima Supersemar dalam keadaan ditodong pistol FN 46 oleh Jenderal Angkatan Darat bernama Maraden Panggabean yang ikut menghadap pada Bung Karno bersama jenderal lain utusan Suharto. Penuturan ini disampaikan Soekardjo setelah kejatuhan Presiden Soeharto terjadi pada tahun 1998.
Ketiga, penafsiran Soeharto atas Supersemar. Setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan sewenang-wenang sesuai keinginan dan tafsirannya sendiri.
Bagi Presiden Soekarno, Supersemar adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan presiden dan keluarganya, serta ajarannya. Bahkan, saat menerima dokumen itu, Soekarno sempat protes. “Lho, diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!” ungkap Bung Karno seperti dikisahkan Soekardjo dalam buku Mereka Menodong Soekarno dan dikutip Kompas.
Soekardjo yang ada di lokasi saat itu mengamati dengan cermat surat yang dipegang Bung Karno dan memang kop yang disodorkan tidak ada lambang Garuda Pancasila yang berbunyi Presiden Indonesia, yang ada hanyalah kop Mabes AD. “Untuk mengubah, waktunya sangat sempit. Tandatangani sajalah paduka. Bismillah,” sahut Basuki Rachmat yang diikuti oleh M Panggabean sambil mencabut pistolnya. Soekardjo pun dengan cepat mencabut pistolnya melihat dua jenderal itu bergerak dengan senjata. “Aku sadar bahwa saat itu keselamatan Presiden Soekarno menjadi tanggung jawabku,” kata Soekardjo. Karena tak ingin ada pertumpahan darah, Soekarno mengalah dan mau menandatangani surat itu. “Jangan! Jangan! Ya, sudah kalau mandat ini harus kutandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku,” ungkap Soekarno.
Adapun Soeharto justru menngunakannya sebagai surat sakti untuk membubarkan PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD.
Soekarno ‘pun pernah menekankan bahwa surat itu bukanlah transfer of authority. Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.
SUMBER http://sejarahri.com/sederet-kontrov...an-supersemar/
0 comments:
Post a Comment