Bentuk Negara dan Pemerintahan
Al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Sa’udiyah merupakan sebuah negara yang berbentuk kerajaan dengan bentuk pemerintahan monarki mutlak Islam. Negara ini diplokamirkan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman as-Sa'ud pada tanggal 23 September 1932, dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd (Nejed), Ha-a, Asir, dan Hijaz. Hukum yang berlaku di Arab Saudi adalah Syari’at Islam yang didasarkan pada paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Arab Saudi merupakan negara terbesar di Asia timur tengah dengan luas 2.240.000 km², dan terbentang di antara 15°LU - 32°LU dan antara 34°BT - 57°BT. Wilayah Arab Saudi terbagi atas 13 provinsi atau manatiq (jamak dari mantiqah), yakni:
Bahah
Hududusy Syamaliyah
Jauf
Madinah
Qasim
Riyadh
Syarqiyah (Provinsi Timur)
'Asir
Ha'il
Jizan
Makkah
Najran
Tabuk
Sejarah Dinasti Sa’udiyah
Terbentuknya kerajaan Arab Saudi tidak terlepas dari kemunduran yang dialami oleh Daulah Utsmaniyah di Turki, bangkitnya paham Wahabiyah di daerah Makkah, Madinah dan Basrah, serta campur tangan penjajah dari Eropa seperti Inggris dan Prancis. Seperti kerajaan-kerajaan lain sebelumnya, kerajaan Arab Saudi pun mengalami pasang-surut antara masa-masa kejayaan dan kehancuran. Pada umumnya, sejarah kerajaan Arab Saudi dibagi menjadi tiga periode: dinasti pertama pada tahun 1744-1818, dinasti kedua antara tahun 1824-1892, dan dinasti ketiga yang dimulai pada tahun 1932 sampai sekarang.
Pada awalnya, keluarga ini hanya sebuah keluarga yang menguasai daerah kecil sebagaimana keluarga-keluarga lainnya di jazirah Arab. Sejarah Keluarga Sa’ud berawal pada tahun 1727, ketika Muhammad bin Sa’ud menjadi hakim di Dir’iyah dan memutuskan untuk bersekutu dengan Muhammad ibn Abdul Wahab pada tahun 1744. Sejak saat itu, keluarga Sa’ud menjadi pendukung utama gerakan wahabi dan ikut menyebarkan ajaran yang dibawanya. Gerakan Wahabi ini pada mulanya telah tersebar di daerah ‘Uyainah, tetapi kemudian tidak mendapat dukungan dari pemerintah setempat.
Persekutuan Sa’udiyah – Wahabiyah ini menjadi suatu kekuatan baru di dunia Arab, baik dari segi politik maupun dari segi spritual. Ajaran Wahabi berkembang dan menjadi ideologi pemersatu kesukuan yang bersifat keagamaan di wilayah kekuasaan Ibn Sa’ud. Dengan semangat memurnikan kembali ajaran Islam, mereka berusaha untuk melawan suku-suku disekitarnya sekaligus menyebarkan ajaran Wahabi. Di lain sisi, daerah kekuasaan Ibn Sa’ud semakin meluas.
Pada masa kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad ibn Saud (1765–1803), dinasti Sa’ud berhasil merebut Riyadh yang merupakan ibukota Nejd pada tahun 1773, kemudian meluas daerah pedalaman Arabia. Beberapa tahin kemudian Dinasti Sa’ud berhasil menguasai Oman, Yaman, Pedalaman Suriah, teluk Arab, hingga Karbala pada tahun 1801, di tahun berikutnya mereka berhasil menguasai Thaif.[4] Pendudukan ini kemudian berlanjut pada masa pemerintahan Saud Ibn Abdul Aziz Ibn Muhammad Ibn Saud (1803–1814), pasukannya berhasil memasuki Makkah (1803) dan Madinah (1804) dan memaksa penguasa Hijaz pada saat itu tunduk pada pemerintahan Sa’udiyah.
Perkembangan Daulah Bani Sa’udiyah yg begitu pesat ini, menjadikanya sebagai sebuah ancaman tersendiri bagi kekuatan Daulah Bani Utsmaniyah di Turki. Oleh karena itu, pada tahun 1811 pemerintah Utsmaniyah mengirim Muhammad Ali Pasya untuk merebut kembali daerah Hijaz. Usaha Muhammad Ali ini diteruskan oleh anaknya Ibrahim Pasya hingga akhirnya dapat menguasai kota Dir’iyah tahun 1818. Setelah menguasai kota, pemimpin dinasti Sa’ud pada saat itu, Abdullah bin Saudditangkap dan dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah. Peristiwa ini menandai runtuhnya kekuatan keluarga Sa’ud periode pertama.
Dinasti Sa’ud yang kedua dimulai sejak Turki ibn ‘Abdillah berkuasa di Riyadh pada tahun 1824. Ia berusaha mengembalikan kejayaan Sa’udiyah, dan berhasil menguasai ‘Arid, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan Aflaj. Pada masa ini Turki ibn Abdillah tidak saja harus berhadapan dengan pasukan Utsmaniyah dan pasukan Mesir, tetapi Ia juga harus meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Mishari yang merupakan sepupunya sendiri. Perang saudara seperti ini terus berlanjut hingga generasi ketiga, sepeninggal Sa’ud yang wafat pada tahun 1875. Dua saudaranya, Abdurrahman dan Abdullah saling berebut untuk menjadi orang nomor satu di dinasti Sa’udiyah. Oleh karena perang saudara yang berlarut-larut ini, akhirnya pada tahun 1891, dinasti Sa’udiyah berakhir ditandai dengan terusirnya Abdurrahman ke Kuwait oleh bekas bupatinya sendiri, Muhammad ibn Rashid.
Pada tahun 1902, Abdul Aziz yang merupakan anak dari Abdurrahman berhasil membunuh pemimpin Bani Rashid dan menduduki Riyadh. Peristiwa ini merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Arab Saudi seperti yang kita ketahui sekarang ini.
Lahirnya Kerajaan Arab Saudi (Al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Sa’udiyah)
Kerajaan ArabSaudi modern seperti yang kita kenal seperti pada saat ini merupakan sebuah kerajaan bani Sa’udiyah yang dirintis oleh Abdul Aziz As-Sa’ud atau yang lebih dikenal dengan Ibn Saud setelah Ia menaklukan Riyadh. Ibnu Sa’ud merupakan seorang pemimpin kharismatik, pemberani, terhormat, bahkan dikenal dengan kekejamannya pada saat-saat tertentu.Pada awal-awal masa pemerintahannya di Riyadh, Ia menghadapi serangan dari bani Rashid yang dibantu oleh pasukan Ottoman Turki. Tetapi dengan bantuan Inggris dan Kuwait, pada tahun 1904 Ibnu Sa’ud berhasil memenangkan pertempuran tersebut dan memaksa Ottoman untuk menarik pasukan mereka.
Ibnu Sa’ud juga berhasil merengkuh dukungan dari suku Badui dengan mendirikan sebuah organisasi yang disebut dengan Al-Ikhwan. Melalui organisasi ini Ia mengajak para masyarakat Badui yang memeluk paham Wahabi untuk tinggal menetap dan memberikan mereka bantuan berupa tanah, sandang-pangan, dan lain sebagainya. Ibnu Sa’ud mulai menghilangkan hukum-hukum adat yang berlaku dan menggantinya dengan hukum Islam, Ia mulai berusaha menata kehidupan kaum Badui yang semula suka berpindah-pindah tempat. Oleh karena itu, Ibnu Sa’ud kemudian mendapat dukungan penuh dari kelompok Al-Ikhwan ini, serta dapat memukul mundur pasukan Ottoman dari Hufuf pada tahun 1913.
Pada masa-masa menjelang perang dunia pertama, Ibnu Sa’ud lebih memilih bekerja sama dengan Inggris. Sehingga pada than 1915 ia mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Inggris yang dengannya diakuinya eksistensi dan kemerdekaan negara Saudi. Hal ini dilakukan Inggris karena mereka menilai masa depan Ibnu Sa’ud akan jauh lebih baik dari pada penguasa Hijaz, Husain bin Ali.
Setelah berakhirnya perang dunia pertama, Ibnu Sa’ud kembali memperluas wilayah kekuasaannya dan mempersatukan jazirah Arabia dibawah kerajaannya. Pada tahun 1920 Ia memulai ekspansi ke Ha’il dan berhasil menghapus kekuasaan dinasti Rasyidiyah. Setahun kemudian Ia memplokamirkan diri sebagai penguasa Nejd. Tahun 1922 Ibnu Sa’ud meluncurkan serangan ke Hijaz, Ia berhasil membuat penguasa Hijaz ketakutan dan memasuki kota Makkah tanpa perlawanan pada tahun 1924.
Pada tahun 1927 Inggris kemudian mengadakan perjanjian dengan Ibnu Sa’ud dan mengakui kemerdekaan dari wilayah kekuasaan Sa’udiyah pada saat itu. Tetapi ini justru menyebabkan perpecahan antara Ikhwan dan pemerintahan Ibnu Sa’ud. Hal ini didasari oleh dibangunnya pos penjagaan oleh Irak didekat perbatasan Saudi. Kelompok Ikhwan yang tidak setuju dengan hal tersebut menyerang pos tersebut, serangan ini menyebabkan terjadinya konflik dengan Inggris. Di lain pihak, Ibnu Sa’ud menginginkan penyelesaian masalah tersebut secara diplomatis, yang mana sangat bertentangan dengan keinginan kaum Al-Ikhwan. Hal ini mengakibatkan pemberontakan kelompok Al-Ikhwan terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Pada Januari 1930, Ibnu Sa’ud berhasil meredam pemberontakan ini dan mengubah pola pengajaran diwilayah kekuasaan kerajaan Sa’udiyah.
Setelah pemberontakan Al-Ikhwan, pemberontakan-pemberontakan kembali terjadi untuk meruntuhkan rezim Ibnu Sa’ud. Untuk menjaga stabilitas di wilayah kekuasaannya, Ibnu Sa’ud kemudian menumpas semua kelompok pemberontak dan melarang segala bentuk gerakan politik yang sebelumnya diperbolehkan. Pada tahun 1932 Ia berhasil memplokamirkan penggabungan Hijaz dan Najd, hingga puncaknya Ibnu Sa’ud memplokamirkan berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tanggal 23 September 1932.
Keadaan Sosial Bangsa Arab pada Masa Berdirinya Dinasti Sa’ud
Dalam sejarah Islam dan dalam stuktur esensialnya, orang-orang Arab menempati posisi khusus. Nabi Muhammad saw adalah orang Arab, dakwah pertamanya kepada orang Arab, Islam pun maju dan berkembang berkat bangsa Arab. Bahasa Arab menjadi merupakan bahasa ibadah, teologi, dan hukum. Di mata Islam tidak mengenal perbedaan antara bangsa Arab dan bangsa lainnya, tetapi pada kenyataannya rasa perbedaan etnis tetap bertahan baik dalam budaya, sastra, maupun perebutan kekuasaan. Bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap darah keturunan mereka.
Pada perkembangan selanjutnya, pusat umat Islam berpindah dari jazirah Arab. Pada masa dinasti Umayah, Muawiyah bin Abi Sofyan memindahkan pusat dinastinya ke Damaskus Syiria. Pada masa dinasti ‘Abbasiyah, Abdullah As-Saffah memindahkan pusat peradaban Islam ke kota Baghdad, Iran, Dinasti besar Islam selanjutnya, dinasti Utsmaniyah berada di daerah Turki. Perpindahan kekuasaan dan pusat kebudayaan ini semakin menjauh dari jazirah Arab yang merupakan pusat dakwah Islam pertama oleh Rasulullah saw.
Kekuasaan memang terus berpindah kepada kelompok-kelompok ‘Ashabiyah, baik itu Persia maupun Turki. Namun hal ini tidak serta-merta menghapus kekuatan bangsa Arab, bahasa Arab tetap mempertahankan posisi khususnya sebagai bahasa kebudayaan dan bahasa agama. Dengan demikian melalui sarana-sarana tersebut orang-orang Arab masih memainkan suatu peran dalam kehidupan publik komunitas Islam.
Ketika dinasti Utsmaniyah mulai mengalami kemunduran, terjadi pergeseran keseimbangan kekuasaan di dalam umat antara bangsa Turki dan bangsa Arab. Orang-orang Arab dianggap dapat menyelematkan Islam dari keruntuhan. Hal ini didasari oleh posisi sentral semenanjung Arab di kalangan umat muslim, disamping itu karena posisi bahasa Arab dalam pemikiran Islam, bangsa Arab pada waktu itu juga dianggap relatif bebas dari korupsi modern dan orang-orang Badui bersih dari keruntuhan moral dan kepasifan despotisme.
Pada akhir abad ke-19, perasaan nasionalisme dikalangan umat muslim mulai berbentuk sekuler. Majalah Bustani Al-Jinan membuat seruan khusus terhadap perasaan lokal seraya menyerukan kesatuan di dalam wathan Utsmaniyah, tetapi hal ini diiringi dengan seruan kesatuan nasionalisme (bilad) Suriah. Keadaan pada masa ini harapan mengenai kesatuan Utsmaniy sangat tinggi, tetapi kobaran perasaan nasionalis masih terfokus pada unit teritorial yang lebih kecil, terbagi-bagi baik secara geografis maupun keturunan.
Pengelompokan-pengelompokan akibat perasaan nasionalis (Bilad/Bustan) ini terus berkembang hingga menimbulkan pemberontakan kepada dinasti Utsmaniyah. Sejumlah besar umat muslim menginginkan suatu negara Arab merdeka dibawah seorang raja Arab, tetapi sebagian umat muslim yang merupakan pengikut partai Desentralisasi menginginkan untuk mendirikan negara Suriah merdeka. Gerakan-gerakan ini memperoleh dukungan dari negara-negara eropa, baik Inggris maupun Prancis.
Memasuki abad ke-20, raja Faishal berusaha keras untuk mempertahankan dukungan Inggris dengan bersikap akomodatif terhadap Prancis dan orang-orang Yahudi. Pada tahun 1920 Ia mendeklarasikan diri sebagai raja Suriah dan sebagai wakil dari orang-orang Muslim, Kristen, maupun Yahudi. Keputusan-keputusan ini tidak disetujui oleh Inggris dan Prancis.hal ini memicu ketegangan diantara kedua belah pihak yang berakibat didudukinya Suriah oleh Prancis. Pendudukan ini berdampak pada masa depan negara-negara di kawasan jazirah Arab. Suriah dan Irak ditempatkan dibawah mandat Inggris dan Prancis, sementara Hijaz menerima kemerdekaannya. Hal inilah yang semakin menguatkan keberadaan dinasti Sa’ud di kawasan jazirah Arab.
Pengaruh Arab Saudi di Indonesia
Arab Saudi merupakan tempat di mana lahir dan berkembangnya Islam. Penyebaran Islam di seluruh dunia dimulai dari tanah Arab, khususnya di Indonesia. Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai kedatangan Islam ke Indonesia, tetapi Teori tentang kedatangan Islam ke Nusantara langsung dari Arabia ini selaras dengan cerita yang ditulis dalam historiografi lokal tentang Islamisasi di wilayah ini.
Historiografi lokal tersebut menyebutkan secara jelas peranan Mekkah dan Jeddah—dua kota dalam wilayah Kerajaan Arab Saudi saat ini—sebagai asal daerah tinggal para penyebar agama Islam ke Nusantara. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai(ditulis setelah 1350), seseorang bernama Syekh Ismail datang dengan kapal dari Mekkah melalui Malabar menuju Pasai. Sesampainya di Pasai, syekh Ismail berhasil membuat penguasa setempat, Merah Silu, masuk Islam. Merah Silu kemudian mengambil gelar Malik al-Shalih; ia wafat tahun 698/1297. Sedangkan Sejarah Melayu (ditulis setelah 1500) mencatat bahwa seabad kemudian, sekitar tahun 817/1414, penguasa Malaka juga berhasil diislamkan oleh Sayyid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jeddah. Setelah masuk Islam, penguasa yang bernama asli Parameswara itu mengambil gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi lain, Hikayat Merong Mahawangsa (ditulis setelah 1630), juga mencatat bahwa seorang Syekh Abdullah al-Yamani datang dari Mekkah ke Nusantara dan berhasil mengislamkan penguasa Kedah (Phra Ong Mahawangsa), para menterinya, dan penduduk setempat. Setelah masuk Islam dia mengambil gelar Sultan Muzhaffar Syah.
Di samping sebagai pelopor penyebaran Islam di Indonesia, Arab Saudi juga memegang peranan penting pada gerakan shalafiyah di Indonesia. Tokoh utama Wahabi, Muhammad Ibn Abdul Wahab dianggap sebagai pelopor kebangkitan kembali gerakan salafiyah. Gerakan yang bermula dari kota Dir’iyah ini menjadi sebuah ideologi pemersatu Jazirah Arab, kemudian disebarkan ke negara-negara sekitanya sampai pada Punjab dan India, hingga mencapai kepulauan Nusantara. Hamka mencatat bahwa gerakan shalafiyahpertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1790 di wilayah Mataram. Kemudian adanya gerakan Paderi di Minangkabau pada tahun 1803, dan selanjutnya organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah pada tahun 1912.
Arab Saudi juga berperan dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia, tercatat sejumlah ulama Indonesia yang mengenyam pendidikan di Arab Saudi mendirikan lembaga pendidikan Islam di Indonesia, antara lain: Sumatra Thawalib yang didirikan oleh Haji Abdul Karim Amrullah tahun 1918, Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari menjelang abad 20, Lembaga Pendidikan Muhammadiyah oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya.
0 comments:
Post a Comment