Saturday 13 April 2019

Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa

Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa

Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa

Pesawat petarung(fighter) memiliki peran paling vital dalam taktik perang yang melibatkan superioritas/supremasi udara, ia tidak hanya membantu menghancurkan pesawat musuh saja, namun juga berperan besar dalam melakukan serangan darat(CAS - Close Air Support) apabila dipasang misil ataupun bom sehingga sangat membantu pasukan infanteri dan kavaleri dalam menerobos pertahanan garis depan musuh atau mempertahankan wilayah mereka. Meski dewasa ini main armament pada fighter mengusung kaliber setidaknya 30mm, jika dibandingkan pada saat itu dimana Perang Dunia I berkecamuk, Biplane Fighter(Pesawat petaraung bersayap ganda) hanya memiliki 1 senapan mesin kaliber 7.62mm.

Quote:
Perang Dunia I


Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa
Sopwith Camel, yang merupakan biplane paling populer milik Inggris.

Ketika perang dunia masih didominasi oleh kekuatan artileri dan senapan mesin, biplane lebih ditujukan untuk keperluan air spotting atau memantau medan perang dari udara. Dan bilamana seorang pilot menemukan pesawat biplane musuh, operator yang berada di belakang pilot akan mengandalkan senjata api yang biasa digunakan untuk pertempuran saat itu, atau menggunakan Senapan Semiotomatis Selbstlader M1916 yang ditujukan untuk pilot dan kru balon Zeppelin Jerman. Meski demikian, superioritas udara pertama tercatat ketika peristiwa 'Fokker Scourge' berlangsung, dimana pengunaan mekanisme Synchronisation Gear/Interrupter Gear pada senapan mesin oleh Kekaisaran Jerman saat itu mampu mengalahkan pasukan udara Inggris dan Prancis. Sejatinya jika senapan mesin dipasang menghadap baling-baling pesawat itu sendiri, akan dapat menghancurkan baling-baling tersebut dan dapat membuat pesawat itu mati. Maka dari itu mekanisme Synchronisation Gear diimplementasikan pada pesawat petarung Fokker, mampu menembak dari belakang baling-baling tanpa merusaknya sama sekali. Mekanisme dari Synchronisation Gear dapat dilihat disini.

Ketika Fokker Scourge berlangsung, pesawat petarung Kekaisaran Jerman saat itu menggunakan rantai untuk menampung peluru, sementara Inggris dan Prancis justru menggantinya dengan magasen drum. Dan tercatat pada saat itu juga pengunaan roket pada pesawat biplane terjadi ketika perang Verdun 1916. Diberi nama Le Prieur Rocket yang berasal dari nama sang penemu Yves Le Prieur, ia tidak berfungsi sebagai roket CAS(Close Air Suport) untuk membantu infanteri dan kavaleri didarat karena arah roket yang condong  diagonal keatas membuat roket tersebut ditujukan untuk keperluan menghancurkan balon pemantau medan perang dan balon Zepelin yang berukuran lebih besar dan dipasang pada pesawat biplane Nieuport 17 milik Prancis. Roket Le Prieur juga digunakan oleh Inggris yang dipasang pada pesawat biplane Sopwith Camel dan B.E.2. Meski penemuannya terbilang sangat inovatif dan berani saat itu, tingkat akurasi yang dimilikinya sangat rendah; pilot harus benar-benar berada pada jarak 115 meter untuk dapat menghancurkan balon target yang terbilang sukses, namun tidak untuk balon Zepelin berukuran raksasa. Disamping itu, penemuan Incendiary Rounds dan Tracer Rounds untuk senapan mesin yang dapat membakar material tipis pada balon udara dinilai sangat efektif sehingga membuat roket Le Prieur mulai ditinggalkan dan tidak diproduksi lagi.


[img]http://api.ning.com/files/LN*jCdh*NeJ8SptjCz*aqa*0QNdNnwwsgujSjKcGUqPSSk4M7NPp2p-VU6L3YU0jqJwLDavZmNjCym3r1vXBayQSJT-pYmGv/0le_prieur_c.jpg[/img]

Roket Le Prieur yang terpasang di Nieuport 17.



Quote:
Pra Perang Dunia II(1930-1939)


Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa
Polikarpov I-15, biplane Uni Soviet yang memiliki 4 buah Senapan mesin ShKAS 7.62mm.

Biplane masih tetap diproduksi dan digunakan oleh beberapa negara, namun dengan teknologi yang sudah berkembang dari tahun ke tahun. Biplane tidak lagi terikat dengan 2 senapan mesin berukuran 7.92mm, meski masih ada beberapa yang menggunakannya, seperti He 51 dan Ki-10. Produsen pesawat dapat memasang 4 senapan mesin di belakang baling-baling atau memasang senapan mesin besar semisal M2 atau Breda-SAFAT berkaliber 12.7mm dengan menerapkan Synchronisation Gear. Ambil contoh I-15 dengan 4 MG terpasang di belakang baling-balingnya, CR.42 dengan 2 Breda-SAFAT 12.7mm yang menghasilkan daya hancur besar dibandingkan 7.92mm, dan I-153P dengan menyematkan kanon 20mm yang mampu merontokkan pesawat hanya dengan beberapa tembakkan saja. Namun era monoplane berukuran besar dengan bentang sayap yang mampu menampung 8 senapan mesin membuat Biplane hanya sebatas digunakan untuk memantau aktifitas pertempuran atau dijadikan sebagai pembom tukik dalam jumlah yang amat terbatas. Akhirnya pengunaan kaliber besar pada pesawat tempur mulai digalakkan, seperti Dewoitine D.500 yang terpasang ditengah blok engine/mesin dan disebut dengan 'Moteur-Canon' atau Motor Cannon. Meski ia memliki kemampuan untuk menembak dari baling-baling, Moteur-Canon terpasang di poros baling-baling itu sendiri, sehingga tembakkan akan tepat mengenai sasaran dengan tingkat akurasi yang tinggi. Konsepnya sendiri sudah digunakan pada perang dunia I pada pesawat SPAD XII dengan kanon Puteaux SA 18 37mm, namun pengimplementasiannya secara masal baru terjadi pada tahun 30'an, dengan pesawat petarung pabrikan Moraine-Saulnier. Tidak hanya pesawat dari Prancis saja, Uni Soviet mulai menggunakan konsep tersebut pada pesawat petarungnya seperti varian Yakovlev dan LaGG-3, sementara Jerman sendiri mengimplementasikan konsep tersebut pertama kali pada varian BF 109 D1 tahun 1938.

Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa

Hispano-Suiza V8, dimana kanon dapat dipiasang kedalam bagian tengah mesin.

Pemasangan senapan mesin dalam jumlah banyak pada monoplane fighter digunakan oleh negara Inggris seperti Hawker Hurricane dan Supermarine Spitfire dengan 8 buah 7.62 Browning MG. Dan tidak hanya itu,  pemasangan senapan mesin besar sendiri digunakan pada P-40 Warhawk milik Amerika Serikat dengan 6 buah M2 MG 12.7mm di kedua sayapnya. Ketiga pesawat tersebut mulai menunjukkan tajinya ketika lampu hijau perang dunia II menyala.


Biasanya, setelah senapan mesin tersebut dipasang didalam sayap, para pilot dapat mengatur kemiringan pada senapan mesin dengan tujuan memusatkan tembakkan berdasarkan jarak efektif. Hal tersebut disebut dengan Gun Harmonisation/Gun Convergence.

Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa
Hawker Hurricane cukup diandalkan pada perang dunia II, sebelum akhirnya diganti oleh Typhoon.


Quote:
Perang Dunia II

Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa
P-47 Razorback, pesawat fighter-bomber paling termahsyur milik Amerika Serikat saat PDII berkecamuk.

Jerman menginvasi Polandia dan semakin meluas ke dataran Rusia, dan Jepang melakukan serangan pertamanya ke Pelabuhan Pearl(Pearl Harbor) di pantai Hawaii. Pengunaan senapan mesin berkaliber ringan(7.5 - 7.92mm) masih tetap dipakai, namun kini dikombinasikan dengan kanon kaliber 20mm seperti varian A6M, Bf 109 E4, dan Spitfire Mk.VB. Hispano-Suiza HS.404, menjadi sebuah kanon yang amat populer bagi beberapa faksi, dengan pengecualian Uni Soviet dengan kanon 20mm ShVAK. Selain itu, mekanisme Moteur-Canon masih diterapkan, namun ia tidak harus terikat dengan mesin Hispano-Suiza saja. Varian Yakovlev fighter dari Yak-1 hingga Yak-9 mengaplikasikannya untuk dapat menunmbangkan fighter milik Jerman. Namun Amerika Serikat sama sekali tidak terpengaruh dengan kepopuleran kanon 20mm; Pesawat petarung ataupun Pembom menggunakan M2 kaliber 12.7mm sebagai senjata utama ataupun senjata pelindung(Defensive Armament) mereka, dengan pengecualian BTD-1, SB2C, P-400(Varian paling awal dari P-39 Airacobra), P-51(NA-91) dan P-38 Lightning yang memasang kanon dengan nama AN/M2. Untuk meningkatkan daya hancur signifikan pada pesawat musuh, perlahan-lahan pesawat petarung seperti Airacobra dan Bf 109 G5 yang mengusung kanon 30mm keatas. Jika itu masih belum cukup, langkah Uni Soviet pada Yak-9K dengan memasang kanon NS-45 kaliber 45mm bisa jadi contoh paling tepat bilamana ingin merontokkan pesawat pembom, terlepas dari seberapa besar ukuran yang dihadapinya. Sayangnya hal tersebut mempengaruhi performa Yak-9 itu sendiri, dimana hentakan yang dihasilkan pada kanon tersebut dapat merusak pendingin dan membuat pesawat kehilangan kontrol ekstrim jika menembak dengan kecepatan rendah.

Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa
Yak-9K, yang mengusung kanon kaliber 45mm NS-45.

Terlepas dari besarnya kaliber yang diusung masing-masing negara untuk dapat menjatuhkan sebuah pesawat, Jerman yang merupakan pionir teknologi persenjataan saat itu membuat peluru 'Minengeschoss'. Minengeschoss/Mine-Shell sendiri diciptakan sebagai rasa ketidakpuasan atas performa peluru HE biasa yang tidak memiliki daya hancur besar yang diharapkan. Minengeschoss digunakan pada MG FF(designasi MG FF/M) dan MG 151/20 yang diekspor kepada negara tetangganya seperti Jepang yang dipasang pada Ki-61 dan Italia yang dipasang pada Macchi C.205 serta beberapa pesawat fighter Italia lainnya. Dengan hadirnya Minengeschoss, peluru diisi dengan material fragmen berbahan metal dalam jumlah sedikit, namun isian HE(HE Filler) justru diisi dalam jumlah yang amat banyak: 18 gram PETN(Nitropenta) pada minengeschoss dibandingkan dengan kebanyakan peluru pada kanon sekutu yang hanya berisi 6-10 gram. Dan karena berat dari material fragmen yang tergolong ringan pada peluru Minengeschoss itu sendiri, kecepatan jelajah pelurunya akan meningkat disamping jarak efektif yang relatif berkurang, namun mereka tidak mempermasalahkannya karena para pilot menunjukkan kepuasannya dengan dirilisnya Minengeschoss; daya hancurnya yang mampu merontokkan sayap pesawat musuh hanya dengan 2-3 tembakkan saja. Jika itu masih belum cukup, varian Minengeschoss berukuran 30mm memiliki isian HE terbanyak dalam sejarah: 85 gram untuk jenis Ausf.A dan 79 gram Ausf.C apabila dibandingkan dengan HE filler milik GAU-8 Avenger yang dipakai A-10 Warthog(58 gram) atau GSh-30 yang dipakai Su-27(48.5 gram)! Bagi pilot Jerman, dengan hadirnya Minengeschoss maka menjatuhkan pesawat pembom bukanlah hal mustahil: Me 262 yang merupakan pesawat tempur jet pertama dan dioperasikan pada PD II memliki 2 kanon MK 108 untuk varian A-2a dan 4 kanon MK 108 pada varian A-1a dan telah terisi oleh Minengeschoss.

Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa
 Efek yang dihasilkan minengeschoss ketika menyentuh Fuselage sebuah bomber Inggris.

Pertanyaannya sendiri adalah, kenapa Amerika Serikat saat itu tidak mengadopsi kanon 20mm pada setiap pesawat petarung dan lebih memlih M2 .50 sebagi senjata utama mereka? Simpel, kecepatan jelajah dan jarak efektif dari kaliber .50 mereka mampu menembus mesin pada pesawat Jerman, sehingga dapat membuatnya mati dalam sekejap, atau jika pilot membidik penampungan bahan bakar pada sayap pesawat, maka dapat dipastikan sayap pesawat tersebut akan terbakar dalam sekejap jika dipasang M20 APIT(Armor-Piercing Incendiary Tracer) meski ia tidak memliki kemampuan menghancurkan sayap secara total. Dan efektifitas M2 sendiri di teater Pasifik sangat signifikan jika bertemu dengan pesawat petarung A6M 'Zero', karena pada saat itu pesawat Zero tidak memliki besi pelindung terpasang pada penampungan bahan bakar atas nama maneuveribilitas dan tingkat kelincahan sehingga membuatnya menjadi bola api yang siap menghantam dataran. Tidak hanya itu, pesawat petarung seperti P-51D Mustang mampu menjatuhkan Pesawat Jet Jerman Me 262 dengan berbekal 6 buah M2 .50 saja. Sejatinya kaliber .50 selalu digunakan untuk kebutuhan anti-udara ataupun anti-infantri, sehingga ia sangat fleksibel dalam setiap operasi.

Jika pilot masih merasa belum puas dengan jumlah senapan mesin/kanon yang terpasang pada pesawat mereka, Gun Pod bisa menjadi alternatif bagi pilot yang membutuhkan firepower tambahan. Namun pengunaan Gun Pod akan mempengaruhi keseluruhan performa pesawat, sehingga mengurangi tingkat maneuveribilitas dan kecepatan.

Perkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa
DGP-1 Gunpod yang terpasang pada pembom tukik SBD.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa pesawat petarung tidak harus melulu bertempur melawan pesawat lainnya atau menyergap pembom. Ia juga dapat mengisi peran sebagai pembom tukik bila diperlukan; P-47 Thunderbolt merupakan fighter-bomber yang dipersenjatai 8 buah M2 .50 sangat ideal dalam urusan CAS, mengingat ukurannya yang besar dapat memikul roket HVAR(High Velocity Aircraft Rocket) dan bom seberat 1000kg yang mampu meluluhlantakkan habitat yang berada di daratan sehingga ditakuti banyak musuh. Atau Hawker Typhoon yang sejatinya merupakan pesawat petarung murni yang menggantikan Hurricane saat itu, dapat dipasang bom dengan berbagai ukuran dan 8 buah roket RP-8. Berkat kehadiran fighter-bomber, beban pasukan darat akan semakin berkurang dan justru sebaliknya bagi pasukan musuh yang mengalami kerugian fatal akibat serangan fighter-bomber tersebut.


Quote:
Perang Dingin hingga SekarangPerkembangan Main Armament pada Fighter dari masa ke masa

Hitler bunuh diri, Jepang dipaksa menyerah dengan kekuatan bom atom. Itulah tanda dari berakhirnya perang dunia II. Banyak yang mengatakan bahwa kekuatan atom akan dapat membawa perdamaian yang lebih baik dengan menjadikannya sebagai sumber tenaga terbarukan yang dapat membawa manusia menuju peradaban yang lebih manusiawi. Tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar; 2 blok negara, Amerika Serikat dan Uni Soviet mulai gencar membuat bom berkekuatan maha dahsyat guna mengintimidasi atau benar-benar digunakan bilamana terompet perang dunia 3 ditiup. Peninggalan Luftwaffe Jerman pada saat itu telah membuka era baru bagi dunia aviasi, mesin Jet kini dapat diakses oleh seluruh dunia, baik untuk keperluan komersial atau militer sekalipun.

Pada perang dingin berlangsung, tidak afdol jika tidak menambahkan roket di bawah sayap. Namun tidak hanya roket untuk keperluan CAS, setiap negara memiliki roket yang mampu merontokkan Jet Fighter lawan yang disebut dengan Air-to-Air missile(misil udara ke udara). Metode roket ini menggunakan sensor panas(infrared guidance) untuk mendeteksi sumber panas sehingga roket tersebut akan meluncur menuju sumber tersebut. Namun karena kecepatan dan kelincahan jet fighter sangat tinggi, maka pilot harus mampu mengatur jarak antara fighter jet lawan sehingga dapat mengenai sasaran. Pada saat perang Vietnam, jet fighter milik Amerika Serikat dibuat kewalahan ketika Soviet merilis misil SA-2 Dvina, dimana misil tersebut bertanggungjawab atas korban yang dihasilkannya, baik berupa pembom ataupun jet fighter sekalipun. Para pilot akhirnya memutuskan untuk kembali menggunakan Autocannon dan menggunakan metode dogfighting konvensional, namun misil tetap terpasang guna meringankan beban pilot.

Untuk mengantisipasi serangan misil Air-to-Air, maka diciptakanlah Countermeasure Flare yang bertujuan untuk mengecoh misil yang akan menghantam pesawat. Teknik ini terbukti sangat efektif dalam mempertahankan superioirtas udara. Dan semenjak itu, sebuah desain kanon berputar/rotary cannon berkecepatan tinggi mulai dicanangkan meski hal tersebut sudah terjadi sejak Perang Dunia I seperti Fokker-Leimberger yang diklaim mampu memuntahkan peluru dengan kecepatan 7200 RPM. Ketika Amerika Serikat merilis M61 Vulcan yang sangat populer hingga sekarang ini, Uni Soviet tidak mau tertinggal dalam urusan pengembangan senjata untuk aviasi. Ambil contoh GSh-23 yang telah dikembangkan tahun 1965 lalu, dan kemudian dipasang pada Helikopter maupun Pesawat Jet seperti Su-25. Namun apakah jenis cannon yang lain akan dilewatkan begitu saja? Tentu tidak, lihat bagaimana kanon DEFA dan ADEN 30mm dipasang pada pesawat fighter milik Inggris dan Prancis, dimana mereka cukup berkontribusi banyak pada setiap konflik yang terjadi saat itu dan saat ini. Dan di zaman globalisasi yang menuntut perkembangan teknologi ini, setiap pesawat harus mendaptkan pembaruan agar dapat bersaing satu sama lain sehingga mampu menunjukkan tajinya dalam superioritas udara. 

0 comments:

Post a Comment