This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Wednesday, 30 May 2018

Semaoen, Pelakon Zaman Bergerak!

Semaoen, Pelakon Zaman Bergerak!
Semaoen, Pelakon Zaman Bergerak!



Di bulan Mei 1917, seorang pemuda berusia 19 tahun menjabat Presiden Sarekat Islam (SI) Cabang Semarang. Dan sejak itu, sepak terjang pemuda belia ini menggegerkan tatanan kolonial.**

Pemuda itu bernama Semaoen. Dia adalah bumiputera pertama yang menjadi propagandis Serikat Buruh. Dalam usia 21 tahun, ia sudah ditunjuk sebagai Ketua sebuah partai politik: Perserikatan Komunis Hindia. Karena itu, Semaoen adalah orang termuda dalam sejarah kepemimpinan partai politik di Indonesia.

*Awal
Semaoen lahir di Mojokerto, Jawa Timur, pada tahun 1899. Ayahnya, Prawiroatmodjo, hanya seorang pegawai rendahan di perusahaan kereta api. Keluarganya hidup pas-pasan.

Namun demikian, pada tahun 1906, Semaoen bisa bersekolah di sekolah Bumiputera kelas dua (tweede klas). Selain itu, untuk menambah pengetahuan bahasa Belandanya, ia mengikuti kursus sore di Eerste Las Inlandsche School.

Sayang, keterbatasan ekonomi keluarganya menjegal langkah Semaoen untuk bersekolah di jenjang lebih tinggi. Karenanya, begitu tamat Sekolah Dasar, ia bekerja sebagai klerk (juru tulis) di Staats-Spoor (SS)—perusahaan kereta api milik Belanda. Saat itu usianya masih sangat belia: 13 tahun.

Pada tahun 1914, Semaoen bergabung dengan SI cabang Surabaya. Di tahun itu juga, karena kepiawaiannya, ia ditunjuk sebagai Sekretaris. Saat itu, di tempat kerjanya di SS, ia sudah menjadi agitator buruh kereta api.

*Menjadi Penggerak
Pada awal 1915, ia bertemu dengan Sneevliet, tokoh pendiri Indische Sociaal Democratische Vereniging/Perkumpulan Sosial-Demokratis Indonesia (ISDV) sekaligus penebar benih marxisme di bumi Hindia-Belanda saat itu. ISDV, yang berhaluan marxis-revolusioner, berdiri di Surabaya pada tahun 1914.

Semaoen kagum dengan pribadi Sneevliet, yang digambarkannya sebagai seorang yang ‘manusiawi, tulis, dan terbebas dari mental kolonial’. Pertemuan itulah yang mendorong Semaon tergerak untuk bergabung dengan ISDV dan VSTP (Vereniging Van Spoor-en Tramwegpersoneel).

Sejak itu Semaoen mulai tertarik dengan ide-ide marxisme. Ia melihat, ISDV dan VSTP—kendati didominasi orang Eropa—sangat berkomitmen membela nasib kaum buruh pribumi. Di tahun 1916, Semaoen ditunjuk sebagai sekretaris ISDV Surabaya. Tak hanya itu, ia juga menjadi pimpinan VSTP Surabaya.

Tahun 1916 juga Semaoen pindah ke Semarang. Di sana ia bekerja sebagai propagandis VSTP. Di Semarang, Semaoen juga menjadi editor di organ propaganda VSTP, Si Tetap.

*Radikalisme SI Semarang
Kendati menjadi anggota ISDV dan VSTP, keanggotaan Semaoen di SI tidak ditanggalkan. Memang, di jaman itu, rangkap organisasi merupakan hal yang lumrah.

Selain itu, strategi ISDV kala itu adalah bekerja di tengah gerakan massa yang sudah ada dan meradikalisasinya. Ruth McVey dalam The Rise Indonesian Communism 1965, menyebutnya “strategi di dalam blok/block within.

Di bulan Mei 1917, terjadi peralihan pimpinan SI Cabang Semarang. Semaoen tampil sebagai Presiden/Ketua. Pergantian kepengurusan ini, sebagaimana dicatat Soe Hok Gie di Bawah Lentera Merah, menandai perubahan gerakan SI Semarang, dari gerakan kaum menengah menjadi gerakan buruh-tani.

Di bawah Semaoen, SI lebih banyak menggarap isu-isu yang menyentuh rakyat banyak, terutama kaum buruh dan petani. Sebagimana dicatat Gie, ada lima isu yang digarap intensif oleh SI Semarang: membela kaum tani dari kerakusan kapitalis perkebunan, menolak pembentukan milisi Bumiputera (Indie Weerbaar), melawan wabah pes, pembelaan terhadap Sneevliet yang didera delik pers (persdelict), dan nasib kaum buruh.

Keberhasilan SI Semarang mengolah isu-isu di atas berkontribusi pada pembesaran keanggotannya. Pada tahun 1916, anggota SI Semarang hanya 1700 orang. Namun, hanya dalam setahun, keanggotaan SI Semarang naik berlipat-lipat kali menjadi 20.000-an orang. Tak hanya itu, nama Semaoen muncul sebagai propagandis dan agitator ulung.

Di lapangan propaganda, Semaoen juga melakukan perombakan. Organ propaganda SI Semarang, Sinar Hindia, dirombaknya agak lebih tajam dan membumi dalam memblejeti kejahatan sistim kolonialisme. Orang-orang yang berpikiran marxis dimasukkan dalam susunan redaksi, seperti Mas Marco dan Darsono. Tak lama kemudian, Sinar Hindia berganti nama menjadi Sinar Djawa.

Di bulan Oktober 1917, di Jakarta, berlangsung Kongres Nasional Sarekat Islam ke-2. Pertemuan ini menjadi panggung propaganda bagi SI Semarang, terutama Semaoen, untuk menebar ide-ide sosialistik ke cabang-cabang SI lainnya. Namun, upaya itu coba ditentang oleh tokoh konservatif SI, Abdul Moeis. Namun demikian, separuh peserta kongres menaruh simpati kepada Semaoen dan SI Semarang. “SI sekarang sudah bernada sosialis,” kata Abdul Moeis di koran Kaoem Moeda, 1917.

Pada tahun 1918, sesuai janjinya mengikutkan rakyat dalam soal pemerintahan, pemerintah kolonial membentuk Volksraad (Parlemen). Pada kenyatannya, parlemen bentukan kolonial ini tidak cukup memadai untuk menjadi corong menyuarakan aspirasi rakyat Hindia-Belanda. Maklum, parlemen ini dirancang hanya punya hak menyampaikan nasehat kepada Gubernur Jenderal. Tak hanya itu, representasi pribumi di Volksraad juga sangat minim. Dari 39 anggotanya, hanya 19 orang yang pribumi.

Semaoen menjadi pengeritik pedas Volksraad. Menurutnya, dari komposisi anggota Volksraad yang terpilih, hampir tidak ada yang mewakili kaum kromo. Sebagian besar mewakili ‘goepermen’, kapitalis, ningrat, dan boneka Belanda. Karenanya, ia menyebut Volksraad sebagai ‘omong-kosong’; komedi (toneel).

Di tahun 1918 hingga 1920, radikalisme kaum buruh meningkat mencari jalan keluar atas merosotnya kehidupan mereka. Pemogokan meledak di mana-mana. Hindia-Belanda memasuki ‘zaman mogok’. Di saat itulah SI Semarang tampil memimpin. Salah satu pemogokan yang paling sukses dipimpin SI Semarang adalah pemogokan pabrik perabotan yang punya 300-an pekerja.

Semaoen sadar, kunci gerakan buruh ada pada persatuan. Makanya, di Semarang, ia berjuang keras mendorong penyatuan gerakan buruh. Usahanya menemui hasil: berdirilah Persatuan Kaum Buruh Semarang. Di level nasional, pada Desember 1919, Semaoen atas nama SI Semarang mendorong penyatuan melalui wadah bernama Revolusionere Socialistisct Vakcentrale. Sayang, proposal Semaoen mendapat perlawanan dari tokoh konservatis SI, Soerjopranoto dan Haji Agus Salim. Kendati demikian, ide persatuan buruh yang diusulkan oleh Semaoen tetap diterima, kendati namanya ditolak. Lahirlah Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB), yang menghimpun 22 serikat buruh: PFB (32.000 anggota), VSTP (11.000 anggota), PPPB (5500), dan lain-lain. Semaoen menjadi pimpinan dari Federasi ini.

Yang patut dicatat, Semaoen punya kontribusi besar dalam mengakhiri ‘permusuhan’ SI dengan pedagang Tionghoa. Bagi Semaoen, permusuhan dengan Tionghoa tidak ada gunanya, karena musuh SI adalah kapitalisme.

Di tahun 1919, Semaoen ditahan karena tuduhan persdelict. Ia dipenjara selama 4 bulan. Selama di penjara itulah ia menulis novel berjudul “Hikayat Kadiroen”. Novel ini menceritakan seorang priayi rendah, Kadiroen, yang awalnya menjadi mantri polisi kemudian pejabat kolonial, tetapi sangat bersimpati pada pergerakan rakyat. Akhirnya, setelah membantu diam-diam gerakan rakyat dengan uang dan artikel, Kadiroen meninggalkan jabatannya dan bergabung dengan gerakan rakyat.

*Memimpin Partai
Sejak 1918, ISDV mengambil haluan radikal-revolusioner. Orang-orang moderat, termasuk di kalangan eropa, mulai meninggalkan partai ini. Sebaliknya, orang-orang radikal dari kalangan pribumi makin banyak yang bergabung. Terjadilah proses ‘Indonesianisasi’ di tubuh ISDV.

Pada bulan Mei 1920, ISDV menggelar Kongres Istimewa. Ada 40-an peserta yang hadir. Kongres ini mengubah nama partai dari ISDV menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH). Selain itu, kongres ini juga mengangkat Semaoen sebagai Ketua; Darsono sebagai Wakil Ketua; dan Bergsma sebagai Sekretaris.

Tahun-tahun pertama Semaoen memimpin partainya ditandai dua kondisi yang tidak menguntungkan: pertama, datangnya “masa reaksi” dari pemerintah kolonial, dan kedua, menajamnya persaingan dan perselisihan antara SI merah/PKI dengan SI putih.

Pada tahun 1920, untuk menjawab keresahan buruh pabrik gula, PFB merancang pemogokan. Semaoen dan PKI kurang mendukung pemogokan tersebut karena kurangnya persiapan dan berpotensi menemui kegagalan. Perkiraan Semaoen terbukti. Tuntutan PFB ditolak oleh para sindikat gula. Akibatnya, demoralisasi besar-besaran merontokkan basis PFB.

Di tahun 1920, Semaoen menerbitkan risalahnya yang terkenal, Penuntun Kaum Buruh. Risalah ini berisi panduan membangun dan mengorganisasikan serikat buruh. Juga menjelaskan soal politik yang berguna bagi serikat buruh.

Namun, rupanya, bencana itu digunakan oleh kelompok konservatif SI, yakni Suryopranoto dan Agus Salim, untuk mendengunkan isu “pendisiplinan partai” guna menyingkirkan SI Semarang dan orang-orang komunis di tubuh SI.

Situasi ini makin diperkeruh dengan adanya serangan Darsono, pimpinan PKI/SI Semarang, terhadap pemimpin tertinggi Sarekat Islam, HOS Tjokroaminoto. Ia menyingkap penyalah-gunan uang oleh orang nomor satu di SI tersebut. Namun, terlepas dari niat-baiknya, serangan Darsono ini dimanfaatkan oleh faksi konservatif SI, yang kebetulan berhimpun di Jogjakarta, untuk menyerang balik SI Semarang dan memperkuat hembusan isu “disiplin partai”.

Perpecahan itu merembet juga ke Federasi Buruh, PPKB, yang melibatkan serikat-serikat buruh komunis/SI semarang dan SI-konservatif. Kelompok SI konservatif berhasil menendang Semaoen dan Bergsma dari kepengurusan PPKB. Akhirnya, sebagai bentuk antitesanya, Semaoen mendirikan federasi baru: Revolutionare Vakcentrale(RCV).

Pada Oktober 1921, Semaoen meninggalkan Hindia-Belanda. Ia bertolak ke Uni Soviet. Dia menghadiri sejumlah pertemuan di sana. Bahkan, sebagaimana diceritakan Ruth McVey dikemunculan Komunisme Indonesia, Semaoen sempat bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan Lenin.

Semaoen menceritakan, pemimpin Bolshevik itu mengajaknya mendiskusikan gerakan revolusioner di negara jajahan, termasuk Hindia-Belanda, tidak harus meniru semua pola Revolusi Rusia. Menurut Lenin, taktik partai komunis Rusia tidak dapat ditiru begitu saja oleh partai-partai di Asia karena adanya berbagai kondisi yang sama sekali berbeda.

Pada bulan Mei 1922, Semaoen kembali ke Hindia-Belanda. Saat ia kembali, VSTP dalam kemunduran. Anggotanya menurun dari 16.975 orang pada Oktober 1921 menjadi 7.731 orang pada Mei 1922. Karenanya, program pertama Semaoen adalah memulihkan kekuatan VSTP. Ia dan pimpinan VSTP melalui tur propaganda keliling Jawa untuk mengkonsolidasikan kembali VSTP. Dan usaha Semaoen ini tidak sia-sia: dalam beberapa bulan, VSTP berhasil kembali dikonsolidasikan.

Tak hanya itu, seiring dengan ancaman depresi ekonomi dan program rasionalisasi pemerintahan Dirk Fock, gerakan buruh menguat kembali. Sejumlah serikat buruh yang sebelumnya dikontrol oleh SI Putih, seperti Sarekat Postel dan FPB, bergeser ke bawah kontrol PKI/VSTP.

Sementara perpecahan SI-PKI makin menajam di tahun 1923. Kongres SI di Madiun, pada Februari 1923, terang-terangan menutup pintu kerjasama dengan PKI. Menanggapi kongres itu, pada bulan Maret 1923, PKI-SI merah juga menyelenggarakan kongres di Bandung. Menurut Ruth McVey, kongres ini mengubah strategi PKI dalam gerakan massa: PKI tidak lagi bertindak sebagai sebuah blok di dalam sebuah organisasi massa, melainkan sebagai entitas tersendiri atas nama PKI.

Tak lama setelah kongres itu, PKI menerima hantaman hebat. Sejak awal 1923, kebijakan Gubernur Jenderal Fock sangat menggelisahkan para pekerja kereta api. Negosiasi antara VSTP dengan pemerintah dan perusahaan swasta kereta api menemui jalan buntu. Akhirnya, seolah terdesak pada pilihan terakhir, VSTP menyiapkan pemogokan umum. Seturut kemudian, Semaoen menyerukan kepada semua cabang/afdeling VSTP untuk menyiapkan pemogokan.

Tanggal 8 Mei 1923, sehari sebelum pemogokan, Semaoen ditangkap. Ia dianggap sebagai ‘penghasut’ pemogokan. Kendati demikian, pemogokan VSTP tetap berjalan, dengan melibatkan puluhan ribu buruh di Semarang, Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Pemerintah merespon pemogokan itu dengan pemecatan massal dan pengiriman tentara. Pada tanggal 22 Mei 1923, VSTP menghentikan pemogokan dengan kekalahan besar. Anggotanya merosot dari 13.000 orang menjadi tinggal 1000-an orang pasca pemogokan.

Kekalahan pemogokan itu juga berujung pada pembuangan Semaoen pada awal Agustus 1923. Saat itu, Semaoen baru berusia 24 tahun. Ia dipaksa meninggalkan gelanggang perjuangan rakyat di negerinya.

Tiga tahun setelah kepergiannya, PKI melancarkan pemberontakan anti-kolonial di pulau Jawa dan Sumatera. Dalam waktu singkat, pemberontakan itu berhasil ditindas oleh penguasa kolonial.

*Hidup Di Pembuangan
Pembuangan tak menghentikan aktivitas politik Semaoen. Di eropa, tepatnya di Belanda, Semaoen tetap menggalang perlawanan. Ia menghimpun pelaut-pelaut Indonesia ke dalam wadah bernama Serikat Pegawai Laut Indonesia (SPLI). Ia juga menerbitkan koran propaganda bernama Pandoe Merah.

Di Belanda, Semaoen juga menjalin kontak dengan mahasiswa Indonesia di Belanda, terutama Perhimpunan Indonesia (PI). Ia bertemu beberapa kali dengan Mohammad Hatta, salah seorang tokoh PI.

Pada bulan Desember 1926, setelah mendengarkan kegagalan pemberontakan PKI di Hindia-Belanda, Semaoen membuat kesepakatan kontroversial dengan Hatta. Dalam persetujuan itu disebutkan bahwa PKI—yang diwakili oleh Semaoen—menyerahkan kepemimpinan gerakan pembebasan nasional Indonesia kepada Perhimpunan Indonesia. Tak hanya itu, persetujuan itu juga menyatakan PKI dan ormasnya tidak akan melakukan oposisi terhadap kepemimpinan PI.

Kesepakatan Semaoen-Hatta ini menuai kecaman Hatta. Komunis Internasional (Komintern) menilai tindakan Semaoen itu sebagai bentuk subordinasi PKI di bawah ketiak gerakan nasionalis. Tak hanya itu, PKI kehilangan independensinya sebagai partai yang mewakili kepentingan buruh dan petani. Tindakan Semaoen juga dikecam oleh kawan-kawannya di PKI. Akhirnya, karena kecaman tersebut, pada Desember 1927, Semaoen membuat klarifikasi yang berisi pengakuan atas kesalahannya menandatangani kesepakatan tersebut.

Pada Desember 1927, Semaoen mewakili PKI/Sarekat Rakyat dalam pertemuan Liga Anti-Imperialisme di Brussel, Belgia. Di sana ia menyampaikan pidato atas nama PKI.

Setelah itu, Semaoen pindah ke Uni Soviet. Di sana ia tinggal lebih dari 30-tahun. Alhasil, Semaoen tidak sempat merasakan udara saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945.

Di Soviet, Semaoen menjadi pengajar bahasa Indonesia. Untuk itu, ia menyusun bahan pelajaran Bahasa Indonesia untuk pelajar-pelajar Soviet. Karya Semaoen ini menjadi buku pelajaran Bahasa Indonesia pertama untuk pelajar Soviet. Selain itu, Semaoen juga bekerja untuk siaran bahasa Indonesia di Radio Moskow. Semaoen ditunjuk oleh Stalin memimpin Badan Perencanaan Negara (Gozplan) di Tajikistan.

Diceritakan, pada tahun 1943, Semaoen berusaha kembali ke Indonesia. Sayang, ketika sedang berada di Teheran, Iran, sebelum menuju ke Indonesia, dia ditangkap oleh kontra-spionase Inggris dan diserahkan ke perwakilan tentara Soviet. Ia pun kembali ke Moskow.

Namun, harapan Semaoen kembali ke Indonesia terbuka lebar setelah kunjungan Soekarno ke negeri beruang merah itu. Semaoen meminta bantuan Soekarno agar meminta Soviet memulangkannya. Soekarno kemudian menyetujui dan meneruskan permintaan itu ke pimpinan Partai Komunis Uni Soviet. Permintaan Semaoen dikabulkan.

Namun, versi lain menyebutkan, kepulangan Semaoen ke Indonesia atas inisiatif Iwa Kusumasumantri. Semaoen tiba di Indonesia tahun 1953. Saat itu, PKI—partai yang pernah didirikannya—berada di bawah kendali orang-orang muda: Aidit, Njoto, MH Lukman, dan lain-lain.

Di Indonesia, Semaoen sempat menduduki jabatan Wakil Ketua Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (yang diketuai oleh Hamengkubuwono IX). Selain itu, Ia juga mendapat gelar Doktor Honoris Causa (HC) dalam Ilmu Ekonomi di Universitas Padjajaran (Unpad). Saat itu Semaoen menelurkan risalah berjudul “Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin,” tahun 1961.

Semaoen wafat di tahun 1971.***



sumber

Sejarah Islamisasi dan Tantangan Kristenisasi di Pematang Siantar, 1850-1913

Sejarah Islamisasi dan Tantangan Kristenisasi di Pematang Siantar, 1850-1913Sejarah Islamisasi dan Tantangan Kristenisasi di Pematang Siantar, 1850-1913
Sepanjang eksistensinya, Islam sebagai sebuah agama telah menorehkan tinta emas dalam sejarah umat manusia sejak 14 abad silam. Salah satu faktor yang mendorong Islam berkembang menjadi agama besar dan berpengaruh di dunia adalah penyebarannya yang sangat cepat. Sejak pertama kali didakwahkan oleh Nabi Muhammad pada abad ke-7, Islam telah mengubah tatanan kehidupan bangsa Arab yang mendiami kawasan Semenanjung Arab. Setelah Nabi Muhammad wafat, dakwah Islam dilanjutkan oleh pengikut-pengikutnya yang tersebar ke luar Semenanjung Arab. Selama berabad-abad setelahnya, Islam menjadi agama utama yang dianut bangsa-bangsa di Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, Afrika Utara, dan bangsa-bangsa di sekitar Laut Mediterania terutama Spanyol Selatan (Andalusia). Kekhalifahan Utsmaniyah dan Abbasiyah pun menggunakan Islam sebagai standar hukum negara sebagaimana yang sebelumnya dilakukan oleh Gereja-gereja di Eropa terhadap agama Kristen selama Abad Pertengahan.

Di Nusantara, Islamisasi berlangsung dengan sangat mudah. Berbagai suku-bangsa pribumi yang sebelumnya menganut kepercayaan nenek moyang asli maupun Hindu-Buddha, secara berangsur-angsur menerima Islam sejak abad ke-7. Lagipula, ajaran Islam menghendaki para penganutnya untuk menyebarkan agama lebih luas lagi. Oleh karena itu, siapapun boleh menjadi da’i (pendakwah). Dakwah yang sebagian besar dilakukan oleh para ulama dan pedagang secara damai dan tanpa paksaan berhasil mengokohkan Islam begitu kuat hingga menjadi agama resmi sebagian besar kerajaan-kerajaan maritim di Nusantara.

Terkait dengan hal itu, Al-Qaradhawi mengatakan bahwa: “… da’i Islam adalah Islam itu sendiri. Akidah dan syari’at yang ada di dalam agama tersebut telah menarik manusia untuk memasukinya. Untuk kemudian tanpa dikurangi, Islam akan memberikan segala hal kepada orang yang memasukinya.” (Al-Qaradhawi, 2013: 207).

Secara umum Islamisasi di Sumatera lebih dahulu menjangkau negeri-negeri di daerah pesisir. Ramainya aktivitas pelayaran dan perniagaan di kawasan Selat Malaka dan Samudera Hindia mengakibatkan banyak sekali kota-kota pelabuhan yang muncul dengan corak keislaman yang kental. Kesultanan Aceh yang sangat bercorak islamis merupakan salah satu kerajaan yang secara politik dan ekonomi memiliki pengaruh dan kekuasaan yang paling luas di Sumatera bagian utara dan sebagian Semenanjung Malaya. Sejak era keemasannya di bawah Sultan Iskandar Muda hingga awal era kolonialisme Belanda, wilayah pengaruh Kesultanan Aceh di Sumatera bagian utara secara federatif meliputi semua pelabuhan-pelabuhan penting di pantai barat sampai ke Barus dan di pantai timur sampai ke Asahan (Reid, 2007: 3, Perret, 2010: 131). Oleh karena itu, mayoritas negeri-negeri di pesisir timur dan barat Sumatera bagian utara merupakan penganut Islam.


Sementara itu, negeri-negeri dan daerah daerah di pedalaman diketahui masih menganut agama dan kepercayaan nenek moyang. Bahkan hingga Belanda berkuasa, terjadi dua hal yang nantinya menjadi pengaruh yang sangat besar terhadap sejarah perkembangan agama-agama di wilayah yang kini disebut sebagai Sumatera Utara, yaitu:

(1) Islamisasi tidak hanya berlanjut dari pesisir yang didominasi oleh penduduk Melayu ke pedalaman yang didominasi oleh penduduk Batak, melainkan juga berlanjut secara mengejutkan masuk dari arah selatan (Sumatera Barat) ke Tapanuli oleh Kaum Paderi, sehingga berpotensi mengislamkan seluruh Tanah Batak;

(2) Belanda pada awalnya tidak keberatan jika penduduk Batak tetap memeluk agama nenek moyangnya, namun belakangan kehadiran Kaum Paderi di Tapanuli dipandang sebagai ancaman. Sejak itu, dimulailah agenda Kristenisasi terhadap penduduk Batak di pedalaman untuk membendung Islamisasi.


Mengislamkan Tanah Simalungun
Sebelum kedatangan Belanda, Islamisasi sudah menjangkau hampir seluruh daerah Sumatera bagian utara terutama di pesisir. Negeri-negeri Melayu di pesisir timur merupakan basis penganut Islam yang dikenal taat. Proses Islamisasi yang telah berlangsung sangat lama di kawasan Selat Malaka mengakibatkan keislaman di kalangan bangsa Melayu telah mengakar sangat kuat. Mudahnya Islamisasi di Sumatera bagian utara didukung oleh beberapa faktor, yaitu:
(1) dakwah Islam dilakukan secara damai dan tidak mengandung unsur paksaan bagi pemeluk agama lain;
(2) ajaran Islam sangat mudah disesuaikan dengan kehidupan masyarakat;
(3) keimanan dalam ajaran Islam bersifat dogmatik terutama wajib mengimani kebenaran mutlak dari Tuhan yang sulit dicerna dengan logika manusia, sehingga kesucian dan kesakralannya dapat diterima oleh setiap pemeluknya.

Sementara itu, Islamisasi baru mulai menjangkau ke arah pedalaman Sumatera bagian utara ketika memasuki abad ke-19. Islamisasi juga menjangkau ke Tanah Simalungun, salah satunya adalah Pematang Siantar. Sebelumnya penduduk lokal telah menganut kepercayaan asli nenek moyang atau dapat juga disebut sebagai ‘agama suku’. Agama suku yang dianut oleh penduduk di sana dikenal dengan istilah Habonaron Do Bona yang lebih tepat tergolong dalam jenis aliran kepercayaan. Menariknya, arus Islamisasi ke pedalaman berlangsung hampir bersamaan dengan arus kolonialisme Belanda yang ingin menguatkan hegemoninya di pantai timur Sumatera. Belanda yang terlibat kontestasi dengan Inggris dalam hal penguasaan jalur perdagangan di pantai timur Sumatera mengharuskan mereka lebih aktif menjalin hubungan baik dengan penguasa-penguasa lokal (Reid, 2007: 32-37).

Pasca Gerakan Paderi yang berhasil diredam oleh pemerintah kolonial, sejumlah misionaris Kristen (zending ) mulai bergerak ke pedalaman dan berhasil mengumpulkan berbagai informasi. Di antara banyak informasi tersebut bisa diketahui bahwa ternyata Islamisasi sudah menjangkau ke Pematang Siantar pada dasawarsa 1850-an. Informasi dari misionaris Kristen menyebut bahwa sebelum tahun 1850 sudah ada penduduk dari kalangan bangsawan Simalungun yang menjadi penganut agama Islam terutama di Bandar (Siantar Hilir) yang berada dekat dengan,pemukiman orang Melayu. Agustono menyebut pula bahwa Islamisasi masuk dari Batu Bara di sebelah timur ke pedalaman Simalungun dan kemudian meluas ke daerah Kerajaan Siantar dan Tanah Jawa. Tidak jelas bagaimana Islam didakwahkan di sana. Namun bisa dipastikan bahwa Islamisasi di sana,tidak berlangsung semudah seperti di pesisir. Penyebabnya adalah penduduk lokal masih memiliki keinginan untuk mempertahankan kepercayaan yang sudah mereka anut secara turun-temurun. Di samping itu, tidak ada informasi yang menguatkan ada atau tidaknya aktivitas ulama yang berdakwah di sana. Dengan demikian, ajaran Islam yang tidak tersebar secara efektif mengakibatkan Islam sulit diterima dengan mudah oleh mayoritas penduduk, sehingga ajaran Habonaron Do Bona tetap dipertahankan (Agustono, 2012: 242).

Diduga kuat, Islamisasi di Pematang Siantar tidak didakwahkan langsung oleh para ulama, melainkan tersebar secara alami dan inklusif di tengah masyarakat sekitar dasawarsa 1850-an. Daerah pertama yang diidentifikasi memiliki kontak dengan Islam adalah Bandar yang bersebelahan dengan Tanjung Kasau, di mana masyarakat Melayu muslim bermukim. Di Bandar, pada awalnya Islam mulai dianut oleh kalangan bangsawan lokal. Di antaranya adalah keluarga Tuan Bandar Tongah dan Tuan Sariani Damanik. Setelah itu Islam segera dianut oleh saudaranya yang lain, salah satunya adalah Tuan Sawadim Damanik. Di samping itu, Islam yang telah dianut oleh keluarga bangsawan tersebut kemudian juga ikut dianut oleh kalangan kawula atau rakyatnya. Secara sederhana, demikianlah Islam diterima dan berkembang di daerah Pematang Siantar.

Walaupun Islamisasi di Pematang Siantar berlangsung lebih lambat, namun pada akhirnya keberhasilan Islamisasi di Bandar kemudian mempengaruhi pucuk kepemimpinan Kerajaan Siantar. Memasuki dasawarsa 1900-an, Raja Siantar bernama Sang Naualuh Damanik yang sebelumnya menganut kepercayaan Habonaron Do Bona memutuskan untuk masuk Islam. Setelahnya Islam mulai mengarah ke cara Islamisasi yang ideal. Berkat bantuan raja, agama Islam kemudian didakwahkan ke seluruh penjuru wilayah Kerajaan Siantar. Dalam mengupayakan Islamisasi di wilayahnya, raja mengerahkan bantuan dari para ulama dari negeri-negeri Melayu, Mandailing, bahkan Arab yang singgah untuk mengenalkan Islam di kalangan orang Simalungun. Tidak hanya itu, raja juga memiliki program-program yang bertujuan untuk mendukung seluruh kegiatan dakwah Islam. Di samping itu, karena di wilayahnya belum ada institusi lokal yang mengurusi persoalan keislaman, maka raja mendirikan sebuah rumah adat di kampung Naga Huta sebagai tempat pengajian. Selain itu, raja juga mewakafkan sebidang tanah untuk penduduk muslim yang kelak untuk pembangunan masjid, di mana kegiatan-kegiatan ibadah dilaksanakan.

Tidak hanya berperan aktif dalam mengislamkan penduduk di Simalungun, raja juga dikenal bijaksana dalam menjalin dan merawat hubungan dengan para ulama. Pada awalnya hubungan keduanya hanya berupa hubungan perdagangan. Para pedagang muslim yang juga berperan sebagai da’i tersebut sebelumnya telah menjalin kemitraan dengan para bangsawan. Kemitraan inilah yang kemudian dipandang olehvraja sebagai peluang, bahwa para da’i tersebut bisa menyebarkan pengetahuan agama Islam ke tengah-tengah masyarakat. Selain itu, raja juga memposisikan ulama sebagai penasihat pribadinya, khususnya dalam hal menentukan kebijakan pemerintahan. Dengan kata lain, kebijakan yang diputuskan oleh pihak kerajaan kemudian telah berlandaskan atas ajaran-ajaran dalam Islam. Pada periode inilah perkembangan Islam di Pematang Siantar mengalami puncaknya.


Menghadapi Kristenisasi dan Tekanan- tekanan Politik Kolonial
Islamisasi di Pematang Siantar juga menghadapi tantangan yang sangat besar, yaitu adanya upaya-upaya Kristenisasi yang didukung dengan tekanan-tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa upaya Kristenisasi tidak hanya dilatarbelakangi oleh motif agama, melainkan juga motif politik dan ekonomi. Tujuan Belanda sejak awal abad ke-19 sudah terang-terangan menginginkan penguasaan penuh atas segala potensi ekonomi yang terkandung di pantai timur Sumatera. Maka tidak heran Belanda rela ‘menukar’ sebagian kecil wilayah kekuasaanya di Semenanjung Malaya dan Afrika Selatan kepada Inggris demi berkuasa penuh atas pulau Sumatera. Di samping itu, daerah pedalaman seperti Tanah Simalungun dan Tanah Batak dibekali dengan potensi ekonomi yang menggiurkan, terutama karena sistem pertanian tradisional telah menghasilkan sejumlah komoditas perdagangan yang sangat menguntungkan untuk dipasarkan di Eropa. Untuk mewujudkannya, Belanda berupaya untuk memiliki kendali atas kerajaan-kerajaan lokal di sana. Kerajaan Siantar khususnya, tidak luput dari perhatian Belanda untuk ditaklukan secara definitif seperti halnya kerajaan-kerajaan Melayu di pantai timur Sumatera. Maka dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda, upaya membendung Islamisasi agar tidak semakin meluas ke daerah pusat Tanah Batak sangat diprioritaskan.

Hal yang paling membuat pemerintah Belanda begitu khawatir dengan perkembangan Islam adalah spirit keislaman yang bisa muncul kapan saja dari para penganutnya yang mengakibatkan mereka menjadi semakin sulit untuk ditaklukan dan dikendalikan. Ideologi jihad di jalan Allah dan anti-kafir sangat ditakuti Belanda dan itu sangat merepotkan mereka. Buktinya adalah kesulitan yang dialami Belanda ketika ingin menguasai Kesultanan Aceh.

Demikian pula dengan pengalaman Belanda ketika ikut campur dalam Perang Paderi. Maka wajar saja jika pengalaman tersebut mengakibatkan Belanda kian mewaspadai arus Islamisasi dari pesisir dan terutama dampak dari Gerakan Paderi di Tapanuli agar tidak menjangkau ke seluruh bagian pedalaman, di mana pengaruh politik dan ekonomi Kesultanan Aceh begitu terasa di sana sejak lama (Perret: 2010, 127-141). Menariknya, para ilmuwan dan ahli bahasa yang dikirim untuk mengumpulkan informasi bagi kepentingan kolonial seperti Franz
Wilhelm Junghuhn
dan Herman Neubronner van der Tuuk, ternyata merekomendasikan kepada pemerintah kolonial Belanda untuk memperkenalkan agama Kristen kepada orang Batak, yang tujuannya adalah untuk “memperkenalkan agama kontra-Islam” dan “orang Batak harus diinjilkan untuk membendung pengaruh Islam di bagian utara pulau Sumatera” (Kozok, 2010: 17-27). Untuk itulah misionaris Kristen dari lembaga penginjil asal Jerman Rheinische Missions-Gesellschaft (RMG) dikirim ke sana untuk memetakan dan mengenalkan agama mereka kepada penduduk lokal. Dengan demikian, persekutuan pemerintah kolonial Belanda dan misionaris Kristen merupakan gabungan kekuatan untuk mewujudkan kepentingan mereka di Sumatera.

Tidak seperti keberhasilan para misionaris dalam mengkristenkan penduduk Batak di Lembah Silindung dan sekitar Danau Toba, justru sebaliknya di Pematang Siantar upaya tersebut terbilang gagal. Salah satu sebabnya adalah Islam telah dianut cukup kuat oleh penduduk di sana, sehingga upaya menarik perhatian mereka kepada agama Kristen tidak membuahkan hasil. Sebab lainnya adalah sang raja yang telah menganut Islam. Kabar telah masuk Islamnya Sang Naualuh Damanik sangat disesalkan oleh Belanda yang kerepotan dengan kekuatan Islam. Untuk mengubah situasi tersebut, pemerintah kolonial Belanda mengutus kontrolir agar membujuk raja masuk Kristen. Namun secara tegas ditolak oleh sang raja yang kukuh dengan keimanannya. Tidak sampai di situ, Belanda menemukan cara lain untuk menghilangkan pengaruh Islam di Kerajaan Siantar, yaitu menciptakan tekanan-tekanan dan intrik politik untuk menjatuhkan sang raja. Upaya menjebak dan mencari kesalahan sang raja ternyata gagal. Di samping itu, pemerintah kolonial juga memberi ancaman penjara kepada para ulama agar tidak kembali lagi ke Pematang Siantar. Upaya ini cukup berhasil, sehingga penduduk dijauhakan dari ulamanya.

Upaya pemerintah kolonial Belanda untuk menjatuhkan sang raja dari tahtanya terus berlanjut. Dengan licik, Belanda melontarkan tuduhan bahwa sang raja menguasai istri orang dan memiliki wanita simpanan lain serta tidak berbuat adil dalam menyelesaikan persoalan istri dan suami yang sedang bersengketa. Selain itu, Belanda juga menuduh sang raja telah mencoba meracuni aparat pemerintah kolonial dan mandor kecil di perkebunan. Dengan alasan tersebut, Belanda merasa berhak untuk menangkap dan menahan sang raja atas berbagai tuduhan yang menimpanya tersebut. Dengan kata lain, konspirasi yang diciptakan Belanda berhasil mengurung sang raja dengan alasan tindakannya sangat mengancam keamanan dan ketertiban di Simalungun. Pada akhirnya, pemerintah kolonial Belanda menangkap dan mengasingkan sang raja ke Bengkalis, Riau. Kekuasaan Kerajaan Siantar mutlak berhasil dikuasai dan dikontrol oleh Belanda. Dengan demikian pengaruh Sang Naualuh Damanik terhadap rakyat di wilayah bekas kekuasaannya telah berhasil dihilangkan. Dalam pengasingan, Sang Naualuh Damanik wafat pada 9 Februari 1913 dan dimakamkan pula di Bengkalis.

Demikianlah bahwa Islamisasi yang berlangsung di Pematang Siantar telah berhasil membentuk komunitas muslim yang kuat. Sejak wafatnya Sang Naualuh Damanik, Islamisasi di Siantar bisa dikatakan terhenti, namun rakyat Siantar yang sudah memeluk agama Islam tetap berpegang teguh dengan keyakinan mereka walaupun ada usaha kristenisasi dari pihak kolonial. hal ini disebabkan kebijakan yang dulunya berada di tangan raja Siantar Sang Naualuh berlandaskan Islam beralih ke tangan pemerintahan kolonial Belanda yang memasukkan unsur – unsur misi kristen (zending) di Siantar.,Islamisasi merupakan ancaman serius yang dapat menyulitkan penguasaan politik-ekonomi dan hegemoni mereka di Sumatera bagian utara. Serangkaian upaya Kristenisasi yang diupayakan oleh para misionaris Kristen atas kemauan pemerintah untuk merobohkan keimanan penduduk di Pematang Siantar untuk beralih ke Kristen. Di Pematang Siantar, Islamisasi ternyata telah berkembang kuat dan berusaha dilemahkan tidak hanya dengan percobaan Kristenisasi, melainkan juga dengan benturan benturan politis yang sengaja diciptakan oleh Belanda.


Akhir
Islamisasi di Tanah Simalungun mulai berlangsung sejak paruh kedua abad ke-19. Dari daerah Batu Bara di pesisir, Islam secara perlahan-lahan menyebar ke pedalaman Simalungun, termasuk Pematang Siantar. Islamisasi di Pematang Siantar pada awalnya berlangsung lambat karena penduduk lokal masih mempertahankan Habonaron Do Bona sebagai kepercayaan mereka. Tanpa adanya peran ulama, Islam berhasil diperkenalkan kepada penduduk di Bandar akibat kontak sosial dengan penduduk Melayu muslim dari daerah tetangganya, yaitu Tanjung Kasau. Barulah sekitar dasawarsa 1900-an, pengaruh Islamisasi di Bandar menular ke Kerajaan Siantar dengan masuk Islamnya raja Sang Naualuh Damanik. Setelahnya Islamisasi berlangsung dengan cara ideal, yaitu adanya peranan ulama sebagai pendakwah dan peranan raja dalam membantu dakwah di wilayahnya. Sejak periode itu penduduk di wilayah Kerajaan Siantar banyak yang menganut Islam. Sementara itu, untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda, Islamisasi merupakan ancaman serius yang dapat menyulitkan penguasaan politik-ekonomi dan hegemoni mereka di Sumatera bagian utara. Serangkaian upaya Kristenisasi yang diupayakan oleh para misionaris Kristen atas kemauan pemerintah terbukti gagal merobohkan keimanan penduduk di Pematang Siantar untuk beralih ke Kristen. Raja yang teguh keislamannya secara politik diturunkan dari tahtanya oleh pemerintah kolonial Belanda. Di Pematang Siantar, Islamisasi ternyata telah berkembang kuat dan berusaha dilemahkan tidak hanya dengan percobaan Kristenisasi, melainkan juga dengan benturan-benturan politis yang sengaja diciptakan oleh Belanda.***

PEMBERONTAKAN DAN LAHIRNYA ARAB SAUDI


Bentuk Negara dan Pemerintahan

Al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Sa’udiyah merupakan sebuah negara yang berbentuk kerajaan dengan bentuk pemerintahan monarki mutlak Islam. Negara ini diplokamirkan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman as-Sa'ud pada tanggal 23 September 1932, dengan menyatukan wilayah Riyadh, Najd (Nejed), Ha-a, Asir, dan Hijaz. Hukum yang berlaku di Arab Saudi adalah Syari’at Islam yang didasarkan pada paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Arab Saudi merupakan negara terbesar di Asia timur tengah dengan luas 2.240.000 km², dan terbentang di antara 15°LU - 32°LU dan antara 34°BT - 57°BT. Wilayah Arab Saudi terbagi atas 13 provinsi atau manatiq (jamak dari mantiqah), yakni:

Bahah
Hududusy Syamaliyah
Jauf
Madinah
Qasim
Riyadh
Syarqiyah (Provinsi Timur)
'Asir
Ha'il
Jizan
Makkah
Najran
Tabuk

Sejarah Dinasti Sa’udiyah

Terbentuknya kerajaan Arab Saudi tidak terlepas dari kemunduran yang dialami oleh Daulah Utsmaniyah di Turki, bangkitnya paham Wahabiyah di daerah Makkah, Madinah dan Basrah, serta campur tangan penjajah dari Eropa seperti Inggris dan Prancis. Seperti kerajaan-kerajaan lain sebelumnya, kerajaan Arab Saudi pun mengalami pasang-surut antara masa-masa kejayaan dan kehancuran. Pada umumnya, sejarah kerajaan Arab Saudi dibagi menjadi tiga periode: dinasti pertama pada tahun 1744-1818, dinasti kedua antara tahun 1824-1892, dan dinasti ketiga yang dimulai pada tahun 1932 sampai sekarang.

Pada awalnya, keluarga ini hanya sebuah keluarga yang menguasai daerah kecil sebagaimana keluarga-keluarga lainnya di jazirah Arab. Sejarah Keluarga Sa’ud berawal pada tahun 1727, ketika Muhammad bin Sa’ud menjadi hakim di Dir’iyah dan memutuskan untuk bersekutu dengan Muhammad ibn Abdul Wahab pada tahun 1744. Sejak saat itu, keluarga Sa’ud menjadi pendukung utama gerakan wahabi dan ikut menyebarkan ajaran yang dibawanya. Gerakan Wahabi ini pada mulanya telah tersebar di daerah ‘Uyainah, tetapi kemudian tidak mendapat dukungan dari pemerintah setempat.

Persekutuan Sa’udiyah – Wahabiyah ini menjadi suatu kekuatan baru di dunia Arab, baik dari segi politik maupun dari segi spritual. Ajaran Wahabi berkembang dan menjadi ideologi pemersatu kesukuan yang bersifat keagamaan di wilayah kekuasaan Ibn Sa’ud. Dengan semangat memurnikan kembali ajaran Islam, mereka berusaha untuk melawan suku-suku disekitarnya sekaligus menyebarkan ajaran Wahabi. Di lain sisi, daerah kekuasaan Ibn Sa’ud semakin meluas.

Pada masa kepemimpinan Abdul Aziz bin Muhammad ibn Saud (1765–1803), dinasti Sa’ud berhasil merebut Riyadh yang merupakan ibukota Nejd pada tahun 1773, kemudian meluas daerah pedalaman Arabia. Beberapa tahin kemudian Dinasti Sa’ud berhasil menguasai Oman, Yaman, Pedalaman Suriah, teluk Arab, hingga Karbala pada tahun 1801, di tahun berikutnya mereka berhasil menguasai Thaif.[4] Pendudukan ini kemudian berlanjut pada masa pemerintahan Saud Ibn Abdul Aziz Ibn Muhammad Ibn Saud (1803–1814), pasukannya berhasil memasuki Makkah (1803) dan Madinah (1804) dan memaksa penguasa Hijaz pada saat itu tunduk pada pemerintahan Sa’udiyah.

Perkembangan Daulah Bani Sa’udiyah yg begitu pesat ini, menjadikanya sebagai sebuah ancaman tersendiri bagi kekuatan Daulah Bani Utsmaniyah di Turki. Oleh karena itu, pada tahun 1811 pemerintah Utsmaniyah mengirim Muhammad Ali Pasya untuk merebut kembali daerah Hijaz. Usaha Muhammad Ali ini diteruskan oleh anaknya Ibrahim Pasya hingga akhirnya dapat menguasai kota Dir’iyah tahun 1818. Setelah menguasai kota, pemimpin dinasti Sa’ud pada saat itu, Abdullah bin Saudditangkap dan dieksekusi di Ibukota Utsmaniyah. Peristiwa ini menandai runtuhnya kekuatan keluarga Sa’ud periode pertama.

Dinasti Sa’ud yang kedua dimulai sejak Turki ibn ‘Abdillah berkuasa di Riyadh pada tahun 1824. Ia berusaha mengembalikan kejayaan Sa’udiyah, dan berhasil menguasai ‘Arid, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan Aflaj. Pada masa ini Turki ibn Abdillah tidak saja harus berhadapan dengan pasukan Utsmaniyah dan pasukan Mesir, tetapi Ia juga harus meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Mishari yang merupakan sepupunya sendiri. Perang saudara seperti ini terus berlanjut hingga generasi ketiga, sepeninggal Sa’ud yang wafat pada tahun 1875. Dua saudaranya, Abdurrahman dan Abdullah saling berebut untuk menjadi orang nomor satu di dinasti Sa’udiyah. Oleh karena perang saudara yang berlarut-larut ini, akhirnya pada tahun 1891, dinasti Sa’udiyah berakhir ditandai dengan terusirnya Abdurrahman ke Kuwait oleh bekas bupatinya sendiri, Muhammad ibn Rashid.

Pada tahun 1902, Abdul Aziz yang merupakan anak dari Abdurrahman berhasil membunuh pemimpin Bani Rashid dan menduduki Riyadh. Peristiwa ini merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Arab Saudi seperti yang kita ketahui sekarang ini.

Lahirnya Kerajaan Arab Saudi (Al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Sa’udiyah)

Kerajaan ArabSaudi modern seperti yang kita kenal seperti pada saat ini merupakan sebuah kerajaan bani Sa’udiyah yang dirintis oleh Abdul Aziz As-Sa’ud atau yang lebih dikenal dengan Ibn Saud setelah Ia menaklukan Riyadh. Ibnu Sa’ud merupakan seorang pemimpin kharismatik, pemberani, terhormat, bahkan dikenal dengan kekejamannya pada saat-saat tertentu.Pada awal-awal masa pemerintahannya di Riyadh, Ia menghadapi serangan dari bani Rashid yang dibantu oleh pasukan Ottoman Turki. Tetapi dengan bantuan Inggris dan Kuwait, pada tahun 1904 Ibnu Sa’ud berhasil memenangkan pertempuran tersebut dan memaksa Ottoman untuk menarik pasukan mereka.

Ibnu Sa’ud juga berhasil merengkuh dukungan dari suku Badui dengan mendirikan sebuah organisasi yang disebut dengan Al-Ikhwan. Melalui organisasi ini Ia mengajak para masyarakat Badui yang memeluk paham Wahabi untuk tinggal menetap dan memberikan mereka bantuan berupa tanah, sandang-pangan, dan lain sebagainya. Ibnu Sa’ud mulai menghilangkan hukum-hukum adat yang berlaku dan menggantinya dengan hukum Islam, Ia mulai berusaha menata kehidupan kaum Badui yang semula suka berpindah-pindah tempat. Oleh karena itu, Ibnu Sa’ud kemudian mendapat dukungan penuh dari kelompok Al-Ikhwan ini, serta dapat memukul mundur pasukan Ottoman dari Hufuf pada tahun 1913.

Pada masa-masa menjelang perang dunia pertama, Ibnu Sa’ud lebih memilih bekerja sama dengan Inggris. Sehingga pada than 1915 ia mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Inggris yang dengannya diakuinya eksistensi dan kemerdekaan negara Saudi. Hal ini dilakukan Inggris karena mereka menilai masa depan Ibnu Sa’ud akan jauh lebih baik dari pada penguasa Hijaz, Husain bin Ali.

Setelah berakhirnya perang dunia pertama, Ibnu Sa’ud kembali memperluas wilayah kekuasaannya dan mempersatukan jazirah Arabia dibawah kerajaannya. Pada tahun 1920 Ia memulai ekspansi ke Ha’il dan berhasil menghapus kekuasaan dinasti Rasyidiyah. Setahun kemudian Ia memplokamirkan diri sebagai penguasa Nejd. Tahun 1922 Ibnu Sa’ud meluncurkan serangan ke Hijaz, Ia berhasil membuat penguasa Hijaz ketakutan dan memasuki kota Makkah tanpa perlawanan pada tahun 1924.

Pada tahun 1927 Inggris kemudian mengadakan perjanjian dengan Ibnu Sa’ud dan mengakui kemerdekaan dari wilayah kekuasaan Sa’udiyah pada saat itu. Tetapi ini justru menyebabkan perpecahan antara Ikhwan dan pemerintahan Ibnu Sa’ud. Hal ini didasari oleh dibangunnya pos penjagaan oleh Irak didekat perbatasan Saudi. Kelompok Ikhwan yang tidak setuju dengan hal tersebut menyerang pos tersebut, serangan ini menyebabkan terjadinya konflik dengan Inggris. Di lain pihak, Ibnu Sa’ud menginginkan penyelesaian masalah tersebut secara diplomatis, yang mana sangat bertentangan dengan keinginan kaum Al-Ikhwan. Hal ini mengakibatkan pemberontakan kelompok Al-Ikhwan terhadap pemerintahan Ibnu Sa’ud. Pada Januari 1930, Ibnu Sa’ud berhasil meredam pemberontakan ini dan mengubah pola pengajaran diwilayah kekuasaan kerajaan Sa’udiyah.



Setelah pemberontakan Al-Ikhwan, pemberontakan-pemberontakan kembali terjadi untuk meruntuhkan rezim Ibnu Sa’ud. Untuk menjaga stabilitas di wilayah kekuasaannya, Ibnu Sa’ud kemudian menumpas semua kelompok pemberontak dan melarang segala bentuk gerakan politik yang sebelumnya diperbolehkan. Pada tahun 1932 Ia berhasil memplokamirkan penggabungan Hijaz dan Najd, hingga puncaknya Ibnu Sa’ud memplokamirkan berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tanggal 23 September 1932.

 Keadaan Sosial Bangsa Arab pada Masa Berdirinya Dinasti Sa’ud
Dalam sejarah Islam dan dalam stuktur esensialnya, orang-orang Arab menempati posisi khusus. Nabi Muhammad saw adalah orang Arab, dakwah pertamanya kepada orang Arab, Islam pun maju dan berkembang berkat bangsa Arab. Bahasa Arab menjadi merupakan bahasa ibadah, teologi, dan hukum. Di mata Islam tidak mengenal perbedaan antara bangsa Arab dan bangsa lainnya, tetapi pada kenyataannya rasa perbedaan etnis tetap bertahan baik dalam budaya, sastra, maupun perebutan kekuasaan. Bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap darah keturunan mereka.

Pada perkembangan selanjutnya, pusat umat Islam berpindah dari jazirah Arab. Pada masa dinasti Umayah, Muawiyah bin Abi Sofyan memindahkan pusat dinastinya ke Damaskus Syiria. Pada masa dinasti ‘Abbasiyah, Abdullah As-Saffah memindahkan pusat peradaban Islam ke kota Baghdad, Iran, Dinasti besar Islam selanjutnya, dinasti Utsmaniyah berada di daerah Turki. Perpindahan kekuasaan dan pusat kebudayaan ini semakin menjauh dari jazirah Arab yang merupakan pusat dakwah Islam pertama oleh Rasulullah saw.

Kekuasaan memang terus berpindah kepada kelompok-kelompok ‘Ashabiyah, baik itu Persia maupun Turki. Namun hal ini tidak serta-merta menghapus kekuatan bangsa Arab, bahasa Arab tetap mempertahankan posisi khususnya sebagai bahasa kebudayaan dan bahasa agama. Dengan demikian melalui sarana-sarana tersebut orang-orang Arab masih memainkan suatu peran dalam kehidupan publik komunitas Islam.

Ketika dinasti Utsmaniyah mulai mengalami kemunduran, terjadi pergeseran keseimbangan kekuasaan di dalam umat antara bangsa Turki dan bangsa Arab. Orang-orang Arab dianggap dapat menyelematkan Islam dari keruntuhan. Hal ini didasari oleh posisi sentral semenanjung Arab di kalangan umat muslim, disamping itu karena posisi bahasa Arab dalam pemikiran Islam, bangsa Arab pada waktu itu juga dianggap relatif bebas dari korupsi modern dan orang-orang Badui bersih dari keruntuhan moral dan kepasifan despotisme.

Pada akhir abad ke-19, perasaan nasionalisme dikalangan umat muslim mulai berbentuk sekuler. Majalah Bustani Al-Jinan membuat seruan khusus terhadap perasaan lokal seraya menyerukan kesatuan di dalam wathan Utsmaniyah, tetapi hal ini diiringi dengan seruan kesatuan nasionalisme (bilad) Suriah. Keadaan pada masa ini harapan mengenai kesatuan Utsmaniy sangat tinggi, tetapi kobaran perasaan nasionalis masih terfokus pada unit teritorial yang lebih kecil, terbagi-bagi baik secara geografis maupun keturunan.

Pengelompokan-pengelompokan akibat perasaan nasionalis (Bilad/Bustan) ini terus berkembang hingga menimbulkan pemberontakan kepada dinasti Utsmaniyah. Sejumlah besar umat muslim menginginkan suatu negara Arab merdeka dibawah seorang raja Arab, tetapi sebagian umat muslim yang merupakan pengikut partai Desentralisasi menginginkan untuk mendirikan negara Suriah merdeka. Gerakan-gerakan ini memperoleh dukungan dari negara-negara eropa, baik Inggris maupun Prancis.

Memasuki abad ke-20, raja Faishal berusaha keras untuk mempertahankan dukungan Inggris dengan bersikap akomodatif terhadap Prancis dan orang-orang Yahudi. Pada tahun 1920 Ia mendeklarasikan diri sebagai raja Suriah dan sebagai wakil dari orang-orang Muslim, Kristen, maupun Yahudi. Keputusan-keputusan ini tidak disetujui oleh Inggris dan Prancis.hal ini memicu ketegangan diantara kedua belah pihak yang berakibat didudukinya Suriah oleh Prancis. Pendudukan ini berdampak pada masa depan negara-negara di kawasan jazirah Arab. Suriah dan Irak ditempatkan dibawah mandat Inggris dan Prancis, sementara Hijaz menerima kemerdekaannya. Hal inilah yang semakin menguatkan keberadaan dinasti Sa’ud di kawasan jazirah Arab.

Pengaruh Arab Saudi di Indonesia
Arab Saudi merupakan tempat di mana lahir dan berkembangnya Islam. Penyebaran Islam di seluruh dunia dimulai dari tanah Arab, khususnya di Indonesia. Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai kedatangan Islam ke Indonesia, tetapi Teori tentang kedatangan Islam ke Nusantara langsung dari Arabia ini selaras dengan cerita yang ditulis dalam historiografi lokal tentang Islamisasi di wilayah ini.

Historiografi lokal tersebut menyebutkan secara jelas peranan Mekkah dan Jeddah—dua kota dalam wilayah Kerajaan Arab Saudi saat ini—sebagai asal daerah tinggal para penyebar agama Islam ke Nusantara. Menurut Hikayat Raja-raja Pasai(ditulis setelah 1350), seseorang bernama Syekh Ismail datang dengan kapal dari Mekkah melalui Malabar menuju Pasai. Sesampainya di Pasai, syekh Ismail berhasil membuat penguasa setempat, Merah Silu, masuk Islam. Merah Silu kemudian mengambil gelar Malik al-Shalih; ia wafat tahun 698/1297. Sedangkan Sejarah Melayu (ditulis setelah 1500) mencatat bahwa seabad kemudian, sekitar tahun 817/1414, penguasa Malaka juga berhasil diislamkan oleh Sayyid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jeddah. Setelah masuk Islam, penguasa yang bernama asli Parameswara itu mengambil gelar Sultan Muhammad Syah. Historiografi lain, Hikayat Merong Mahawangsa (ditulis setelah 1630), juga mencatat bahwa seorang Syekh Abdullah al-Yamani datang dari Mekkah ke Nusantara dan berhasil mengislamkan penguasa Kedah (Phra Ong Mahawangsa), para menterinya, dan penduduk setempat. Setelah masuk Islam dia mengambil gelar Sultan Muzhaffar Syah.

Di samping sebagai pelopor penyebaran Islam di Indonesia, Arab Saudi juga memegang peranan penting pada gerakan shalafiyah di Indonesia. Tokoh utama Wahabi, Muhammad Ibn Abdul Wahab dianggap sebagai pelopor kebangkitan kembali gerakan salafiyah. Gerakan yang bermula dari kota Dir’iyah ini menjadi sebuah ideologi pemersatu Jazirah Arab, kemudian disebarkan ke negara-negara sekitanya sampai pada Punjab dan India, hingga mencapai kepulauan Nusantara. Hamka mencatat bahwa gerakan shalafiyahpertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1790 di wilayah Mataram. Kemudian adanya gerakan Paderi di Minangkabau pada tahun 1803, dan selanjutnya organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, Muhammadiyah pada tahun 1912.

Arab Saudi juga berperan dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia, tercatat sejumlah ulama Indonesia yang mengenyam pendidikan di Arab Saudi mendirikan lembaga pendidikan Islam di Indonesia, antara lain: Sumatra Thawalib yang didirikan oleh Haji Abdul Karim Amrullah tahun 1918, Pondok Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari menjelang abad 20, Lembaga Pendidikan Muhammadiyah oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, dan lain sebagainya.

Konsepsi "Indonesia Raya" yang Sebenarnya

Konsepsi "Indonesia Raya" yang Sebenarnya


Kita umumnya mengenali “Indonesia Raya” adalah lagu kebangsaan Indonesia. Tetapi siapa sangka kalau “Indonesia Raya” atau “Greater Indonesia” adalah sebuah konsepsi Ideologis Pan-Malaya. Paham ini bertujuan untuk membentuk satu pemerintahan tunggal yang menyatukan seluruh Ras Melayu di Asia Tenggara. Paham ini bertujuan untuk menyatukan wilayah Dutch East Indies (Indonesia) dan British Malaya (Malaysia) kedalam satu pemerintahan tunggal. Paham ini didukung oleh mahasiswa dan alumni dari Universiti Pendidikan Sultan Idris, dan seseorang dari Sumatera yakni Muhammad Yamin serta seorang Jawa yakni Soekarno


Paham Pan-Melayu ini berdasarkan kesamaan ras, bahasa, agama, dan budaya dari kelompok etnis di kepulauan Nusantara. Tujuannya satu, membangkitkan kembali kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.

Spoiler for "Ras Melayu":


Pada 1920-an, paham ini berkembang tumbuh di Hindia Belanda, khususnya diantara intelektual pribumi Indonesia. Di Malaysia, paham ini didukung oleh Kesatuan Muda Melayu yang dipimpin oleh  Ibrahim Yaacob. Tetapi, paham ini lebih berkembang di Indonesia karena semangat nasionalismenya rakyat Indonesia yang tinggi.




Pada masa penjajahan Jepang, para pendukung ide ini berkooperasi dengan Jepanguntuk membentuk menyatukan bekas kekuasaan British Malaya dan Dutch East Indies. Ibrahim Yacob menggelorakan ide ini di Malaya , sementara itu Soekarno dan Hatta membumikan ini di Jawa dan Sumatera.



Tetapi Jepang kalah Perang Dunia II, Inggris dan Belanda ingin kembali menguasai daerah jajahannya lagi. Untung bagi Indonesia, Soekarno dan Hatta atas dorongan Golongan Muda bisa cepat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sementara di Malaysia, gerakan ini pudar. Pendukung paham Greater Indonesia di Malaya dianggap sebagai “pengkhianat bangsa” karena telah berkolaborasi dengan Jepang.



Pada era 1950-an, Soekarno memperoleh penuh kekuasaan di Indonesia. Soekarno adalah penentang utama Inggris yang masih mencengkeram Malaya. Soekarno menganggap bahwa Federasi Malaysia adalah negara boneka Inggris. Maka dari itu, Soekarno ingin “membebaskan” rakyat Malaya dari Inggris melalui Operasi Dwikora. Namun, Operasi Dwikora pada dasarnya adalah ingin menganeksasi wilayah Malaysia ke dalam Republik Indonesia untuk mewujudkan paham Indonesia Raya ini. Pada akhirnya, operasi Dwikora dihentikan karena dampak dari Gerakan 30 September. Soekarno lengser, kemudian Soeharto mengambil alih situasi dan Konsepsi Indonesia Raya tidak pernah terwujud.



Apabila gerakan ini berhasil, inilah profil Negara Kesatuan Republik Indonesia Raya

Konsepsi "Indonesia Raya" yang Sebenarnya


Ibukota : Jakarta
Populasi : 293,8 juta
PDB Perkapita 2018 (PPP) : $ 35,105
Bahasa Resmi : Melayu
Agama : Islam, Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu, dll.




Thursday, 17 May 2018

Penyebab Hancurnya Hubungan Bung Karno dengan 'Anak Emas'

Penyebab Hancurnya Hubungan Bung Karno dengan 'Anak Emas'


Penyebab Hancurnya Hubungan Bung Karno dengan 'Anak Emas'
Sejarah ini berdasarkan kesaksian Letjend (PURN) Sayidiman Suryohadiprojo, lahir (lahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 21 September 1927; umur 91 tahun). Hingga hari ini beliau masih diberikan kesehatan dan umur panjang.


URAIAN MENGENAI PEMBERONTAKAN G 30 S-PKI


OLEH : LET.JEND (PURN) SAYIDIMAN SURYOHADIPROJO
Sumber: http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1721

BAGIAN I – PROLOG

Uraian saya ini akan menyangkut pemberontakan G30S/PKI yang telah terjadi pada tanggal 30 September – 1 Oktober 1965. Uraian ini terutama tertuju kepada mereka yang kurang mengetahui dan kurang memahami terjadinya pemberontakan itu, khususnya anak cucu saya, kaum muda pada umumnya yang perlu mengetahui dengan benar apa yang telah terjadi pada pemberontakan itu.

Pemberontakan G30S/PKI tidak lepas dari apa yang terjadi pada bulan September 1948. Dimana pada bulan September 1948, Partai Komunis Indonesia telah melancarkan pemberontakan di kota Madiun dengan maksud agar negara Republik Indonesia berubah menjadi satu negara komunis. Untuk itu Uni Soviet mengirimkan seorang pemimpin PKI yang dulu bersembunyi di Uni Soviet ketika gagal dalam pemberontakan pada tahun 1927 yang bernama Muso. Muso pada tahun 1948 dikirim ke Indonesia dengan tugas agar supaya PKI dapat merubah negara Republik Indonesia menjadi suatu negara komunis. Akan tetapi Muso gagal dalam menjalankan tugasnya. Pemerintah Republik Indonesia dengan dukungan penuh dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) waktu itu berhasil dalam waktu 1 sampai 2 bulan mengakhiri pemberontakan itu. Banyak pemimpin dapat ditangkap dan dihukum. Antara lain ialah Muso sendiri, mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin yang tadinya adalah seorang pemimpin dari Partai Sosialis kemudian pada tahun 1948 mengaku sebagai komunis dan turut memimpin pemberontakan itu. Selain Muso dan Amir masih banyak pemimpin-pemimpin lain di kota Jogyakarta, Surakarta maupun di daerah seperti di Madiun, Pati dan Blora. Akan tetapi karena waktu itu Belanda masih menduduki sebagian pulau Jawa, maka ada unsur-unsur PKI yang tadinya turut berontak bisa menyelamatkan diri dari pukulan-pukulan Tentara Nasional Indonesia dengan menyelinap ke daerah Belanda. Dengan sendirinya TNI tidak dapat mengejar mereka yang antara lain adalah Batalyon Malady Yusuf yang pada waktu itu merupakan tulang punggung dari pemberontakan sebagai bagian dari Brigade 29 Pesindo yang telah dipersenjatai dengan kuat oleh Amir Syarifuddin waktu ia menjadi Menteri Pertahanan. Selain Batalyon Malady Yusuf yang berhasil lolos juga Batalyon Sudigdo, yaitu 1 batalyon dari divisi Panembahan Senopati yang ketika pemberontakan melakukan perlawanan sengit di sekitar Wonogiri. Iapun dapat membawa bagian pasukannya yang lolos dari pukulan Batalyon Nasuhi untuk dibawa masuk ke daerah pendudukan. Dan bersama mereka juga berhasil lolos sejumlah pemimpin PKI.

Pada waktu itu di dunia juga berkecamuk Perang Dingin antara Blok komunis dan Blok Barat. Blok komunis dipimpin oleh Uni Soviet dan Republik Rakyat China. Maka Blok komunis ini berusaha untuk memperoleh dukungan di kalangan luas dunia. Sebab itu keberhasilan PKI untuk lolos dan selamat dari hukuman pihak Republik Indonesia memberikan kepada Blok Komunis kesempatan untuk menyusun kekuatan di Indonesia. Kekuatan komunis Indonesia ini diharapkan dapat mendukung gerakan Blok Komunis di dalam Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Komunis. Maka kita melihat bahwa PKI yang telah selamat itu dapat mengkonsolidasikan diri dan berkembang menjadi organisasi yang makin besar meliputi kalangan yang makin luas karena adanya dukungan kuat dari Uni Soviet dan Republik Rakyat China yang sejak tahun 1949 sudah menjadi negara merdeka di benua Asia di daratan China. DN Aidit yang mengetuai Partai Komunis Indonesia dengan bantuan dan dukungan Nyono, Nyoto, Sudisman, Ir Sakirman dan lainnya berhasil membuat PKI berkembang makin luas. Disusun kekuatan di berbagai bidang masyarakat terutama yang diberi perhatian pertama adalah kaum buruh dan tani. PKI berhasil membuat kekuatan di lingkungan kaum buruh dengan membentuk organisasi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) yang mana di dalam SOBSI bergabung organisasi buruh yang makin luas dan kuat terutama Sarikat Buruh Kereta Api (SBKA), Sarikat Buruh Perkebunan Indonesia (SARBUPRI) ini dua sarikat buruh yang menjadi kekuatan inti dari SOBSI dan kemudian juga meluas di kalangan-kalangan yang lain bahkan mereka menyusup di organisasi pegawai negeri dan malahan di Kementrian Pertahanan dapat membentuk suatu organisasi pegawai Kementrian Pertahanan yang berpihak kepada PKI. Di lingkungan tani dibentuk Barisan Tani Indonesia. Perkembangan PKI yang makin luas itu memungkinkannya, ketika pemerintah Republik Indonesia melakukan Pemilu I tahun 1955, berhasil keluar sebagai pemenang ke 4. Di belakang Partai Nasional Indonesia sebagai partai yang paling besar, kedua adalah Partai Masyumi, ketiga adalah Partai NU (Nadhlalatul Ulama) dan ke 4 adalah Partai Komunis Indonesia. Keberhasilan PKI mencapai no 4 ini menimbulkan banyak perhatian. Banyak orang tidak mengira bahwa PKI yang telah selamat pada tahun 1950 itu bisa berkembang begitu cepat dan luas sehingga dalam 5 tahun telah berhasil dan bisa menjadi partai ke 4 terbesar di Indonesia. Dan dia berkembang terus meluas dan nanti setelah tahun 1955 PKI berhasil menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar partai komunis di Uni Soviet dan partai komunis China.
Anggota PKI ketika itu sudah mencapai sekitar 4 juta orang dan selain itu PKI berhasil menyusup menginfiltrasi partai-partai politik lain terutama partai politik non Islam seperti Partai Nasional Indonesia sebagai partai politik terbesar. Adalah satu kenyataan bahwa di dalam Partai Nasional Indonesia terbentuk satu fraksi yang cenderung mendekat kepada PKI. Hal itu nanti terbukti ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI. Di kalangan luas diadakan usaha meluaskan pengaruh dan wibawa PKI di Indonesia. Untuk keperluan itu DN Aidit sebagai ketua umum PKI membentuk apa yang dinamakannya Biro Khusus yang dipimpin oleh Syam Kamaruzaman. Tugas dari Biro Khusus yang bergerak langsung di bawah ketua umum DN Aidit adalah untuk menginfiltrasi Angkatan Bersenjata. Mencari unsur-unsur di Angkatan Bersenjata yang bisa dipengaruhi untuk berpihak kepada PKI. Dengan sendirinya mereka memanfaatkan unsur-unsur dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) khususnya TNI yang tadinya turut dalam pemberontakan PKI Madiun tapi kemudian selamat. Jadi unsur-unsur bekas Batalyon Malady Yusuf, bekas Batalyon Digdo dan yang lainnya yang tadinya berpihak pada pemberontakan PKI Madiun dan selamat dan masih ada di dalam TNI. Unsur-unsur inilah yang didekati dan berusaha ditarik kembali menjadi simpatisan PKI. Residivis-residivis atau mantan-mantan pengikut PKI Madiun ini tidak sedikit, terutama di lingkungan Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Terutama yg menjadi sasarannya adalah perwira-perwira TNI, lebih khusus perwira TNI-AD. Karena merekalah yang akan dapat dimanfaatkan nanti dalam gerakan-gerakan PKI. Maka dengan begitu pada tahun 1957-1958 kita melihat bahwa PKI di Indonesia makin meluas ke seluruh provinsi yang dimana-mana terdapat unsur-unsur PKI. Dan di berbagai lapisan masyarakat khususnya di lingkungan buruh dan tani. Yaitu tani dalam barisan BTI (Barisan Tani Indonesia) juga sudah diorganisasikan oleh PKI menjadi unsur yang kuat dalam barisan PKI.
Bersamaan dengan itu terjadi perubahan pada diri Presiden Soekarno. Ketika pada tahun 1948 PKI memberontak terhadap Republik Indonesia, Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia secara tegas menantang rakyat dan masyarakat. Apakah akan berpihak pada PKI di bawah pimpinan Muso atau berpihak pada Republik Indonesia dibawah pimpinan Soekarno-Hatta? Sikap Bung Karno yang tegas waktu itu turut mempercepat penyelesaian pemberontakan PKI waktu itu. Akan tetapi setelah tahun 1950 terjadi perubahan pada sikap dan pandangan Soekarno. Entah apakah terpengaruh oleh makin majunya organisasi PKI di Indonesia serta berkembangnya kekuatan Blok Komunis di dunia. Akan tetapi nyatanya adalah Soekarno sekarang tidak lagi setegas dulu menghadapi PKI. Bahkan kemudian mendekati tahun 1960, Soekarno menentukan politik pemerintah Republik Indonesia adalah politik yang menuju persatuan bangsa melalui NASAKOM – Nasional Agama dan Komunis. Jadi Soekarno melihat bahwa kekuatan politik Indonesia harus dipersatukan melalui nasakom untuk menghadapi dunia luar. Menghadapi dunia yang masih memusuhi Republik Indonesia, khususnya karena waktu itu kita masih perlu memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah nasional Republik Indonesia. Karena pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia akan tetapi belum melepaskan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik Indonesia Serikat yang waktu itu diakui. Sebab itu masalah Irian Barat masih dihadapi sebagai masalah penjajahan yang akut. Inilah oleh Bung Karno kemudian dilihat sebagai kesempatan untuk mempersatukan bangsa dalam lingkungan nasakom. Dalam pada itu pemerintah RI dan Presiden Soekarno melihat bahwa pihak Uni Soviet lebih bersedia untuk memberikan bantuan senjata dari pada dunia Barat, khususnya Amerika Serikat. Indonesia bisa membeli senjata di Uni Soviet untuk melaksanakan misi terakhir untuk memasukkan wilayah Irian Barat ke dalam wilayah nasional Republik Indonesia. Dikirimkanlah misi-misi ke Moskow untuk menjajaki pembelian senjata ini dan kemudian juga Bung Karno sendiri acap kali pergi ke Moskow dan hal inilah mungkin yang membuat sikap Bung Karno terhadap PKI jauh berubah daripada sebelumnya.

Hancurnya Hubungan Bung Karno dengan A. Yani



Hal ini serta konsep nasakom yang dikembangkan Presiden Soekarno menimbulkan masalah bagi pimpinan TNI-AD. TNI-AD yang semula dipimpin oleh Kolonel, kemudian Brigadir Jendral yang kemudian menjadi Mayor Jendral Abdul Haris Nasution pada tahun 1958 berhasil dengan sukses mengakhiri pemberontakan PRRI Permesta secara relatif cepat pada tahun 1959. Pemberontakan yang dimulai pada tahun 1958 sudah dapat diakhiri dan kemudian terdapat kondisi wilayah terutama luar Jawa, Sumatera dan Indonesia Timur yang lebih baik. Hal ini dengan sendirinya tidak hanya menguntungkan TNI dan kekuatan yang bersama dengan TNI, tetapi dengan sendirinya menguntungkan Pemerintah Republik Indonesia dan Presiden Soekarno. Oleh sebab itu pada waktu itu hubungan antara Soekarno dengan Jendral Nasution dan TNI-AD masih baik.

Namun mendekati tahun 1960 dan makin berkembang kehendak Bung Karno untuk membentuk Pemerintah Nasakom hal ini menimbulkan masalah bagi pimpinan Angkatan Darat. Di satu pihak Pimpinan AD senantiasa berusaha untuk loyal sekuat-kuatnya kepada pimpinan negara. Akan tetapi ketika Pimpinan Negara mengembangkan Nasakom yang menetapkan unsur komunisme di dalam pengendalian pemerintahan, maka disini timbul masalah. Oleh karena sebagai kekuatan militer yang memegang teguh pedoman Sapta Marga para anggota TNI khususnya TNI-AD tidak dapat menerima ideologi lain selain Pancasila. Apalagi kalau ideologi itu bermaksud untuk mengubur Pancasila maka itu menimbulkan persoalan. Di satu pihak tetap loyal kepada Presiden Soekarno tapi di pihak lain memegang teguh Sapta Marga. Namun sekalipun begitu pimpinan Angkatan Darat sejak semula sukar untuk menerima konsep Nasakom dan sukar untuk melihat dan menyetujui makin berkembangnya kekuatan PKI yang makin arogan. Ini kemudian berakibat bahwa Presiden Soekarno menganggap bahwa TNI-AD kurang sepenuhnya mendukung politiknya. Dituduhnya bahwa para pimpinan TNI-AD dan bahkan mungkin TNI-AD menganut sikap melawan PKI, yaitu menganut sikap komunistophobia yang artinya secara berlebihan melawan PKI. Hal ini tentu sangat menguntungkan bagi PKI karena makin memperkuat posisinya di Republik Indonesia dan makin mempersulit posisi pimpinan TNI-AD.

Dalam kondisi semacam ini kemudian Bung Karno mengambil sikap untuk menguasai ABRI. Maka ditetapkan bahwa ABRI diorganisir dalam angkatan-angkatan yang dipimpin oleh menteri yang sekaligus juga menjadi panglima angkatan. Maka ada Menteri Panglima Angkatan Darat, Menteri Panglima Angkatan Laut dan Menteri Panglima Angkatan Udara. Ketika itu Kepolisian juga dimasukkan ke dalam lingkungan ABRI maka ada juga Menteri Panglima Angkatan Kepolisian. Akan tetapi yang menjadi MenPangad bukan Jendral Nasution. Jendral Nasution ditarik dan dijadikan Menteri Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Menteri Kepala Staf Angkatan Bersenjata ini dalam kenyataan tidak memilik wewenang mengendalikan TNI termasuk juga TNI-AD, karena para Menteri Panglima Angkatan sebagai Menteri langsung di bawah Presiden Soekarno dan dibawah kendali Presiden Soekarno. Dengan begitu Presiden Soekarno ingin lebih kuat lagi mengendalikan ABRI dengan perannya sebagai Panglima Tertinggi Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi seperti yang dia sebutnya waktu itu. Dengan cara begitu Presiden Soekarno dapat mengendalikan seluruh ABRI secara langsung dan mengharapkan dengan begitu mendapatkan dukungan penuh di dalam pelaksanaannya mewujudkan konsep Nasakom di dalam negeri dan konsep Konfrontasi terhadap Malaysia.

Akan tetapi ternyata Menteri Panglima Angkatan Darat yang ditetapkan yaitu Jenderal Ahmad Yani tidak banyak berbeda dengan sikap politik Jenderal Nasution. Memang disini mungkin Bung Karno salah penilaian karena sebagai pribadi Pak Yani lebih mahir melayani berbagai keinginan Bung Karno khususnya keinginan yang bersangkutan dengan kehidupan pribadi Bung Karno. Bung Karno yang suka pesta-pesta dan menari-menari sukar dilayani oleh Jenderal Nasution karena sifat Pak Nasution memang tidak seperti itu. Pak Nas sukar untuk turut dalam pesta-pesta Bung Karno. Pak Yani berbeda, Pak Yani sifat pribadinya mampu dan bisa melayani segala keinginan Bung Karno untuk kehidupan pribadinya. Jadi Pak Yani selalu ada di dalam pesta-pesta Bung Karno. Ini mungkin menyebabkan orang suka mengatakan bahwa Pak Yani adalah“anak emas”Bung Karno. Akan tetapi kemudian terbukti bahwa Ahmad Yani yang pintar melayani kebutuhan atau keinginan-keinginan Bung Karno di dalam menghadapi kondisi negara tidak banyak berbeda dengan sikap Jenderal Nasution. Pak Yanipun sebagai seorang Jenderal TNI-AD berusaha selalu memegang teguh Sapta Marga. Sebab itu mungkin bagi Pak Yani lebih sulit lagi karena di satu pihak Pak Yani berusaha untuk menjauhkan Bung Karno dari kehendak dan usaha-usaha PKI. Karena itulah Pak Yani bersedia untuk melayani semua keinginan pribadi Bung Karno dan untuk itulah Pak Yani bisa turut serta berpesta-pesta dengan Bung Karno, akan tetapi ketika Pak Yani juga diharapkan untuk merubah sikap TNI-AD untuk sepenuhnya mendukung pemerintah Nasakom maka disitulah Bung Karno kecewa oleh karena tidak bisa dilaksanankan oleh Pak Yani. Pak Yani tetap seorang perwira TNI-AD yang tidak bisa cocok dengan konsep Nasakom dimana terdapat unsur “kom– komunis” yang sudah jelas melanggar dan bertentangan dengan Sapta Marga. Jadi untuk itulah seringkali Pak Yani dikatakan oleh Bung Karno bahwa dia adalah orang yang berlebihan melihat PKI sebagai bahaya. Bahkan kemudian PKI berhasil membisik-bisikkan kepada Bung Karno bahwa Angkatan Darat kurang setuju adanya konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini TIDAK BENAR karena nyatanya kesatuan-kesatuan yang berada di daerah perbatasan dengan Malaysia bagian terbesar adalah pasukan TNI-AD. Akan tetapi memang di dalam benak para pimpinan TNI-AD lebih mengharapkan adanya konsolidasi ke dalam bagi negara Republik Indonesia.


Namun sekalipun demikian tugas menghadapi Konfrontasi selalu dilaksanakan oleh TNI-AD dengan sepenuhnya. Usaha yang lebih keji lagi dilakukan oleh pihak komunis dengan menyatakan bahwa di dalam TNI-AD sudah ada Dewan Jenderal. Dewan Jendral ini telah kena pengaruh CIA (Organisasi Intelligence Amerika Serikat) dan mengambil langkah-langkah untuk merebut kekuasaan Presiden Soekarno. Hal-hal ini kemudian turut disebarkan oleh Menteri Luar Negri Soebandrio yang juga merangkap sebagai Kepala Badan Penyelidik Indonesia yaitu BPI. Ketika Bung Karno mendapat laporan adanya Dewan Jendral di dalam tubuh TNI-AD, maka dipanggilnya Jendral Yani sebagai pimpinan Angkatan Darat. Dan mengatakan minta tanggung jawab Yani atas hal yang dilaporkan itu. Oleh Pak Yani kemudian dijelaskan bahwa ini adalah laporan yang tidak benar dan salah. Memang di dalam TNI-AD ada satu dewan yang bersidang secara teratur untuk membicarakan kenaikan pangkat para perwira-perwira Kolonel ke atas yaitu apa yang dinamakan Dewan Jabatan dan Kepangkatan dan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi. Wanjak dan Wanjakti. Yang Wanjakti dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat sendiri. Akan tetapi Wanjakti sama sekali tidak membicarakan hal-hal diluar masalah kenaikan pangkat dan jabatan. Oleh karena itu adalah suatu kebohongan belaka bahwa ada Dewan Jendral yang akan merebut kekuasan dari Presiden Soekarno. Tetapi apa yang diuraikan oleh Pak Yani di depan Presiden Soekarno rupanya tidak beliau terima dengan baik. Hal itu mungkin juga disebabkan karena Menlu Soebandrio dengan BPInya turut membisik-bisikkan kebenaran akan hal itu. Jadi karena itu makin sulit keadaan yang dihadapi oleh pimpinan Angkatan Darat untuk membawa pimpinan negara sesuai dengan apa yang kita perjuangkan yaitu Republik Indonesia yang berpolitik luar negeri bebas aktif berdasarkan Pancasila.

Dalam pada itu kondisi negara, kondisi masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh dinamika yang ditimbulkan oleh berbagai usaha PKI menghadapi suatu masalah. Pimpinan PKI sadar dan demikian pula pimpinan di Uni Soviet dan RRC bahwa keberadaan PKI sangat tergantung dari perlindungan yang diberikan oleh Presiden Soekarno. Jadi adanya Presiden Soekarno itu sangat penting bagi perkembangan komunisme di Indonesia. Padahal pada waktu itu Bung Karno mulai menunjukkan kondisi kesehatan yang mundur. Sering kali beliau ke Eropa berobat di Wina untuk mengatasi kesulitan kesehatannya. Hal ini tentu diketahui juga oleh pemimpin Uni Soviet dan RRC. Maka satu saat RRC memutuskan untuk menempatkan satu tim kesehatan mendampingi Bung Karno. Tim kesehatan ini yang terdiri atas dokter-dokter pilihan dari Beijing berada di Jakarta untuk selalu mengikuti perkembangan kondisi kesehatan Soekarno dan memberikan bantuan untuk mengatasi kalau ada masalah-masalah. Dengan adanya ini maka pimpinan PKI khususnya Aidit selalu mengikuti kondisi kesehatan Bung Karno.

Pada awal tahun 1965 ada kesimpulan bahwa kesehatan Bung Karno semakin menurun. Hal ini kemudian menimbulkan pada pimpinan PKI juga pimpinan di Moskow dan Beijing pikiran utk dapat mengatasi kondisi ini. Karena tidak boleh terjadi Bung Karno meninggal sebelum PKI menguasai Indonesia. Sebab itu akan menjadi peluang bagi unsur-unsur di Indonesia anti-PKI untuk mengakhiri peran PKI yang sudah begitu menonjol. Maka timbul pikiran bahwa PKI harus dapat merebut kekuasaan dalam waktu singkat sebelum terjadi sesuatu hal pada kesehatan Bung Karno. Inilah yang kemudian menimbulkan ketegangan-ketegangan dan dinamika yang lebih tinggi bagi gerak PKI, termasuk juga gerak Biro Khusus yang ditugasi oleh DN Aidit untuk mempengaruhi unsur-unsur TNI ABRI. Sebab Aidit, Moskow dan Beijing sadar bahwa tidak mungkin PKI merebut kekuasaan di Indonesia sebelum TNI khususnya TNI-AD hilang pengaruhnya dan hilang kekuatannya. Selama ada TNI-AD yang kuat maka mustahil PKI dapat merebut kekuasaan tanpa usaha-usaha kekerasan. Hal-hal demikian inilah membuat kegiatan-kegiatan Biro Khusus dan unsur-unsur di TNI yang sudah digarapnya makin aktif. Inilah prolog sebelum kita menghadapi pemberontakan yang kemudian terjadi pada tanggal 30 September – 1 Oktober 1965.

BAGIAN II – SEJARAH PEMBERONTAKAN

Memasuki tahun 1965, PKI makin agresif dimana mana. Di Jawa Timur mereka menunjukkan sikap yang arogan terhadap para alim ulama pondok-pondok pesantren. Demikian pula di daerah Jawa Barat, mereka di perkebunan menunjukkan kekuatan SARBUPRI (Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia). Maka pada tanggal 14 Mei 1965 di Sumatera Utara di perkebunan Simulungun di Bandar Betsi mereka juga melakukan serangan dengan buruh taninya, buruh perkebunannya, dan pemudanya untuk mengambil tanah perkebunan untuk kepentingan atau keperluan mereka. Dalam peristiwa itu mereka malah membunuh seorang perwira TNI-AD, seorang Pembantu Letnan Sudjono yang tugasnya adalah menjaga perkebunan di Bandar Betsi itu. Ia berusaha mencegah usaha mereka menguasai tanah perkebunan. Sudjono dibunuh oleh mereka.

Dan kemudian PKI sebagai organisasi mengusulkan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan ke 5 dengan alasan untuk memperkuat usaha Republik Indonesia di dalam menjalankan Konfrontasinya terhadap Malaysia. Tapi pasti hakekatnya adalah untuk memperkuat posisi PKI di Indonesia. Angkatan ke 5 akan terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai dengan senjata yang akan diperoleh dari RRC. Bung Karno menyetujui dan akan memenuhi permintaan itu. Akan tetapi pimpinan TNI-AD menolak dan menyatakan bahwa ABRI yg terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian cukup memadai untuk menjalankan semua tugas di dalam melaksanakan Konfrontasi. Hal ini menambah lagi ketegangan antara PKI dan TNI-AD dan dalam hal ini lagi Bung Karno cenderung berpihak kepada PKI dan mengatakan bahwa TNI-AD semakin komunistophobi dan semakin berkelebihan tidak senangnya kepada PKI. Jenderal Yani dan stafnya berusaha untuk terus melerai pandangan Presiden Soekarno terhadap TNI-AD. Pak Yani benar-benar berusaha menunjukkan loyalitasnya yang maksimal pada Presiden Soekarno. Akan tetapi menyangkut PKI ini buat Pak Yani sulit sekali untuk menyetujui apa yang dikehendaki oleh PKI dan didukung oleh Presiden Soekarno.

Rupanya tim kesehatan China yang mendampingi presiden Soekarno mulai khawatir terhadap kondisi kesehatan Bung Karno dan hal ini dilaporkan ke pimpinannya di Beijing. Pimpinan Beijing khususnya Perdana Menteri Zhou En Lai minta DN Aidit untuk datang ke China. Tentu bukan begitu secara terbuka, tetapi kesan perjalanan Aidit ke China dibuat seakan-akan DN Aidit sebagai menteri di dalam Pemerintah Nasakom melakukan perjalanan persahabatan ke China. Di dalam pertemuan antara Aidit dengan Zhou En Lai ini rupanya dibicarakan resiko tentang kondisi kesehatan Bung Karno. Sebab jelas sekali tanpa Soekarno posisi PKI di Indonesia akan sulit dapat dipertahankan. Inilah mungkin yang menjadi landasan keputusan yang diambil oleh pimpinan PKI khususnya Aidit. Dalam pada itu PKI telah berkembang menjadi partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan RRC. Hubungannya dengan Moskow dan Beijing cukup erat sekalipun antara Moskow dan Beijing sudah timbul kerenggangan.

Rupanya oleh Aidit diatur agar Nyoto sebagai pembantunya untuk menjalin hubungan lebih dekat ke Moskow, sedangkan dia sendiri lebih mendekati Beijing. Usaha Biro Khusus untuk mempengaruhi unsur-unsur ABRI berjalan terus. Meskipun intelijen Angkatan Darat berusaha untuk mengetahui segala hal yang dilakukan oleh Biro Khusus akan tetapi nampaknya tidak semua dapat diketahui dengan cermat. Pasti diketahui bahwa ada kesatuan-kesatuan di Kodam Diponegoro yang dulu merupakan unsur PKI Madiun yang berontak seperti bekas Batalyon Malady Yusuf. Atau bekas pasukan-pasukan Panembahan Senopati memang mendapat observasi tetapi sukar tentu untuk diketahui secara cepat seberapa jauh dan seberapa luas PKI telah berhasil mempengaruhi unsur-unsur ABRI khususnya TNI-AD.

Maka ketika pada tanggal 30 September malam dan 1 Oktober pagi PKI mulai memukul dengan menggunakan unsur-unsur Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa di bawah pimpinan komandan batalyonnya Let.Kol Untung maka ini merupakan suatu tindakan surprise atau pendadakan yang kurang bisa diantisipasi oleh intelijen Angkatan Darat. Oleh karenanya pesan Beijing untuk “memotong kepala ular” terlaksanalah. Tindakan ini dilaksanakanlah oleh Aidit pimpinan PKI dengan menggunakan unsur-unsur Cakrabirawa yang telah kena dipengaruhi oleh usaha Biro Khusus. Selain itu juga ada beberapa unsur dari AURI yang terpengaruh demikian pula dari Angkatan Laut.

Pada tanggal 1 Oktober fajar kediaman Panglima Angkatan Darat, Jenderal Ahmad Yani; kediaman Deputi Angkatan Darat, May.Jend. Suprapto; kediaman Asisten Intelijen Angkatan Darat (ASPAM-AD) May.Jend S. Parman; kediaman Asisten Logistik Brig.Jen D.I. Panjaitan, kediaman Irjen Angkatan Darat, May.Jend MT Haryono; dan kediaman Kepala Pusat Hukum Angkatan Darat, Brig.Jen Sutoyo didatangi oleh unsur-unsur Cakrabirawa. Mereka datang dengan alasan untuk mengambil perwira-perwira yang dituju untuk dihadapkan pada Presiden Soekarno dengan tuduhan bahwa mereka telah berada di dalam Dewan Jendral yang akan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno di Indonesia. Tetapi ternyata tidak hanya perwira-perwira itu diambil bahkan ketika perwira-perwira itu baik Pak Yani maupun yang lain menunjukkan sedikit tindakan sikap perlawanan, maka pasukan yang datang itu tanpa ragu-ragu telah menembak para perwira-perwira ini. Jadi waktu itu Pak Yani sebetulnya di rumah sudah tiada atau sudah gugur ditembak oleh para unsur Cakrabirawa ketika beliau berusaha melawan. Demikian pula yang lain. Yang gagal diambil oleh unsur Cakrabirawa ini adalah Jenderal Nasution. Jenderal Nasution berhasil melarikan diri sementara ajudan beliau Letnan Pierre Tendean maju ke depan seakan-akan dialah Jenderal Nasution dan pasukan yang datang itu tertipu karena mengira bahwa Pierre Tendean itulah Jenderal Nasution. Dialah yang langsung ditembak dan dibawa oleh para pasukan.

Maka pada pagi hari itu tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi suatu tindakan terhadap para pimpinan Angkatan Darat. Likuidasi pimpinan Angkatan Darat dan seorang perwira pertama Pierre Tendean sedangkan Jenderal Nasution berhasil melarikan diri dan selamat. Kemudian pada pagi hari itu juga tanggal 1 Oktober, Let.Kol Untung mengumumkan adanya Dewan Revolusi yang mengambil tindakan terhadap sekumpulan TNI yang akan melakukan perebutan kekuasaan terhadap Presiden Soekarno. Maka Dewan Revolusi ini mengambil kekuasaan dan dengan demikian menunjukkan tindakan pemberontakan.

Pada tanggal 1 Oktober itu Panglima Angkatan Udara, Oemardhani, juga mengeluarkan statement melalui RRI menyatakan dukungannya kepada Dewan Revolusi yang mengambil tindakan terhadap pimpinan Angkatan Darat. Akan tetapi Tuhan belum mengijinkan PKI menang sebab pada pagi hari itu May.Jend Suharto sebagai Panglima Kostrad telah mendapat informasi tentang tindakan yang dialami oleh pimpinan Angkatan Darat. Pak Harto langsung pergi ke MABES Kostrad dan disanalah pada tanggal 1 Oktober itu Pangkostrad mengambil tindakan-tindakan yang mengakibatkan gagalnya PKI untuk mengambil kekuasaan. Sebab Jenderal Nasution yang berhasil melarikan diri dari rumahnya dengan tepat menuju ke markas Kostrad. Ketika Pak Harto meminta Pak Nas untuk memegang pimpinan perlawanan, Pak Nas menugaskan kepada Jenderal Suharto supaya dialah yang memegang pimpinan. Sangat mungkin dapat dimengerti mengapa Pak Nas tidak ingin memegang pimpinan dikarenakan dengan situasi di rumah yang ditinggalkan Pak Nas pagi itu, selain Pierre Tendean ajudannya yang menjadi korban ada juga seorang putri bungsu Pak Nas, Ade Irma Suryani yang masih berusia 5 tahun turut tertembak waktu pasukan PKI ini menembak di rumah Jenderal Nasution. Mungkin karena hal-hal itu Pak Nas kondisi mentalnya tertekan dan kemudian meminta Pak Harto untuk memegang pimpinan. Dan pimpinan ini kemudian dilaksanakan secara efektif oleh Pak Harto.

Rupanya PKI juga sudah menyiapkan 2 batalyon TNI-AD yang ditugaskan untuk berada di Jakarta menghadapi, mempersiapkan diri untuk peringatan ulang tahun TNI pada tanggal 5 Oktober. Batalyon-batalyon yang dipersiapkan ini merupakan bagian dari Kostrad yang ternyata terdiri dari 2 batalyon. 1 batalyon dari Kodam Diponegoro yaitu Batalyon 454 dan 1 batalyon dari Kodam Brawijaya Batalyon 530. 2 batalyon ini juga sudah kena garapan dari Biro Khusus. Itu berarti bahwa yang menggerakkan dan yang memerintahkan 2 batalyon ini untuk datang ke Jakarta guna ikut serta dalam upacara 5 Oktober adalah orang yang pasti tahu bahwa 2 batalyon ini sudah dalam kekuasaan pimpinan PKI. 2 batalyon itu tanggal 1 Oktober pagi hari berada di sekitar Lapangan Merdeka dimana terletak markas-markas yang utama dan gedung-gedung pemerintah yang penting. Andai kata 2 batalyon ini dapat digerakkan dimanfaatkan dengan tepat maka PKI pada tanggal 1 Oktober sudah akan berhasil merebut kekuasaan di Indonesia. Akan tetapi rupanya pengendalian pasukannya juga masih kurang tepat dan kurang efektif. Karena 2 batalyon ini bersama dengan Batalyon 330 Siliwangi adalah merupakan unsur-unsur yang di bawah perintah Kostrad maka kemudian Panglima Kostrad Jenderal Suharto berhasil mendekati pimpinan Batalyon 454 dan 530. Keberhasilan pendekatan Pangkostrad ini yang membuat 2 batalyon ini tidak lagi dapat dimanfaatkan oleh PKI. Karena mereka kemudian sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Pangkostrad. Dan memang ada kelemahan pimpinan PKI yang kurang memperhatikan logistik dari 2 batalyon ini. Batalyon-batalyon yang didatangkan ini kurang mendapat dukungan makanan sehingga ini kemudian dapat disuplai dibekali oleh Kostrad yang makin mendekatkan penguasaan dari Pangkostrad atas 2 batalyon ini.

Dengan direbutnya penguasaan atas 2 batalyon ini, maka kemampuan kesempatan PKI untuk merebut kekuasaan semakin kecil. Dan pada tanggal 1 Oktober itu juga Pangkostrad yang menetapkan diri sebagai pengganti pimpinan Angkatan Darat telah memerintahkan pasukan RPKAD dibawah pimpinan komandannya Kolonel Sarwo Edhi untuk merebut lapangan udara Halim Perdanakusuma. Telah ada informasi bahwa pusat pengendalian PKI ini berada di Halim Perdanakusuma. Dalam pada itu Presiden Soekarno yang tadinya berada di istana telah meninggalkan istana pada pagi hari. Mula-mula Presiden Soekarno dibawa oleh ajudannya Malwi Saelan menuju ke rumah istri Bung Karno, Dewi tapi kemudian dari sana rupanya dianggap kurang efektif kalau menghadapi keadaan karena helikopter Bung Karno ada di Halim. Maka Bung Karno dibawa oleh ajudannya menuju ke Halim dan tinggal di rumah seorang perwira tinggi Angkatan Udara. Di Halim kemudian Bung Karno mendapat laporan tentang apa yang telah terjadi terhadap para pimpinan Angkatan Darat yaitu Jendral Ahmad Yani, Jendral Suprapto, Jendral S. Parman, Jendral Panjaitan, Jendral MT Haryono dan Jendral Sutoyo. Reaksi Bung Karno adalah: Dalam revolusi hal demikian adalah seperti “een rimpel in de oceaan” kata beliau dalam bahasa Belanda. Jadi Bung Karno menganggap apa yang terjadi ini merupakan suatu hal yang biasa-biasa saja karena beliau mengatakan di dalam revolusi kejadian ini hanya bagaikan riak kecil di dalam samudera yang luas “een rimpel in de ocean” demikian reaksi beliau menanggapi pembunuhan terhadap orang yang tadinya disebutnya sebagai anak emasnya yaitu Jenderal Yani.

Bung Karno ketika berada di Halim menetapkan penggantian pimpinan Angkatan Darat dengan tiadanya Panglima Angkatan Darat Jenderal Yani yang sudah terbunuh. Atas saran dari DN Aidit yang juga berada di Halim, Bung Karno menetapkan May.Jend Pranoto Asisten Personel TNI-AD sebagai pimpinan Angkatan Darat yang baru. Dan hal ini kemudian disiarkan melalui radio RRI. Kemudian ajudan Bung Karno Kolonel Wijanarko ditugaskan untuk pergi ke Kostrad untuk menyampaikan perintah Bung Karno agar May.Jend Pranoto datang ke Halim dan ditetapkan sebagai pimpinan Angkatan Darat menggantikan Jenderal Yani. Waktu Kolonel Wijanarko tiba di Kostrad dan menyampaikan pesan Presiden Soekarno itu, maka timbul sikap penolakan tidak saja dari Pak Harto, tapi juga dari Pak Nasution dan perwira-perwira yang lain. Karena adalah sudah menjadi kebiasaan selama pimpinan Angkatan Darat dipegang oleh Jenderal Yani sebagai Panglima Angkatan Darat, bahwa Pangkostrad May.Jend Suharto adalah merupakan orang kedua di dalam TNI-AD meskipun tidak ada ketentuan tertulis yang menyatakannya. Tapi Jenderal Yani sudah menyatakan ini sebagai SOP (Standard Operation Procedure) yang berlaku di TNI-AD dan selama ini juga sudah berlaku bahwa jika Jendral Yani sedang tidak berada di tempat entah sedang tugas keluar negeri atau menjalankan tugas yang lainnya, maka yang memegang pimpinan TNI-AD sebagai person-in-charge adalah Jenderal Suharto. Jadi atas dasar situasi yang sudah berlaku di dalam tubuh TNI-AD itu, segala sesuatunya yang ditetapkan oleh Bung Karno tidak mendapat respond yang memadai. Lagipula masih ada kesangsian terhadap sikap May.Jend Pranoto dalam menghadapi masalah ini. Oleh karena itu Jenderal Suharto kemudian menyampaikan kepada Kolonel Wijanarko untuk meneruskan pesan yang harus dilaporkan kepada Presiden Soekarno bahwa pimpinan TNI-AD telah diambil sesuai dengan SOP TNI-AD oleh Pangkostrad Jenderal Suharto, dan Jenderal Suharto tidak mengijinkan Jenderal Pranoto menghadap Presiden di Halim saat itu. Selain itu Jenderal Suharto menyampaikan kepada Kolonel Wijanarko agar sebaiknya Presiden Soekarno segera pergi meninggalkan Halim. Oleh karena sebentar lagi Halim akan direbut oleh pasukan khusus RPKAD guna membersihkan Halim dari unsur-unsur pimpinan G30S/PKI. Dan jangan sampai Presiden Soekarno nanti terjebak di dalam kemungkinan pertempuran yg akan terjadi.

Ketika Kolonel Wijanarko kembali ke Halim dan melaporkan apa yang dikatakan Jenderal Suharto kepada Presiden Soekarno, maka Presiden Soekarno menunjukkan sikap kemarahannya karena perintahnya tidak dapat dilaksanakan. Terlebih kemudian Presiden Soekarno menolak untuk meninggalkan Halim. Akan tetapi atas desakan Menteri Leimena dan yang lain, Presiden Soekarno kemudian menuruti desakan itu dan dengan didampingi oleh Dr Leimena, Presiden Soekarnopun lalu meninggalkan Halim dan kemudian pergi menuju ke istana Bogor. Sebab itu ketika pasukan RPKAD mulai menyerang Halim dan kemudian menguasai lapangan udara Halim Perdanakusuma, Presiden Soekarno sudah tidak berada disana, akan tetapi DN Aiditpun sudah tidak ada. Oleh karena sebelumnya pimpinan Angkatan Udara telah menyediakan satu pesawat yang kemudian membawa Aidit ke Jawa Tengah atau Jawa Timur dan pergi meninggalkan Jakarta atau Halim.

Kemudian juga Panglima Kostrad sebagai pimpinan Angkatan Darat yang baru segera menguasai Radio Republik Indonesia (RRI), mengeluarkan pengumuman-pengumuman tentang apa yang telah terjadi pagi ini dan bahwa kejadian ini semua merupakan pemberontakan PKI yang berusaha menguasai Indonesia melalui Dewan Revolusi dengan pimpinannya Let.Kol Untung. Akan tetapi bahwa semua itu gagal dan usaha hari pertama itu sudah membuat pasukan-pasukan yang dibawah pimpinan Untung dan unsur-unsur ABRI yang turut di dalamnya sudah dapat dilumpuhkan dan dapat dilikuidasi sedangkan Untung sendiri sudah melarikan diri. Inilah kejadian pemberontakan G30S/PKI pada tanggal 30 September – 1 Oktober 1965. Jadi kalau di kemudian hari ada usaha-usaha yang mau membebaskan PKI dari pemberontakan 30 September – 1 Oktober dengan mengatakan bahwa yang terjadi adalah suatu persoalan internal TNI-AD itu adalah BOHONG BELAKA. Memang yang bergerak utamanya adalah pasukan-pasukan TNI-AD baik yang ada di Cakrabirawa maupun di luarnya akan tetapi itu adalah pasukan-pasukan yang kena digarap oleh Biro Khusus dan sudah masuk dalam kendali pimpinan PKI, DN Aidit. Jadi Untung bukan melakukan tindakan terhadap pimpinan TNI-AD sebagai perwira TNI-AD yang memberontak terhadap pimpinannya melainkan dia disitu adalah sebagai seorang yang telah kena pengaruh PKI melalui Biro Khususnya untuk melakukan tindakan-tindakan yang diputuskan oleh pimpinan PKI, DN Aidit. Juga adanya argumentasi bahwa yang bergerak bukan PKI akan tetapi DN Aidit pribadi, sedangkan pengurus PKI yang lain baik Ir. Sakirman, Nyoto, Nyono tidak tahu akan hal ini semua. Ini mungkin benar, akan tetapi kalau ketua umumnya yang memegang pimpinan PKI dan mengeluarkan keputusan-keputusan, maka dengan sendirinya PKI sebagai organisasi jelas terbawa serta. Oleh karena juga apa yang dikumandangkan oleh Dewan Revolusi yang mau menggerakkan unsur-unsur rakyat di daerah untuk turut bergerak melawan TNI-AD, ini semua menunjukkan tidak mungkin hanya suatu usaha pribadi DN Aidit, melainkan DN Aidit yang menggunakan organisasi PKI untuk berusaha menguasai Republik Indonesia. Maka gagallah untuk ke 3 kalinya pemberontakan PKI di Indonesia. Yang pertama yang gagal adalah masa di jaman Hindia Belanda pada tahun 1927, yang kedua sudah menjadi Republik Indonesia pada tahun 1948 ketika PKI berontak di Madiun dan berusaha merebut kekuasaan dan yang ke 3 sekarang adalah pada tahun 1965.

Langkah-langkah berikut yang dilakukan adalah untuk mencari tahu kemana para korban pimpinan-pimpinan TNI-AD ini dibawa oleh penculiknya, karena tidak ada yang tahu kemana bergeraknya para pemberontak ini. Baru pada tanggal 2 Oktober ada saksi yang melaporkan adanya kegiatan-kegiatan di daerah Lubang Buaya dekat Halim. Ternyata para korban dibawa ke Lubang Buaya dan di sana jenazah-jenazah dikubur. Mereka yang belum terbunuh di rumahnya pada subuh tanggal 1 Oktober, pada saat diketemukan di Lubang Buaya semua telah terbunuh. Dengan cepat TNI-AD menggerakkan pasukannya ke Lubang Buaya dan benarlah diketemukan ada sumur dimana semua jenazah itu dimasukkan setelah dibunuh. Dengan bantuan juga dari sekelompok pasukan KKO maka jenazah-jenazah ini pada tanggal 4 Oktober bisa berhasil diangkat dan dievakuasi dari dalam sumur dan kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto untuk diautopsi. Dan pada tanggal 5 Oktober yang bertepatan dengan hari ulang tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, jenazah-jenazah para perwira-perwira TNI-AD ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Adalah juga mencolok mata dan menonjol bahwa pada pemakaman Jenderal Yani yang katanya merupakan “anak emas” Presiden Soekarno, Presiden tidak hadir di Kalibata. Adalah suatu kebohongan kalau kemudian dikatakan bahwa Presiden Soekarno meninggalkan istana Bogor dan menuju ke Kalibata untuk menghadiri upacara pemakaman para perwira-perwira TNI-AD yang gugur.
BAGIAN III – EPILOOG G30S / PKI

Selanjutnya Angkatan Darat dan unsur-unsur yang lain dari jajaran ABRI melakukan pembersihan. Dari Angkatan Darat dikirimkan pasukan RPKAD ke Jawa Tengah untuk melakukan pembersihan di sana karena di sana banyak terdapat unsur-unsur yang kena pengaruh PKI pada umumnya. Nanti di Jawa Tengah pula komandan brigade Kolonel Yaser berhasil menangkap D.N. Aidit yang telah dibawa pesawat AU ke Jawa Tengah untuk melarikan diri. Aidit ditangkap dan juga dihukum disana.

Ketika kemudian sebagai reaksi dan akibat dari pemberontakan G30S/PKI terjadi banyak pembunuhan, termasuk pembunuhan terhadap orang-orang yang katanya tidak bersalah. Dan ini semua dilakukan oleh rakyat Indonesia bersama TNI. Ini sebetulnya tidak lain daripada akibat dari kondisi Indonesia sebelum terjadinya G30S/PKI. Sikap yang arogan dari PKI sejak tahun 1960 sudah menimbulkan banyak rasa muak dan rasa bertentangan di masyarakat luas khususnya di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Inilah kemudian mengakibatkan reaksi spontan dari masyarakat terhadap semua pihak yang dicurigai telah berpihak kepada PKI. Sebab pada tahun 1965 PKI sudah sangat luas organisasinya dan PKI telah menjadi organisasi komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan RRC. PKI memiliki unsur kekuatan yang berada dimana-mana, terdiri dari Barisan Tani Indonesia dan Sarikat Buruh yang ada di berbagai kalangan, baik sarikat buruh perkebunan, sarikat buruh kereta api, dan sarikat pekerja kementrian pertahanan. Demikian pula ada organisasi pemuda, yaitu Pemuda Rakyat yang telah mengorganisir pemuda yang bersedia bergabung kepada PKI. Dan ada organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang juga merupakan tangan-tangan PKI. Ada juga GERWANI yaitu gerakan wanita Indonesia yang adalah merupakan perkumpulan wanita-wanita yang berpihak kepada PKI dan mereka berada dimana-mana di daerah sehingga oleh karena itu tidak mengherankan bahwa terjadi pembunuhan yang begitu meluas. Tentu bukan hal ini yang diinginkan tapi ini adalah suatu reaksi spontan terhadap hal yang telah terjadi sebelumnya, sehingga sukar dicegah. Bahwa kemudian dituduhkan kepada TNI-AD, khususnya Jenderal Suharto, telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan HAM, maka harusnya juga dipertimbangkan apa yang telah terjadi sebelumnya. Adalah reaksi yang tepat dari seorang pemimpin Islam yang mengatakan kalau Pemerintah Republik Indonesia kemudian harus minta maaf kepada PKI dan pendukungnya atas apa yang telah terjadi, maka bagaimana permintaan maaf untuk mereka yang telah dibunuh oleh PKI di Bandar Betsi, Jawa Tengah, Jawa Timur dan yang lain yang telah terjadi sejak pemberontakan PKI Madiun. Siapa yang akan minta maaf untuk pembunuhan-pembunuhan itu? Hingga saat ini masih tetap saja ada usaha untuk membebaskan PKI dari keterlibatannya di dalam pemberontakan G30S/PKI. Dengan demikian memungkinkan timbulnya kembali PKI atau unsur-unsurnya. Sebab itu adalah masuk akal bahwa hingga kinipun masih ada kecurigaan terhadap timbulnya kembali PKI dan unsur-unsurnya. Bangkitnya kembali PKI bukan dalam rangka membangun pemerintah komunis di Indonesia, tetapi untuk membangun kekuatan dan melakukan pembalasan untuk hal yang dialami. Kuatnya niat itu dapat dilihat ketika para pendukung PKI berhasil menggait bantuan dari luar negeri.

Pada tahun 2015 diadakan International People’s Tribunal di Den Haag, Belanda, yang membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan pembunuhan itu. Diambil keputusan yang mengharuskan Pemerintah Indonesia melakukan hal-hal yang menunjukkan adanya kesalahan pada Pemerintah Indonesia. Sebagai kelanjutan dari pertemuan itu di Indonesia diadakan pertemuan serupa yang antara lain minta Pemerintah Indonesia untuk minta maaf kepada para korban dan memberikan rehabilitasi kepada mereka. Ini semua menunjukkan kuatnya niat dari para pendukung PKI untuk bangkit kembali. Bukan untuk membangun masyarakat komunis, tetapi membangun satu kekuatan yang memberikan kekuasaan.

Dalam hal ini perlu diperhatikan apa yang terjadi di China. Karena sering kali orang mengatakan komunisme sudah kehilangan daya tarik. Bahkan di China sekalipun sistem apa yang dilaksanakan pemerintahnya bukan hal yang bersifat komunisme. Yang dibangun di China bukan satu masyarakat komunis seperti yang digambarkan Karl Marx. Akan tetapi sekalipun demikian tidak dapat disangkal bahwa di China yang berkuasa adalah Partai Komunis China. PKC dimanfaatkan oleh Pemerintah China sebagai satu kekuasaan totaliter untuk membangun negaranya menjadi satu kekuatan besar. Sebab itu China tidak akan melepaskan system komunis yang dianutnya.

Maka disinipun tidak mustahil jika PKI ingin berdiri kembali menguasai keadaan dan berkuasa atas negara Republik Indonesia. Dan tidak mustahil bahwa usaha demikian mendapat bantuan China. Sebab berkembangnya satu kekuatan di Asia Tenggara yang sesuai dengan kepentingan China amat sesuai dengan kehendaknya berkembang sebagai kekuatan global.

Jadi adalah bukan berlebihan kalau kita tetap selalu waspada terhadap segala usaha untuk membangkitkan kembali PKI di Indonesia. Tapi yang paling penting adalah diketahui apa yang sebetulnya terjadi sekitar 30 September dan 1 Oktober 1965. Demikian pula tentang masa-masa sebelumnya sejak tahun 1950 dan adanya pemberontakan PKI di Madiun. Bahwa sejak awal ada usaha PKI untuk merebut kekuasaan di Indonesia.

Demikianlah uraian saya tentang pemberontakan G30S/PKI. Mudah-mudahan uraian ini dapat menimbulkan pemahaman yang benar tentang PKI dan bahwa kewaspadaan terhadap kemungkinan timbulnya kembali PKI bukanlah satu hal yang berlebihan dan bukan hal yang mengada-ada. Oleh karena itu kita selalu harus waspada dan tidak memberikan kesempatan untuk timbulnya kembali PKI dan organisasi-organisasi semacamnya.

SELESAI

Sumber: http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=1721