Thursday 17 May 2018

Penyebab Hancurnya Hubungan Bung Karno dengan 'Anak Emas'

Penyebab Hancurnya Hubungan Bung Karno dengan 'Anak Emas'


Penyebab Hancurnya Hubungan Bung Karno dengan 'Anak Emas'
Sejarah ini berdasarkan kesaksian Letjend (PURN) Sayidiman Suryohadiprojo, lahir (lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 21 September 1927; umur 91 tahun). Hingga hari ini beliau masih diberikan kesehatan dan umur panjang.


URAIAN MENGENAI PEMBERONTAKAN G 30 S-PKI


OLEH : LET.JEND (PURN) SAYIDIMAN SURYOHADIPROJO
Sumber: http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1721

BAGIAN I – PROLOG

Uraian saya ini akan menyangkut pemberontakan G30S/PKI yang telah terjadi pada tanggal 30 September – 1 Oktober 1965. Uraian ini terutama tertuju kepada mereka yang kurang mengetahui dan kurang memahami terjadinya pemberontakan itu, khususnya anak cucu saya, kaum muda pada umumnya yang perlu mengetahui dengan benar apa yang telah terjadi pada pemberontakan itu.

Pemberontakan G30S/PKI tidak lepas dari apa yang terjadi pada bulan September 1948. Dimana pada bulan September 1948, Partai Komunis Indonesia telah melancarkan pemberontakan di kota Madiun dengan maksud agar negara Republik Indonesia berubah menjadi satu negara komunis. Untuk itu Uni Soviet mengirimkan seorang pemimpin PKI yang dulu bersembunyi di Uni Soviet ketika gagal dalam pemberontakan pada tahun 1927 yang bernama Muso. Muso pada tahun 1948 dikirim ke Indonesia dengan tugas agar supaya PKI dapat merubah negara Republik Indonesia menjadi suatu negara komunis. Akan tetapi Muso gagal dalam menjalankan tugasnya. Pemerintah Republik Indonesia dengan dukungan penuh dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) waktu itu berhasil dalam waktu 1 sampai 2 bulan mengakhiri pemberontakan itu. Banyak pemimpin dapat ditangkap dan dihukum. Antara lain ialah Muso sendiri, mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang tadinya adalah seorang pemimpin dari Partai Sosialis kemudian pada tahun 1948 mengaku sebagai komunis dan turut memimpin pemberontakan itu. Selain Muso dan Amir masih banyak pemimpin-pemimpin lain di kota Jogyakarta, Surakarta maupun di daerah seperti di Madiun, Pati dan Blora. Akan tetapi karena waktu itu Belanda masih menduduki sebagian pulau Jawa, maka ada unsur-unsur PKI yang tadinya turut berontak bisa menyelamatkan diri dari pukulan-pukulan Tentara Nasional Indonesia dengan menyelinap ke daerah Belanda. Dengan sendirinya TNI tidak dapat mengejar mereka yang antara lain adalah Batalyon Malady Yusuf yang pada waktu itu merupakan tulang punggung dari pemberontakan sebagai bagian dari Brigade 29 Pesindo yang telah dipersenjatai dengan kuat oleh Amir Syarifuddin waktu ia menjadi Menteri Pertahanan. Selain Batalyon Malady Yusuf yang berhasil lolos juga Batalyon Sudigdo, yaitu 1 batalyon dari divisi Panembahan Senopati yang ketika pemberontakan melakukan perlawanan sengit di sekitar Wonogiri. Iapun dapat membawa bagian pasukannya yang lolos dari pukulan Batalyon Nasuhi untuk dibawa masuk ke daerah pendudukan. Dan bersama mereka juga berhasil lolos sejumlah pemimpin PKI.

Pada waktu itu di dunia juga berkecamuk Perang Dingin antara Blok komunis dan Blok Barat. Blok komunis dipimpin oleh Uni Soviet dan Republik Rakyat China. Maka Blok komunis ini berusaha untuk memperoleh dukungan di kalangan luas dunia. Sebab itu keberhasilan PKI untuk lolos dan selamat dari hukuman pihak Republik Indonesia memberikan kepada Blok Komunis kesempatan untuk menyusun kekuatan di Indonesia. Kekuatan komunis Indonesia ini diharapkan dapat mendukung gerakan Blok Komunis di dalam Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Komunis. Maka kita melihat bahwa PKI yang telah selamat itu dapat mengkonsolidasikan diri dan berkembang menjadi organisasi yang makin besar meliputi kalangan yang makin luas karena adanya dukungan kuat dari Uni Soviet dan Republik Rakyat China yang sejak tahun 1949 sudah menjadi negara merdeka di benua Asia di daratan China. DN Aidit yang mengetuai Partai Komunis Indonesia dengan bantuan dan dukungan Nyono, Nyoto, Sudisman, Ir Sakirman dan lainnya berhasil membuat PKI berkembang makin luas. Disusun kekuatan di berbagai bidang masyarakat terutama yang diberi perhatian pertama adalah kaum buruh dan tani. PKI berhasil membuat kekuatan di lingkungan kaum buruh dengan membentuk organisasi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang mana di dalam SOBSI bergabung organisasi buruh yang makin luas dan kuat terutama Sarikat Buruh Kereta Api (SBKA), Sarikat Buruh Perkebunan Indonesia (SARBUPRI) ini dua sarikat buruh yang menjadi kekuatan inti dari SOBSI dan kemudian juga meluas di kalangan-kalangan yang lain bahkan mereka menyusup di organisasi pegawai negeri dan malahan di Kementrian Pertahanan dapat membentuk suatu organisasi pegawai Kementrian Pertahanan yang berpihak kepada PKI. Di lingkungan tani dibentuk Barisan Tani Indonesia. Perkembangan PKI yang makin luas itu memungkinkannya, ketika pemerintah Republik Indonesia melakukan Pemilu I tahun 1955, berhasil keluar sebagai pemenang ke 4. Di belakang Partai Nasional Indonesia sebagai partai yang paling besar, kedua adalah Partai Masyumi, ketiga adalah Partai NU (Nadhlalatul Ulama) dan ke 4 adalah Partai Komunis Indonesia. Keberhasilan PKI mencapai no 4 ini menimbulkan banyak perhatian. Banyak orang tidak mengira bahwa PKI yang telah selamat pada tahun 1950 itu bisa berkembang begitu cepat dan luas sehingga dalam 5 tahun telah berhasil dan bisa menjadi partai ke 4 terbesar di Indonesia. Dan dia berkembang terus meluas dan nanti setelah tahun 1955 PKI berhasil menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar partai komunis di Uni Soviet dan partai komunis China.
Anggota PKI ketika itu sudah mencapai sekitar 4 juta orang dan selain itu PKI berhasil menyusup menginfiltrasi partai-partai politik lain terutama partai politik non Islam seperti Partai Nasional Indonesia sebagai partai politik terbesar. Adalah satu kenyataan bahwa di dalam Partai Nasional Indonesia terbentuk satu fraksi yang cenderung mendekat kepada PKI. Hal itu nanti terbukti ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI. Di kalangan luas diadakan usaha meluaskan pengaruh dan wibawa PKI di Indonesia. Untuk keperluan itu DN Aidit sebagai ketua umum PKI membentuk apa yang dinamakannya Biro Khusus yang dipimpin oleh Syam Kamaruzaman. Tugas dari Biro Khusus yang bergerak langsung di bawah ketua umum DN Aidit adalah untuk menginfiltrasi Angkatan Bersenjata. Mencari unsur-unsur di Angkatan Bersenjata yang bisa dipengaruhi untuk berpihak kepada PKI. Dengan sendirinya mereka memanfaatkan unsur-unsur dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) khususnya TNI yang tadinya turut dalam pemberontakan PKI Madiun tapi kemudian selamat. Jadi unsur-unsur bekas Batalyon Malady Yusuf, bekas Batalyon Digdo dan yang lainnya yang tadinya berpihak pada pemberontakan PKI Madiun dan selamat dan masih ada di dalam TNI. Unsur-unsur inilah yang didekati dan berusaha ditarik kembali menjadi simpatisan PKI. Residivis-residivis atau mantan-mantan pengikut PKI Madiun ini tidak sedikit, terutama di lingkungan Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Terutama yg menjadi sasarannya adalah perwira-perwira TNI, lebih khusus perwira TNI-AD. Karena merekalah yang akan dapat dimanfaatkan nanti dalam gerakan-gerakan PKI. Maka dengan begitu pada tahun 1957-1958 kita melihat bahwa PKI di Indonesia makin meluas ke seluruh provinsi yang dimana-mana terdapat unsur-unsur PKI. Dan di berbagai lapisan masyarakat khususnya di lingkungan buruh dan tani. Yaitu tani dalam barisan BTI (Barisan Tani Indonesia) juga sudah diorganisasikan oleh PKI menjadi unsur yang kuat dalam barisan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi perubahan pada diri Presiden Soekarno. Ketika pada tahun 1948 PKI memberontak terhadap Republik Indonesia, Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia secara tegas menantang rakyat dan masyarakat. Apakah akan berpihak pada PKI di bawah pimpinan Muso atau berpihak pada Republik Indonesia dibawah pimpinan Soekarno-Hatta? Sikap Bung Karno yang tegas waktu itu turut mempercepat penyelesaian pemberontakan PKI waktu itu. Akan tetapi setelah tahun 1950 terjadi perubahan pada sikap dan pandangan Soekarno. Entah apakah terpengaruh oleh makin majunya organisasi PKI di Indonesia serta berkembangnya kekuatan Blok Komunis di dunia. Akan tetapi nyatanya adalah Soekarno sekarang tidak lagi setegas dulu menghadapi PKI. Bahkan kemudian mendekati tahun 1960, Soekarno menentukan politik pemerintah Republik Indonesia adalah politik yang menuju persatuan bangsa melalui NASAKOM – Nasional Agama dan Komunis. Jadi Soekarno melihat bahwa kekuatan politik Indonesia harus dipersatukan melalui nasakom untuk menghadapi dunia luar. Menghadapi dunia yang masih memusuhi Republik Indonesia, khususnya karena waktu itu kita masih perlu memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah nasional Republik Indonesia. Karena pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia akan tetapi belum melepaskan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia Serikat yang waktu itu diakui. Sebab itu masalah Irian Barat masih dihadapi sebagai masalah penjajahan yang akut. Inilah oleh Bung Karno kemudian dilihat sebagai kesempatan untuk mempersatukan bangsa dalam lingkungan nasakom. Dalam pada itu pemerintah RI dan Presiden Soekarno melihat bahwa pihak Uni Soviet lebih bersedia untuk memberikan bantuan senjata dari pada dunia Barat, khususnya Amerika Serikat. Indonesia bisa membeli senjata di Uni Soviet untuk melaksanakan misi terakhir untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah nasional Republik Indonesia. Dikirimkanlah misi-misi ke Moskow untuk menjajaki pembelian senjata ini dan kemudian juga Bung Karno sendiri acap kali pergi ke Moskow dan hal inilah mungkin yang membuat sikap Bung Karno terhadap PKI jauh berubah daripada sebelumnya.

Hancurnya Hubungan Bung Karno dengan A. Yani



Hal ini serta konsep nasakom yang dikembangkan Presiden Soekarno menimbulkan masalah bagi pimpinan TNI-AD. TNI-AD yang semula dipimpin oleh Kolonel, kemudian Brigadir Jendral yang kemudian menjadi Mayor Jendral Abdul Haris Nasution pada tahun 1958 berhasil dengan sukses mengakhiri pemberontakan PRRI Permesta secara relatif cepat pada tahun 1959. Pemberontakan yang dimulai pada tahun 1958 sudah dapat diakhiri dan kemudian terdapat kondisi wilayah terutama luar Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur yang lebih baik. Hal ini dengan sendirinya tidak hanya menguntungkan TNI dan kekuatan yang bersama dengan TNI, tetapi dengan sendirinya menguntungkan Pemerintah Republik Indonesia dan Presiden Soekarno. Oleh sebab itu pada waktu itu hubungan antara Soekarno dengan Jendral Nasution dan TNI-AD masih baik.

Namun mendekati tahun 1960 dan makin berkembang kehendak Bung Karno untuk membentuk Pemerintah Nasakom hal ini menimbulkan masalah bagi pimpinan Angkatan Darat. Di satu pihak Pimpinan AD senantiasa berusaha untuk loyal sekuat-kuatnya kepada pimpinan negara. Akan tetapi ketika Pimpinan Negara mengembangkan Nasakom yang menetapkan unsur komunisme di dalam pengendalian pemerintahan, maka disini timbul masalah. Oleh karena sebagai kekuatan militer yang memegang teguh pedoman Sapta Marga para anggota TNI khususnya TNI-AD tidak dapat menerima ideologi lain selain Pancasila. Apalagi kalau ideologi itu bermaksud untuk mengubur Pancasila maka itu menimbulkan persoalan. Di satu pihak tetap loyal kepada Presiden Soekarno tapi di pihak lain memegang teguh Sapta Marga. Namun sekalipun begitu pimpinan Angkatan Darat sejak semula sukar untuk menerima konsep Nasakom dan sukar untuk melihat dan menyetujui makin berkembangnya kekuatan PKI yang makin arogan. Ini kemudian berakibat bahwa Presiden Soekarno menganggap bahwa TNI-AD kurang sepenuhnya mendukung politiknya. Dituduhnya bahwa para pimpinan TNI-AD dan bahkan mungkin TNI-AD menganut sikap melawan PKI, yaitu menganut sikap komunistophobia yang artinya secara berlebihan melawan PKI. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi PKI karena makin memperkuat posisinya di Republik Indonesia dan makin mempersulit posisi pimpinan TNI-AD.

Dalam kondisi semacam ini kemudian Bung Karno mengambil sikap untuk menguasai ABRI. Maka ditetapkan bahwa ABRI diorganisir dalam angkatan-angkatan yang dipimpin oleh menteri yang sekaligus juga menjadi panglima angkatan. Maka ada Menteri Panglima Angkatan Darat, Menteri Panglima Angkatan Laut dan Menteri Panglima Angkatan Udara. Ketika itu Kepolisian juga dimasukkan ke dalam lingkungan ABRI maka ada juga Menteri Panglima Angkatan Kepolisian. Akan tetapi yang menjadi MenPangad bukan Jendral Nasution. Jendral Nasution ditarik dan dijadikan Menteri Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Menteri Kepala Staf Angkatan Bersenjata ini dalam kenyataan tidak memilik wewenang mengendalikan TNI termasuk juga TNI-AD, karena para Menteri Panglima Angkatan sebagai Menteri langsung di bawah Presiden Soekarno dan dibawah kendali Presiden Soekarno. Dengan begitu Presiden Soekarno ingin lebih kuat lagi mengendalikan ABRI dengan perannya sebagai Panglima Tertinggi Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi seperti yang dia sebutnya waktu itu. Dengan cara begitu Presiden Soekarno dapat mengendalikan seluruh ABRI secara langsung dan mengharapkan dengan begitu mendapatkan dukungan penuh di dalam pelaksanaannya mewujudkan konsep Nasakom di dalam negeri dan konsep Konfrontasi terhadap Malaysia.

Akan tetapi ternyata Menteri Panglima Angkatan Darat yang ditetapkan yaitu Jenderal Ahmad Yani tidak banyak berbeda dengan sikap politik Jenderal Nasution. Memang disini mungkin Bung Karno salah penilaian karena sebagai pribadi Pak Yani lebih mahir melayani berbagai keinginan Bung Karno khususnya keinginan yang bersangkutan dengan kehidupan pribadi Bung Karno. Bung Karno yang suka pesta-pesta dan menari-menari sukar dilayani oleh Jenderal Nasution karena sifat Pak Nasution memang tidak seperti itu. Pak Nas sukar untuk turut dalam pesta-pesta Bung Karno. Pak Yani berbeda, Pak Yani sifat pribadinya mampu dan bisa melayani segala keinginan Bung Karno untuk kehidupan pribadinya. Jadi Pak Yani selalu ada di dalam pesta-pesta Bung Karno. Ini mungkin menyebabkan orang suka mengatakan bahwa Pak Yani adalah“anak emas”Bung Karno. Akan tetapi kemudian terbukti bahwa Ahmad Yani yang pintar melayani kebutuhan atau keinginan-keinginan Bung Karno di dalam menghadapi kondisi negara tidak banyak berbeda dengan sikap Jenderal Nasution. Pak Yanipun sebagai seorang Jenderal TNI-AD berusaha selalu memegang teguh Sapta Marga. Sebab itu mungkin bagi Pak Yani lebih sulit lagi karena di satu pihak Pak Yani berusaha untuk menjauhkan Bung Karno dari kehendak dan usaha-usaha PKI. Karena itulah Pak Yani bersedia untuk melayani semua keinginan pribadi Bung Karno dan untuk itulah Pak Yani bisa turut serta berpesta-pesta dengan Bung Karno, akan tetapi ketika Pak Yani juga diharapkan untuk merubah sikap TNI-AD untuk sepenuhnya mendukung pemerintah Nasakom maka disitulah Bung Karno kecewa oleh karena tidak bisa dilaksanankan oleh Pak Yani. Pak Yani tetap seorang perwira TNI-AD yang tidak bisa cocok dengan konsep Nasakom dimana terdapat unsur “kom– komunis” yang sudah jelas melanggar dan bertentangan dengan Sapta Marga. Jadi untuk itulah seringkali Pak Yani dikatakan oleh Bung Karno bahwa dia adalah orang yang berlebihan melihat PKI sebagai bahaya. Bahkan kemudian PKI berhasil membisik-bisikkan kepada Bung Karno bahwa Angkatan Darat kurang setuju adanya konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini TIDAK BENAR karena nyatanya kesatuan-kesatuan yang berada di daerah perbatasan dengan Malaysia bagian terbesar adalah pasukan TNI-AD. Akan tetapi memang di dalam benak para pimpinan TNI-AD lebih mengharapkan adanya konsolidasi ke dalam bagi negara Republik Indonesia.


Namun sekalipun demikian tugas menghadapi Konfrontasi selalu dilaksanakan oleh TNI-AD dengan sepenuhnya. Usaha yang lebih keji lagi dilakukan oleh pihak komunis dengan menyatakan bahwa di dalam TNI-AD sudah ada Dewan Jenderal. Dewan Jendral ini telah kena pengaruh CIA (Organisasi Intelligence Amerika Serikat) dan mengambil langkah-langkah untuk merebut kekuasaan Presiden Soekarno. Hal-hal ini kemudian turut disebarkan oleh Menteri Luar Negri Soebandrio yang juga merangkap sebagai Kepala Badan Penyelidik Indonesia yaitu BPI. Ketika Bung Karno mendapat laporan adanya Dewan Jendral di dalam tubuh TNI-AD, maka dipanggilnya Jendral Yani sebagai pimpinan Angkatan Darat. Dan mengatakan minta tanggung jawab Yani atas hal yang dilaporkan itu. Oleh Pak Yani kemudian dijelaskan bahwa ini adalah laporan yang tidak benar dan salah. Memang di dalam TNI-AD ada satu dewan yang bersidang secara teratur untuk membicarakan kenaikan pangkat para perwira-perwira Kolonel ke atas yaitu apa yang dinamakan Dewan Jabatan dan Kepangkatan dan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi. Wanjak dan Wanjakti. Yang Wanjakti dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat sendiri. Akan tetapi Wanjakti sama sekali tidak membicarakan hal-hal diluar masalah kenaikan pangkat dan jabatan. Oleh karena itu adalah suatu kebohongan belaka bahwa ada Dewan Jendral yang akan merebut kekuasan dari Presiden Soekarno. Tetapi apa yang diuraikan oleh Pak Yani di depan Presiden Soekarno rupanya tidak beliau terima dengan baik. Hal itu mungkin juga disebabkan karena Menlu Soebandrio dengan BPInya turut membisik-bisikkan kebenaran akan hal itu. Jadi karena itu makin sulit keadaan yang dihadapi oleh pimpinan Angkatan Darat untuk membawa pimpinan negara sesuai dengan apa yang kita perjuangkan yaitu Republik Indonesia yang berpolitik luar negeri bebas aktif berdasarkan Pancasila.

Dalam pada itu kondisi negara, kondisi masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh dinamika yang ditimbulkan oleh berbagai usaha PKI menghadapi suatu masalah. Pimpinan PKI sadar dan demikian pula pimpinan di Uni Soviet dan RRC bahwa keberadaan PKI sangat tergantung dari perlindungan yang diberikan oleh Presiden Soekarno. Jadi adanya Presiden Soekarno itu sangat penting bagi perkembangan komunisme di Indonesia. Padahal pada waktu itu Bung Karno mulai menunjukkan kondisi kesehatan yang mundur. Sering kali beliau ke Eropa berobat di Wina untuk mengatasi kesulitan kesehatannya. Hal ini tentu diketahui juga oleh pemimpin Uni Soviet dan RRC. Maka satu saat RRC memutuskan untuk menempatkan satu tim kesehatan mendampingi Bung Karno. Tim kesehatan ini yang terdiri atas dokter-dokter pilihan dari Beijing berada di Jakarta untuk selalu mengikuti perkembangan kondisi kesehatan Soekarno dan memberikan bantuan untuk mengatasi kalau ada masalah-masalah. Dengan adanya ini maka pimpinan PKI khususnya Aidit selalu mengikuti kondisi kesehatan Bung Karno.

Pada awal tahun 1965 ada kesimpulan bahwa kesehatan Bung Karno semakin menurun. Hal ini kemudian menimbulkan pada pimpinan PKI juga pimpinan di Moskow dan Beijing pikiran utk dapat mengatasi kondisi ini. Karena tidak boleh terjadi Bung Karno meninggal sebelum PKI menguasai Indonesia. Sebab itu akan menjadi peluang bagi unsur-unsur di Indonesia anti-PKI untuk mengakhiri peran PKI yang sudah begitu menonjol. Maka timbul pikiran bahwa PKI harus dapat merebut kekuasaan dalam waktu singkat sebelum terjadi sesuatu hal pada kesehatan Bung Karno. Inilah yang kemudian menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dinamika yang lebih tinggi bagi gerak PKI, termasuk juga gerak Biro Khusus yang ditugasi oleh DN Aidit untuk mempengaruhi unsur-unsur TNI ABRI. Sebab Aidit, Moskow dan Beijing sadar bahwa tidak mungkin PKI merebut kekuasaan di Indonesia sebelum TNI khususnya TNI-AD hilang pengaruhnya dan hilang kekuatannya. Selama ada TNI-AD yang kuat maka mustahil PKI dapat merebut kekuasaan tanpa usaha-usaha kekerasan. Hal-hal demikian inilah membuat kegiatan-kegiatan Biro Khusus dan unsur-unsur di TNI yang sudah digarapnya makin aktif. Inilah prolog sebelum kita menghadapi pemberontakan yang kemudian terjadi pada tanggal 30 September – 1 Oktober 1965.

BAGIAN II – SEJARAH PEMBERONTAKAN

Memasuki tahun 1965, PKI makin agresif dimana mana. Di Jawa Timur mereka menunjukkan sikap yang arogan terhadap para alim ulama pondok-pondok pesantren. Demikian pula di daerah Jawa Barat, mereka di perkebunan menunjukkan kekuatan SARBUPRI (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Maka pada tanggal 14 Mei 1965 di Sumatera Utara di perkebunan Simulungun di Bandar Betsi mereka juga melakukan serangan dengan buruh taninya, buruh perkebunannya, dan pemudanya untuk mengambil tanah perkebunan untuk kepentingan atau keperluan mereka. Dalam peristiwa itu mereka malah membunuh seorang perwira TNI-AD, seorang Pembantu Letnan Sudjono yang tugasnya adalah menjaga perkebunan di Bandar Betsi itu. Ia berusaha mencegah usaha mereka menguasai tanah perkebunan. Sudjono dibunuh oleh mereka.

Dan kemudian PKI sebagai organisasi mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan ke 5 dengan alasan untuk memperkuat usaha Republik Indonesia di dalam menjalankan Konfrontasinya terhadap Malaysia. Tapi pasti hakekatnya adalah untuk memperkuat posisi PKI di Indonesia. Angkatan ke 5 akan terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai dengan senjata yang akan diperoleh dari RRC. Bung Karno menyetujui dan akan memenuhi permintaan itu. Akan tetapi pimpinan TNI-AD menolak dan menyatakan bahwa ABRI yg terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian cukup memadai untuk menjalankan semua tugas di dalam melaksanakan Konfrontasi. Hal ini menambah lagi ketegangan antara PKI dan TNI-AD dan dalam hal ini lagi Bung Karno cenderung berpihak kepada PKI dan mengatakan bahwa TNI-AD semakin komunistophobi dan semakin berkelebihan tidak senangnya kepada PKI. Jenderal Yani dan stafnya berusaha untuk terus melerai pandangan Presiden Soekarno terhadap TNI-AD. Pak Yani benar-benar berusaha menunjukkan loyalitasnya yang maksimal pada Presiden Soekarno. Akan tetapi menyangkut PKI ini buat Pak Yani sulit sekali untuk menyetujui apa yang dikehendaki oleh PKI dan didukung oleh Presiden Soekarno.

Rupanya tim kesehatan China yang mendampingi presiden Soekarno mulai khawatir terhadap kondisi kesehatan Bung Karno dan hal ini dilaporkan ke pimpinannya di Beijing. Pimpinan Beijing khususnya Perdana Menteri Zhou En Lai minta DN Aidit untuk datang ke China. Tentu bukan begitu secara terbuka, tetapi kesan perjalanan Aidit ke China dibuat seakan-akan DN Aidit sebagai menteri di dalam Pemerintah Nasakom melakukan perjalanan persahabatan ke China. Di dalam pertemuan antara Aidit dengan Zhou En Lai ini rupanya dibicarakan resiko tentang kondisi kesehatan Bung Karno. Sebab jelas sekali tanpa Soekarno posisi PKI di Indonesia akan sulit dapat dipertahankan. Inilah mungkin yang menjadi landasan keputusan yang diambil oleh pimpinan PKI khususnya Aidit. Dalam pada itu PKI telah berkembang menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan RRC. Hubungannya dengan Moskow dan Beijing cukup erat sekalipun antara Moskow dan Beijing sudah timbul kerenggangan.

Rupanya oleh Aidit diatur agar Nyoto sebagai pembantunya untuk menjalin hubungan lebih dekat ke Moskow, sedangkan dia sendiri lebih mendekati Beijing. Usaha Biro Khusus untuk mempengaruhi unsur-unsur ABRI berjalan terus. Meskipun intelijen Angkatan Darat berusaha untuk mengetahui segala hal yang dilakukan oleh Biro Khusus akan tetapi nampaknya tidak semua dapat diketahui dengan cermat. Pasti diketahui bahwa ada kesatuan-kesatuan di Kodam Diponegoro yang dulu merupakan unsur PKI Madiun yang berontak seperti bekas Batalyon Malady Yusuf. Atau bekas pasukan-pasukan Panembahan Senopati memang mendapat observasi tetapi sukar tentu untuk diketahui secara cepat seberapa jauh dan seberapa luas PKI telah berhasil mempengaruhi unsur-unsur ABRI khususnya TNI-AD.

Maka ketika pada tanggal 30 September malam dan 1 Oktober pagi PKI mulai memukul dengan menggunakan unsur-unsur Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa di bawah pimpinan komandan batalyonnya Let.Kol Untung maka ini merupakan suatu tindakan surprise atau pendadakan yang kurang bisa diantisipasi oleh intelijen Angkatan Darat. Oleh karenanya pesan Beijing untuk “memotong kepala ular” terlaksanalah. Tindakan ini dilaksanakanlah oleh Aidit pimpinan PKI dengan menggunakan unsur-unsur Cakrabirawa yang telah kena dipengaruhi oleh usaha Biro Khusus. Selain itu juga ada beberapa unsur dari AURI yang terpengaruh demikian pula dari Angkatan Laut.

Pada tanggal 1 Oktober fajar kediaman Panglima Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani; kediaman Deputi Angkatan Darat, May.Jend. Suprapto; kediaman Asisten Intelijen Angkatan Darat (ASPAM-AD) May.Jend S. Parman; kediaman Asisten Logistik Brig.Jen D.I. Panjaitan, kediaman Irjen Angkatan Darat, May.Jend MT Haryono; dan kediaman Kepala Pusat Hukum Angkatan Darat, Brig.Jen Sutoyo didatangi oleh unsur-unsur Cakrabirawa. Mereka datang dengan alasan untuk mengambil perwira-perwira yang dituju untuk dihadapkan pada Presiden Soekarno dengan tuduhan bahwa mereka telah berada di dalam Dewan Jendral yang akan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno di Indonesia. Tetapi ternyata tidak hanya perwira-perwira itu diambil bahkan ketika perwira-perwira itu baik Pak Yani maupun yang lain menunjukkan sedikit tindakan sikap perlawanan, maka pasukan yang datang itu tanpa ragu-ragu telah menembak para perwira-perwira ini. Jadi waktu itu Pak Yani sebetulnya di rumah sudah tiada atau sudah gugur ditembak oleh para unsur Cakrabirawa ketika beliau berusaha melawan. Demikian pula yang lain. Yang gagal diambil oleh unsur Cakrabirawa ini adalah Jenderal Nasution. Jenderal Nasution berhasil melarikan diri sementara ajudan beliau Letnan Pierre Tendean maju ke depan seakan-akan dialah Jenderal Nasution dan pasukan yang datang itu tertipu karena mengira bahwa Pierre Tendean itulah Jenderal Nasution. Dialah yang langsung ditembak dan dibawa oleh para pasukan.

Maka pada pagi hari itu tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi suatu tindakan terhadap para pimpinan Angkatan Darat. Likuidasi pimpinan Angkatan Darat dan seorang perwira pertama Pierre Tendean sedangkan Jenderal Nasution berhasil melarikan diri dan selamat. Kemudian pada pagi hari itu juga tanggal 1 Oktober, Let.Kol Untung mengumumkan adanya Dewan Revolusi yang mengambil tindakan terhadap sekumpulan TNI yang akan melakukan perebutan kekuasaan terhadap Presiden Soekarno. Maka Dewan Revolusi ini mengambil kekuasaan dan dengan demikian menunjukkan tindakan pemberontakan.

Pada tanggal 1 Oktober itu Panglima Angkatan Udara, Oemardhani, juga mengeluarkan statement melalui RRI menyatakan dukungannya kepada Dewan Revolusi yang mengambil tindakan terhadap pimpinan Angkatan Darat. Akan tetapi Tuhan belum mengijinkan PKI menang sebab pada pagi hari itu May.Jend Suharto sebagai Panglima Kostrad telah mendapat informasi tentang tindakan yang dialami oleh pimpinan Angkatan Darat. Pak Harto langsung pergi ke MABES Kostrad dan disanalah pada tanggal 1 Oktober itu Pangkostrad mengambil tindakan-tindakan yang mengakibatkan gagalnya PKI untuk mengambil kekuasaan. Sebab Jenderal Nasution yang berhasil melarikan diri dari rumahnya dengan tepat menuju ke markas Kostrad. Ketika Pak Harto meminta Pak Nas untuk memegang pimpinan perlawanan, Pak Nas menugaskan kepada Jenderal Suharto supaya dialah yang memegang pimpinan. Sangat mungkin dapat dimengerti mengapa Pak Nas tidak ingin memegang pimpinan dikarenakan dengan situasi di rumah yang ditinggalkan Pak Nas pagi itu, selain Pierre Tendean ajudannya yang menjadi korban ada juga seorang putri bungsu Pak Nas, Ade Irma Suryani yang masih berusia 5 tahun turut tertembak waktu pasukan PKI ini menembak di rumah Jenderal Nasution. Mungkin karena hal-hal itu Pak Nas kondisi mentalnya tertekan dan kemudian meminta Pak Harto untuk memegang pimpinan. Dan pimpinan ini kemudian dilaksanakan secara efektif oleh Pak Harto.

Rupanya PKI juga sudah menyiapkan 2 batalyon TNI-AD yang ditugaskan untuk berada di Jakarta menghadapi, mempersiapkan diri untuk peringatan ulang tahun TNI pada tanggal 5 Oktober. Batalyon-batalyon yang dipersiapkan ini merupakan bagian dari Kostrad yang ternyata terdiri dari 2 batalyon. 1 batalyon dari Kodam Diponegoro yaitu Batalyon 454 dan 1 batalyon dari Kodam Brawijaya Batalyon 530. 2 batalyon ini juga sudah kena garapan dari Biro Khusus. Itu berarti bahwa yang menggerakkan dan yang memerintahkan 2 batalyon ini untuk datang ke Jakarta guna ikut serta dalam upacara 5 Oktober adalah orang yang pasti tahu bahwa 2 batalyon ini sudah dalam kekuasaan pimpinan PKI. 2 batalyon itu tanggal 1 Oktober pagi hari berada di sekitar Lapangan Merdeka dimana terletak markas-markas yang utama dan gedung-gedung pemerintah yang penting. Andai kata 2 batalyon ini dapat digerakkan dimanfaatkan dengan tepat maka PKI pada tanggal 1 Oktober sudah akan berhasil merebut kekuasaan di Indonesia. Akan tetapi rupanya pengendalian pasukannya juga masih kurang tepat dan kurang efektif. Karena 2 batalyon ini bersama dengan Batalyon 330 Siliwangi adalah merupakan unsur-unsur yang di bawah perintah Kostrad maka kemudian Panglima Kostrad Jenderal Suharto berhasil mendekati pimpinan Batalyon 454 dan 530. Keberhasilan pendekatan Pangkostrad ini yang membuat 2 batalyon ini tidak lagi dapat dimanfaatkan oleh PKI. Karena mereka kemudian sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Pangkostrad. Dan memang ada kelemahan pimpinan PKI yang kurang memperhatikan logistik dari 2 batalyon ini. Batalyon-batalyon yang didatangkan ini kurang mendapat dukungan makanan sehingga ini kemudian dapat disuplai dibekali oleh Kostrad yang makin mendekatkan penguasaan dari Pangkostrad atas 2 batalyon ini.

Dengan direbutnya penguasaan atas 2 batalyon ini, maka kemampuan kesempatan PKI untuk merebut kekuasaan semakin kecil. Dan pada tanggal 1 Oktober itu juga Pangkostrad yang menetapkan diri sebagai pengganti pimpinan Angkatan Darat telah memerintahkan pasukan RPKAD dibawah pimpinan komandannya Kolonel Sarwo Edhi untuk merebut lapangan udara Halim Perdanakusuma. Telah ada informasi bahwa pusat pengendalian PKI ini berada di Halim Perdanakusuma. Dalam pada itu Presiden Soekarno yang tadinya berada di istana telah meninggalkan istana pada pagi hari. Mula-mula Presiden Soekarno dibawa oleh ajudannya Malwi Saelan menuju ke rumah istri Bung Karno, Dewi tapi kemudian dari sana rupanya dianggap kurang efektif kalau menghadapi keadaan karena helikopter Bung Karno ada di Halim. Maka Bung Karno dibawa oleh ajudannya menuju ke Halim dan tinggal di rumah seorang perwira tinggi Angkatan Udara. Di Halim kemudian Bung Karno mendapat laporan tentang apa yang telah terjadi terhadap para pimpinan Angkatan Darat yaitu Jendral Ahmad Yani, Jendral Suprapto, Jendral S. Parman, Jendral Panjaitan, Jendral MT Haryono dan Jendral Sutoyo. Reaksi Bung Karno adalah: Dalam revolusi hal demikian adalah seperti “een rimpel in de oceaan” kata beliau dalam bahasa Belanda. Jadi Bung Karno menganggap apa yang terjadi ini merupakan suatu hal yang biasa-biasa saja karena beliau mengatakan di dalam revolusi kejadian ini hanya bagaikan riak kecil di dalam samudera yang luas “een rimpel in de ocean” demikian reaksi beliau menanggapi pembunuhan terhadap orang yang tadinya disebutnya sebagai anak emasnya yaitu Jenderal Yani.

Bung Karno ketika berada di Halim menetapkan penggantian pimpinan Angkatan Darat dengan tiadanya Panglima Angkatan Darat Jenderal Yani yang sudah terbunuh. Atas saran dari DN Aidit yang juga berada di Halim, Bung Karno menetapkan May.Jend Pranoto Asisten Personel TNI-AD sebagai pimpinan Angkatan Darat yang baru. Dan hal ini kemudian disiarkan melalui radio RRI. Kemudian ajudan Bung Karno Kolonel Wijanarko ditugaskan untuk pergi ke Kostrad untuk menyampaikan perintah Bung Karno agar May.Jend Pranoto datang ke Halim dan ditetapkan sebagai pimpinan Angkatan Darat menggantikan Jenderal Yani. Waktu Kolonel Wijanarko tiba di Kostrad dan menyampaikan pesan Presiden Soekarno itu, maka timbul sikap penolakan tidak saja dari Pak Harto, tapi juga dari Pak Nasution dan perwira-perwira yang lain. Karena adalah sudah menjadi kebiasaan selama pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Jenderal Yani sebagai Panglima Angkatan Darat, bahwa Pangkostrad May.Jend Suharto adalah merupakan orang kedua di dalam TNI-AD meskipun tidak ada ketentuan tertulis yang menyatakannya. Tapi Jenderal Yani sudah menyatakan ini sebagai SOP (Standard Operation Procedure) yang berlaku di TNI-AD dan selama ini juga sudah berlaku bahwa jika Jendral Yani sedang tidak berada di tempat entah sedang tugas keluar negeri atau menjalankan tugas yang lainnya, maka yang memegang pimpinan TNI-AD sebagai person-in-charge adalah Jenderal Suharto. Jadi atas dasar situasi yang sudah berlaku di dalam tubuh TNI-AD itu, segala sesuatunya yang ditetapkan oleh Bung Karno tidak mendapat respond yang memadai. Lagipula masih ada kesangsian terhadap sikap May.Jend Pranoto dalam menghadapi masalah ini. Oleh karena itu Jenderal Suharto kemudian menyampaikan kepada Kolonel Wijanarko untuk meneruskan pesan yang harus dilaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa pimpinan TNI-AD telah diambil sesuai dengan SOP TNI-AD oleh Pangkostrad Jenderal Suharto, dan Jenderal Suharto tidak mengijinkan Jenderal Pranoto menghadap Presiden di Halim saat itu. Selain itu Jenderal Suharto menyampaikan kepada Kolonel Wijanarko agar sebaiknya Presiden Soekarno segera pergi meninggalkan Halim. Oleh karena sebentar lagi Halim akan direbut oleh pasukan khusus RPKAD guna membersihkan Halim dari unsur-unsur pimpinan G30S/PKI. Dan jangan sampai Presiden Soekarno nanti terjebak di dalam kemungkinan pertempuran yg akan terjadi.

Ketika Kolonel Wijanarko kembali ke Halim dan melaporkan apa yang dikatakan Jenderal Suharto kepada Presiden Soekarno, maka Presiden Soekarno menunjukkan sikap kemarahannya karena perintahnya tidak dapat dilaksanakan. Terlebih kemudian Presiden Soekarno menolak untuk meninggalkan Halim. Akan tetapi atas desakan Menteri Leimena dan yang lain, Presiden Soekarno kemudian menuruti desakan itu dan dengan didampingi oleh Dr Leimena, Presiden Soekarnopun lalu meninggalkan Halim dan kemudian pergi menuju ke istana Bogor. Sebab itu ketika pasukan RPKAD mulai menyerang Halim dan kemudian menguasai lapangan udara Halim Perdanakusuma, Presiden Soekarno sudah tidak berada disana, akan tetapi DN Aiditpun sudah tidak ada. Oleh karena sebelumnya pimpinan Angkatan Udara telah menyediakan satu pesawat yang kemudian membawa Aidit ke Jawa Tengah atau Jawa Timur dan pergi meninggalkan Jakarta atau Halim.

Kemudian juga Panglima Kostrad sebagai pimpinan Angkatan Darat yang baru segera menguasai Radio Republik Indonesia (RRI), mengeluarkan pengumuman-pengumuman tentang apa yang telah terjadi pagi ini dan bahwa kejadian ini semua merupakan pemberontakan PKI yang berusaha menguasai Indonesia melalui Dewan Revolusi dengan pimpinannya Let.Kol Untung. Akan tetapi bahwa semua itu gagal dan usaha hari pertama itu sudah membuat pasukan-pasukan yang dibawah pimpinan Untung dan unsur-unsur ABRI yang turut di dalamnya sudah dapat dilumpuhkan dan dapat dilikuidasi sedangkan Untung sendiri sudah melarikan diri. Inilah kejadian pemberontakan G30S/PKI pada tanggal 30 September – 1 Oktober 1965. Jadi kalau di kemudian hari ada usaha-usaha yang mau membebaskan PKI dari pemberontakan 30 September – 1 Oktober dengan mengatakan bahwa yang terjadi adalah suatu persoalan internal TNI-AD itu adalah BOHONG BELAKA. Memang yang bergerak utamanya adalah pasukan-pasukan TNI-AD baik yang ada di Cakrabirawa maupun di luarnya akan tetapi itu adalah pasukan-pasukan yang kena digarap oleh Biro Khusus dan sudah masuk dalam kendali pimpinan PKI, DN Aidit. Jadi Untung bukan melakukan tindakan terhadap pimpinan TNI-AD sebagai perwira TNI-AD yang memberontak terhadap pimpinannya melainkan dia disitu adalah sebagai seorang yang telah kena pengaruh PKI melalui Biro Khususnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang diputuskan oleh pimpinan PKI, DN Aidit. Juga adanya argumentasi bahwa yang bergerak bukan PKI akan tetapi DN Aidit pribadi, sedangkan pengurus PKI yang lain baik Ir. Sakirman, Nyoto, Nyono tidak tahu akan hal ini semua. Ini mungkin benar, akan tetapi kalau ketua umumnya yang memegang pimpinan PKI dan mengeluarkan keputusan-keputusan, maka dengan sendirinya PKI sebagai organisasi jelas terbawa serta. Oleh karena juga apa yang dikumandangkan oleh Dewan Revolusi yang mau menggerakkan unsur-unsur rakyat di daerah untuk turut bergerak melawan TNI-AD, ini semua menunjukkan tidak mungkin hanya suatu usaha pribadi DN Aidit, melainkan DN Aidit yang menggunakan organisasi PKI untuk berusaha menguasai Republik Indonesia. Maka gagallah untuk ke 3 kalinya pemberontakan PKI di Indonesia. Yang pertama yang gagal adalah masa di jaman Hindia Belanda pada tahun 1927, yang kedua sudah menjadi Republik Indonesia pada tahun 1948 ketika PKI berontak di Madiun dan berusaha merebut kekuasaan dan yang ke 3 sekarang adalah pada tahun 1965.

Langkah-langkah berikut yang dilakukan adalah untuk mencari tahu kemana para korban pimpinan-pimpinan TNI-AD ini dibawa oleh penculiknya, karena tidak ada yang tahu kemana bergeraknya para pemberontak ini. Baru pada tanggal 2 Oktober ada saksi yang melaporkan adanya kegiatan-kegiatan di daerah Lubang Buaya dekat Halim. Ternyata para korban dibawa ke Lubang Buaya dan di sana jenazah-jenazah dikubur. Mereka yang belum terbunuh di rumahnya pada subuh tanggal 1 Oktober, pada saat diketemukan di Lubang Buaya semua telah terbunuh. Dengan cepat TNI-AD menggerakkan pasukannya ke Lubang Buaya dan benarlah diketemukan ada sumur dimana semua jenazah itu dimasukkan setelah dibunuh. Dengan bantuan juga dari sekelompok pasukan KKO maka jenazah-jenazah ini pada tanggal 4 Oktober bisa berhasil diangkat dan dievakuasi dari dalam sumur dan kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto untuk diautopsi. Dan pada tanggal 5 Oktober yang bertepatan dengan hari ulang tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, jenazah-jenazah para perwira-perwira TNI-AD ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Adalah juga mencolok mata dan menonjol bahwa pada pemakaman Jenderal Yani yang katanya merupakan “anak emas” Presiden Soekarno, Presiden tidak hadir di Kalibata. Adalah suatu kebohongan kalau kemudian dikatakan bahwa Presiden Soekarno meninggalkan istana Bogor dan menuju ke Kalibata untuk menghadiri upacara pemakaman para perwira-perwira TNI-AD yang gugur.
BAGIAN III – EPILOOG G30S / PKI

Selanjutnya Angkatan Darat dan unsur-unsur yang lain dari jajaran ABRI melakukan pembersihan. Dari Angkatan Darat dikirimkan pasukan RPKAD ke Jawa Tengah untuk melakukan pembersihan di sana karena di sana banyak terdapat unsur-unsur yang kena pengaruh PKI pada umumnya. Nanti di Jawa Tengah pula komandan brigade Kolonel Yaser berhasil menangkap D.N. Aidit yang telah dibawa pesawat AU ke Jawa Tengah untuk melarikan diri. Aidit ditangkap dan juga dihukum disana.

Ketika kemudian sebagai reaksi dan akibat dari pemberontakan G30S/PKI terjadi banyak pembunuhan, termasuk pembunuhan terhadap orang-orang yang katanya tidak bersalah. Dan ini semua dilakukan oleh rakyat Indonesia bersama TNI. Ini sebetulnya tidak lain daripada akibat dari kondisi Indonesia sebelum terjadinya G30S/PKI. Sikap yang arogan dari PKI sejak tahun 1960 sudah menimbulkan banyak rasa muak dan rasa bertentangan di masyarakat luas khususnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Inilah kemudian mengakibatkan reaksi spontan dari masyarakat terhadap semua pihak yang dicurigai telah berpihak kepada PKI. Sebab pada tahun 1965 PKI sudah sangat luas organisasinya dan PKI telah menjadi organisasi komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan RRC. PKI memiliki unsur kekuatan yang berada dimana-mana, terdiri dari Barisan Tani Indonesia dan Sarikat Buruh yang ada di berbagai kalangan, baik sarikat buruh perkebunan, sarikat buruh kereta api, dan sarikat pekerja kementrian pertahanan. Demikian pula ada organisasi pemuda, yaitu Pemuda Rakyat yang telah mengorganisir pemuda yang bersedia bergabung kepada PKI. Dan ada organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang juga merupakan tangan-tangan PKI. Ada juga GERWANI yaitu gerakan wanita Indonesia yang adalah merupakan perkumpulan wanita-wanita yang berpihak kepada PKI dan mereka berada dimana-mana di daerah sehingga oleh karena itu tidak mengherankan bahwa terjadi pembunuhan yang begitu meluas. Tentu bukan hal ini yang diinginkan tapi ini adalah suatu reaksi spontan terhadap hal yang telah terjadi sebelumnya, sehingga sukar dicegah. Bahwa kemudian dituduhkan kepada TNI-AD, khususnya Jenderal Suharto, telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan HAM, maka harusnya juga dipertimbangkan apa yang telah terjadi sebelumnya. Adalah reaksi yang tepat dari seorang pemimpin Islam yang mengatakan kalau Pemerintah Republik Indonesia kemudian harus minta maaf kepada PKI dan pendukungnya atas apa yang telah terjadi, maka bagaimana permintaan maaf untuk mereka yang telah dibunuh oleh PKI di Bandar Betsi, Jawa Tengah, Jawa Timur dan yang lain yang telah terjadi sejak pemberontakan PKI Madiun. Siapa yang akan minta maaf untuk pembunuhan-pembunuhan itu? Hingga saat ini masih tetap saja ada usaha untuk membebaskan PKI dari keterlibatannya di dalam pemberontakan G30S/PKI. Dengan demikian memungkinkan timbulnya kembali PKI atau unsur-unsurnya. Sebab itu adalah masuk akal bahwa hingga kinipun masih ada kecurigaan terhadap timbulnya kembali PKI dan unsur-unsurnya. Bangkitnya kembali PKI bukan dalam rangka membangun pemerintah komunis di Indonesia, tetapi untuk membangun kekuatan dan melakukan pembalasan untuk hal yang dialami. Kuatnya niat itu dapat dilihat ketika para pendukung PKI berhasil menggait bantuan dari luar negeri.

Pada tahun 2015 diadakan International People’s Tribunal di Den Haag, Belanda, yang membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan pembunuhan itu. Diambil keputusan yang mengharuskan Pemerintah Indonesia melakukan hal-hal yang menunjukkan adanya kesalahan pada Pemerintah Indonesia. Sebagai kelanjutan dari pertemuan itu di Indonesia diadakan pertemuan serupa yang antara lain minta Pemerintah Indonesia untuk minta maaf kepada para korban dan memberikan rehabilitasi kepada mereka. Ini semua menunjukkan kuatnya niat dari para pendukung PKI untuk bangkit kembali. Bukan untuk membangun masyarakat komunis, tetapi membangun satu kekuatan yang memberikan kekuasaan.

Dalam hal ini perlu diperhatikan apa yang terjadi di China. Karena sering kali orang mengatakan komunisme sudah kehilangan daya tarik. Bahkan di China sekalipun sistem apa yang dilaksanakan pemerintahnya bukan hal yang bersifat komunisme. Yang dibangun di China bukan satu masyarakat komunis seperti yang digambarkan Karl Marx. Akan tetapi sekalipun demikian tidak dapat disangkal bahwa di China yang berkuasa adalah Partai Komunis China. PKC dimanfaatkan oleh Pemerintah China sebagai satu kekuasaan totaliter untuk membangun negaranya menjadi satu kekuatan besar. Sebab itu China tidak akan melepaskan system komunis yang dianutnya.

Maka disinipun tidak mustahil jika PKI ingin berdiri kembali menguasai keadaan dan berkuasa atas negara Republik Indonesia. Dan tidak mustahil bahwa usaha demikian mendapat bantuan China. Sebab berkembangnya satu kekuatan di Asia Tenggara yang sesuai dengan kepentingan China amat sesuai dengan kehendaknya berkembang sebagai kekuatan global.

Jadi adalah bukan berlebihan kalau kita tetap selalu waspada terhadap segala usaha untuk membangkitkan kembali PKI di Indonesia. Tapi yang paling penting adalah diketahui apa yang sebetulnya terjadi sekitar 30 September dan 1 Oktober 1965. Demikian pula tentang masa-masa sebelumnya sejak tahun 1950 dan adanya pemberontakan PKI di Madiun. Bahwa sejak awal ada usaha PKI untuk merebut kekuasaan di Indonesia.

Demikianlah uraian saya tentang pemberontakan G30S/PKI. Mudah-mudahan uraian ini dapat menimbulkan pemahaman yang benar tentang PKI dan bahwa kewaspadaan terhadap kemungkinan timbulnya kembali PKI bukanlah satu hal yang berlebihan dan bukan hal yang mengada-ada. Oleh karena itu kita selalu harus waspada dan tidak memberikan kesempatan untuk timbulnya kembali PKI dan organisasi-organisasi semacamnya.

SELESAI

Sumber: http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1721

0 comments:

Post a Comment