Agama Shinto dalam Perpolitikan Jepang
Shinto adalah perpaduan praktek foklor Jepang asli, kebiasaan istana, dan pemujaan roh yang bermula dari setidaknya 600 Masehi. Keyakinan tersebut disatukan sebagai "Shinto" pada era Meiji (1868-1912), meskipun Kronik Jepang (日本書紀 Nihon Shoki) mula-mula menyebut istilah tersebut pada abad kedelapan. Shinto tak memiliki doktrin atau pendiri, namun tergambar dari serangkaian mitos penciptaan yang dikisahkan dalam kitab-kitab seperti Kojiki.
Kokugaku ("Pemahaman Nasional") adalah upaya awal untuk mengembangkan penafsiran ideologi dari Shinto, beberapa diantaranya kemudian membentuk dasar ideolofi "Shinto negara". Kokugaku adalah sebuah filsafat pendidikan zaman Edo yang mendorong bentuk "murni" dari Shinto Jepang, melucuti pengaruh-pengaruh asing — terutama Buddha.
Tradisi yang kemudian dikenal dengan kokugaku dimulai pada abad 17 dan 18 sebagai Kogaku ("studi kuno") dan wagaku ("studi Jepang/Japanologi") atau inishie manabi, sebuah istilah yang disukai oleh Motoori Norinaga dan alirannya. Aliran tersebut banyak mengambil dari Shinto dan literatur kuno Jepang, yaitu kembali ke zaman yang dianggap keemasan bagi budaya dan masyarakat Jepang. Mereka meneliti puisi-puisi kuno Jepang, yang mendahului kebangkitan pemerintahan feodal (pada pertengahan abad ke-12) dan berbagai prestasi budaya lainnya untuk menunjukkan suatu 'emosi' Jepang. Salah satu 'emosi' terkenal yang disukai oleh kokugakusha adalah "mono no aware".
Kata 'Kokugaku' diciptakan untuk membedakan aliran ini dari kangaku (studi Cina), yang dipopulerkan oleh Hirata Atsutane pada abad ke-19. Ia diterjemahkan sebagai "studi asli/studi nasional", dan merupakan tanggapan atas teori-teori Neo-Konfusianisme yang sinosentris. Para sarjana kokugaku mengkritik moralitas represif para pemikir Konfusianisme, dan berusaha untuk mengembalikan kebudayaan Jepang ke bentuknya semula sebelum masuknya cara berpikir dan perilaku asing.
Pada akhirnya para pemikir kokugaku berhasil memperoleh kekuasaan dan pengaruh di masyarakat Jepang. Di kemudian hari pemikiran mereka berpengaruh pada filsafat dan gerakan Sonnō jōi. Filosofi inilah yang bersama-sama pengaruh lainnya pada akhirnya menyebabkan keruntuhan Tokugawa pada tahun 1868 dan selanjutnya menyebabkan Restorasi Meiji.
Era Meiji
Potret Atsutane Hirata:
Pada era Meiji, cendekiawan Hirata Atsutane mengadvokasikan pengembalian "Pemahaman Nasional" sebagai cara untuk menyingkirkan pengaruh agama Buddha dan menghimpun bentuk nativis dari Shinto. Dari 1870 sampai 1884, Atsutane, bersama dengan para pendeta dan cendekiawan, memimpin "Kampanye Promulgasi Besar" yang megadvokasikan perpaduan nasionalisme dan Shinto melalui pemujaan Kaisar. Tak ada tradisi sebelumnya dari penyikapan absolut terhadap Kaisar dalam Shinto. Inisiatif tersebut gagal untuk meraih dukungan masyarakat, dan para intelektual mencemooh gagasan tersebut. Pengarang Fukuzawa Yukichi mencemooh kampanye tersebut pada waktu itu sebagai "gerakan insignifikan."
Meskipun gagal, penafsiran nativis Atsutane terhadap Shinto mendorong cendekiawan pada masa berikutnya, Okuni Takamasa. Takamasa mengadvokasikan kontrol dan standarisasi praktek Shinto melalui "Departemen Keilahian" pemerintah. Para penggiat mendorong para pemimpin untuk mengkonsolidasikan keberagaman, melokalisasikan praktek Shinto dalam praktek nasional terstandarisasi, yang mereka anggap akan menyatukan Jepang dalam dukungan Kaisar.
Negara menanggapinya dengan mendirikan Departemen Keilahian ("jingikan") pada 1869. Birokrasi pemerintahan tersebut mendorong pemisahan roh-roh Kami dari unsur-unsur Buddha, dan mencantumkan garis ilahi Kaisar dari Dewi Matahari, Amaterasu. Tindakan tersebut mendorong balasan terhadap apa yang telah menjadi perpaduan praktek-praktek Buddha dan Shinto di Jepang. Departemen tersebut mengalami kegagalan, dan diturunkan menjadi Kementerian. Pada 1872, kebijakan untuk kuil-kuil dan agama lain diambil alih oleh Kementerian Pendidikan. Kementerian tersebut berniat untuk menstandarisasi ritual-ritual di seluruh kuil, dan mengalami sedikit kesuksesan, namun berbanding jauh dari tujuan aslinya.
Dalam seruan untuk pengembalian Departemen Keilahian pada 1874, sekelompok pendeta Shinto mengeluarkan pernyatana kolektif yang menyerukan bahwa Shinto adalah "Pengajaran Nasional." Pernyataan tersebut mengadvokasikan bahwa pemahaman Shinto berbeda dari agama. Mereka berpendapat, Shinto adalah penyajian tradisi wangsa Kekaisaran dan sehingga mewakili bentuk termurni dari ritus-ritus kenegaraan Jepang. Para cendekiawan tersebut menulis,
Pengajaran Nasional mengajarkan kode-kode pemerintah nasional kepada masyarakat tanpa kesalahan. Jepang disebut tanah ilahi karena ini diatur oleh para keturunan dewa surgawi, yang mengkonsolidasikan karya para dewa. Cara konsolidasi semacam itu dan aturan oleh para keturunan ilahi disebut Shinto.
— Ditandatangani oleh sejumlah pemimpin Shinto, 1874
Para penandatangan pernyataan tersebut meliputi para pemimpin, praktisioner dan cendekiawan Shinto seperti Tanaka Yoritsune, kepala pendeta kuil Ise; Motoori Toyokai, kepala kuil Kanda; dan Hirayama Seisai, kepala kuil tutelar besar di Tokyo. Meskipun demikian, konsep Shinto sebagai "Pengajaran Nasional" gagal meraih penerimaan paling populer dari Shinto.
Biro Urusan Shinto berniat untuk menstandarisasi pelatihan pendeta pada 1875. Ini membentuk sebuah divisi antara para aktor negara dan pendeta lokal, yang tak sepakat atas isi dari pelatihan terstandarisasi. Debat timbul terkait Kami atau roh yang dimasukkan dalam ritual-ritual—terutama, apakah kami negara harus dilibatkan. Debat tersebut menandai kebangkitan sekte Ise, yang membuka keperadaan negara yang lebih kuat dalam Shinto, dan sekte Izumo, yang tidak demikian. Sekte Izumo mengadvokasikan pengakuan dewa Ōkuninushi disetarakan dengan Amaterasu, yang memiliki konsekuensi teologi untuk pemujaan kaisar. Perdebatan tersebut, "debat perkuilan," menimbulkan ancaman ideologi serius pada pemerintahan era Meiji.
Hasil dari debat perkuilan adalah bahwa Kementerian Dalam Negeri berkonsentrasi pada pembedaan "agama" dan "doktrin", menyatakan bahwa "ritual-ritual Shinto (shinsai) dipegang oleh negara sementara doktrin-doktrin agama (kyōhō) dipegang oleh para individual dan keluarga." Disamping pemikiran tersebut, ritual-ritual Shinto menjadi tanggung jawab sipil yang seluruh subyek Jepang ditarik untuk ikut serta, sementara Shinto "relijius" menjadi materi kepercayaan personal dan subyek kebebasan beragama. Perdebatan tersebut menandai kegagalan awal dalam perancangan praktek Shinto nasional yang bersatu, dan berujung pada penurunan tajam dalam pemberian negara kepada kuil-kuil Shinto dan pelantikan para pendeta Shinto dalam jabatan-jabatan pemerintahan. Kementerian Urusan Dalam Negeri memegang tanggung jawab untuk kuil-kuil pada 1877, dan mulai memisahkan praktek-praktek keagamaan Shinto dari indoktrinasi. Pada 1887, Kementerian menghentikan dukungan finansial untuk sebagian besar kuil, selain dari kuil-kuil Kekaisaran terpilih yang terikat pada fungsi-fungsi negara.
Implementasi ideologi Shinto
Sebuah gerbang torii di kuil Yasukuni:
Melalui inisiatif pendidikan dan hubungan keuangan khusus untuk kuil-kuil baru, Kekaisaran Jepang mendorong kemajuan praktek Shinto sebagai tradisi moral patriotik. Dari awal era Meiji, asal usul keilahian dari Kaisar adalah posisi resmi dari negara tersebut, dan diajarkan di ruang-ruang kelas tak sebagai mitos, namun sebagai fakta sejarah. Para pendeta Shinto diundang untuk mengajar di sekolah-sekolah negeri, dan menanamkan ajaran tersebut, bersama dengan penghormatan untuk Kaisar dan kunjungan kelas dasar ke kuil-kuil. Para praktisioner Shinto negara juga mendorong aspek ritual sebagai praktek sipil nasional yang bukanlah panggilan eksplisit terhadap iman untuk berpartisipasi.
Dalam esensi Barat-nya, praktek "keagamaan" belum diketahui di Jepang sebelum restorasi Meiji. "Agama" diartikan menjadi serangkaian kepercayaan tentang iman dan kehidupan setelah kematian, selain juga sangat diasosiasikan dengan kekuatan Barat. Restorasi Meiji menjadikan kembali Kaisar, seorang figur "keagamaan", sebagai kepala negara Jepang.
Kebebasan beragama awalnya merupakan tanggapan untuk tuntutan-tuntutan pemerintah Barat. Jepang mengijinkan para misionaris Kristen di bawah tekanan dari pemerintah-pemerintah Barat, meskipun memandang Kristen sebagai ancaman asing. Negara tersebut berniat untuk mendirikan penafsiran suprarelijius dari Shinto yang menginkorporasikan dan mempromosikan garis keilahian Kaisar. Dengan menjadikan Shinto sebagai bentuk unik dari praktek budaya "suprarelijius", ini akan terhindari dari hukum-hukum Meiji yang melindungi kebebasan beragama.
Dengan menyeimbangkan pemahaman "suprarelijius" dari Shinto sebagai sumber keilahian untuk Jepang dan Kaisar, negara dapat mengadakan partisipasi dalam ritual-ritual untuk subyek-subyek Jepang sesambil mengklaim penghormatan mereka terhadap kebebasan beragama. Sehingga, negara dapat menempatkan tempatnya dalam masyarakat sipil tidak dalam cara keagamaan. Ini meliputi mengajarkan pendirian ideologinya terhadap Shinto di sekolah-sekolah negeri, termasuk resitasi seremonial kepada Kaisar dan ritus-ritus yang melibatkan potret-potret Kaisar.
Pada 1926, pemerintah membentuk Shūkyō Seido Chōsakai (宗教制度調査会?, Komite Penyelidikan Sistem Keagamaan) dan kemudian Jinja Seido Chōsakai (神社制度調査会?, Komite Penyelidikan Sistem Kuil), yang makin mendirikan ideologi "Shintogaku" suprarelijius.
Untuk melindungi sifat non-relijius tersebut, praktek-praktek yang tak sejalan dengan fungsi-fungsi negara makin ditekan. Ini meliputi kotbah di kuil dan mengadakan pemakaman. Pemakaian gerbang torii sinbolik dibatasi pada kuil-kuil yang didukung negara. Saat ritual-ritual keagamaan tanpa fungsi-fungsi negara dibatasi, para praktisioner mengadakannya secara diam-diam dan kemudian ditangkap. Gerakan-gerakan Shinto alternatif, seperti Omotokyo, berakhir dengan penahanan pada pendetanya pada 1921. Status pemisahan kuil-kuil "Shinto negara" berubah pada 1931; dari masa itu, kuil-kuil didorong untuk berfokus pada keilahian Kaisar Hirohito atau para pendeta kuil dapat menghadapi penindasan.
Beberapa intelektual pada masa itu, seperti Yanagita Kunio, menjadi kritikus argumen Kekaisaran Jepang pada masa itu yang menyatakan bahwa Shinto bukanlah agama. Pada 1936, Badan Propaganda Gereja Katolik sepakat dengan definisi negara tersebut, dan mengumumkan bahwa kunjungan ke kuil-kuil "murni hanyalah bersifat sipil".
Kontrol negara terhadap kuil-kuil
Uang kertas 50 sen Kekaisaran Jepang dengan Kuil Yasukuni:
Meskipun peminatan ideologi pemerintah terhadap Shinto sangat besar, terdapat perdebatan tentang bagaimana kontrol pemerintah atas kuil-kuil lokal, dan seberapa lamanya. Keuangan kuil tidaklah murni dukungan negara. Para pendeta Shinto, bahkan saat didukung negara, berusaha menghindari kotbah tentang materi-materi ideologi sampai pendirian badan Kuil Masa Perang pada 1940.
Pada 1906, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk membatasi dukungan finansialnya menjadi satu kuil per desa. Kuil-kuil yang didukung negara mengikuti paduan spesifik tersebut dan mendorong kuil-kuil yang tak didanai untuk menjadi mitra dari kuil yang lebih besar. Akibat inisiatif untuk mengkonsolidasikan keyakinan Shinto dalam praktek yang disepakati negara, 200,000 kuil di Jepang berkurang menjadi 120,000 pada 1914, mengkonsolidasikan kontrol terhadap kuil-kuil selaras dengan penafsiran negara terhadap Shinto.
Pada 1910, para angkatan sekolah-sekolah Shinto milik negara, seperti Universitas Kokugakuin dan Universitas Kougakkan, secara implisit diijinkan untuk menjadi guru sekolah negeri. Jumlah pendeta yang terlatih lebih baik yang lebih besar dengan pendidikan di sekolah yang didukung negara, dipadukan dengan kebangkitan jiwa patriotik, diyakini menanamkan sebuah lingkungan dimana akar-akar rumput penyembahan Kaisar menjadi memungkinkan, bahkan tanpa dukungan finansial untuk kuil-kuil lokal.
Pada 1913, aturan resmi untuk pendeta kuil — Kankokuheisha ika jinja shinshoku hömu kisoku (官国幣社以下神社神 職奉務規則) — secara spesifik menyerukan "tugas untuk mengamati perayaan yang sejalan dengan ritual negara." Beberapa kuil mengadopsi praktek negara Shinto secara independen dari dukungan keuangan dari pemerintah. Beberapa Asosiasi Kuil mengadvokasikan dukungan terhadap pengarahan "Shinto negara" secara independen, yang meliputi Organisasi Kepengurusan Kuil, Organisasi Kolaborasi Pendeta Kuil, dan Organisasi Pelatihan Pendeta Kuil.
Pada 1940, negara membuat badan kuil masa perang, yang memperluas kontrol atas kuil-kuil negara dan meluaskan peran negara. Sampai masa tersebut, para pendeta individual telah dibatasi dalam peran-peran politik mereka, ditempatkan pada ritual tertentu dan kuil tak dijaga, dan jarang mendorong pemujaan Kaisar, atau aspek ideologi negara lain, secara independen. Tak ada pendeta kuil, atau anggota badan Kuil Masa Perang, yang sebelumnya masuk jawatan negeri, yang beberapa cendekiawan seperti Sakamoto nyatakan adalah bukti pemakaian Shinto dari negara menuju akhirannya sendiri, alih-alih upaya pendeta Shinto untuk meraih kekuasaan politik.
Di wilayah-wilayah jajahan
Spoiler for kekaisaran Jepang pada puncak penjajahannya, pada 1942:
Saat Jepang meluaskan wilayah jajahannya, kuil-kuil dibangun untuk keperluan mentuanrumahi kami Jepang di wilayah-wilayah yang diduduki. Praktek tersebut dimulai dengan Kuil Naminoue di Okinawa pada 1890. Kuil-kuil besar yang dibangun di belahan Asia meliputi Kuil Karafuto di Sakhalin pada 1910 dan Kuil Chosen, Korea pada 1919; kuil-kuil tersebut dirancang di bawah Kuil Ise dalam kepentingan nasional. Kuil-kuil lain meliputi Kuil Shonan di Singapura, Kuil San'a di Pulau Hainan (Tiongkok), Kuil Okinawa di Shuri, Okinawa, Kuil Akatsuki di Saigon, dan Kuil Hokoku di Jawa.
Jepang membangun setidaknya 400 kuil di Korea pada masa pendudukan, dan penyembahan diwajibkan untuk orang-orang Korea. Sebuah pernytaan dari kepala Jawatan Dalam Negeri di Korea menuliskan soal kuil-kuil tersebut dalam sebuah pengarahan: "...mereka memiliki keberadaan yang secara penuh berbeda dari agama, dan pemujaan di kuil-kuil adalah tindakan patriotisme dan loyalitas, nilai-nilai moral dasar dari negara kami."
Setelah perang
Kaisar Hirohito dan Jenderal MacArthur, di pertemuan pertama mereka di Kedubes AS, Tokyo, 27 September 1945:
Pada 1 Januari 1946, Kaisar Shōwa mengeluarkan sebuah pernyataan, yang terkadang disebut sebagai Deklarasi Kemanusiaan, dimana ia mengutip Lima Sumpah Piagam Kaisar Meiji, mengumumkan bahwa ia bukanlah Akitsumikami (dewa dalam wujud manusia) dan bahwa Jepang tak dibangun pada mitos-mitos. Markas Besar Utama AS dengan cepat mendeginisikan dan melarang praktik yang diidentifikasikan sebagain "Shinto Negara", namun karena AS memandang kebebasan beragama sebagai aspek krusial dari Jepang pada masa setelah perang, mereka tak memberikan larangan bulat terhadap upacara-upacara keagamaan Jepang yang melibatkan Kaisar. Jenderal Douglas MacArthur dan Departemen Negara berniat untuk menghimpun otoritas Kaisar untuk menghindari "penarikan berkelanjutan" di kalangan rakyat Jepang pada masa pendudukan dan rekonstruksi Jepang.
Pengarahan Shinto menyatakan bahwa aturan tersebut memberikan "kebebasan rakyat Jepang dari campur tangan langsung atau tak langsung untuk percaya atau memegang kepercayaan dalam sebuah agama atau pemujaan yang secara resmi dirancang oleh negara" dan "menghindari kebangkitan perversi teori dan keyakinan Shinto dalam propaganda militeristik dan ultranasionalistik Shinto".
Saat ini, meskipun Wangsa Kekaisaran masih mengadakan ritual-ritual Shinto sebagai "upacara-upacara pribadi", partisipasi dan keyakinan tak lagi diwajibkan bagi para warga negara Jepang, maupun didanai oleh negara.
Aspek penegakan "suprarelijius" pemerintah lain dari praktek-praktek Shinto, seperti kunjungan sekolah ke kuil-kuil Shinto, telah dilarang. Beberapa inovasi dari Shinto era Meiji hadir dalam Shinto kontemporer, seperti keyakinan di kalangan pendeta bahwa Shinto adalah praktek kebudayaan non-relijius yang mendorong persatuan nasional.
Kontroversi timbul pada pemakaman dan perkimpoian para anggota keluarga Kekaisaran Jepang, saat mereka menghadirkan penggabungan Shinto dan fungsi negara. Perbendaharaan Jepang tak membayar acara-acara tersebut, yang menyajikan kekhasan antara fungsi negara dan kuil.
Asosiasi Kuil Shinto secara politik aktif dalam mendorong dukungan untuk Kaisar, termasuk kampanye-kampanye seperti menyebarkan amulet-amulet dari Kuil Ise. Kuil Ise adalah salah satu kuil paling penting dalam Shinto negara, melambangkan keberadaan Amaterasu dan hubungan dengan Kaisar. Sebaliknya, Kuil Yasukuni era Meiji kemudian menjadi target kontroversi Shinto negara, kebanyakan karena membiarakan para penjahat perang Jepang.
Para politikus konservatif dan kelompok kepentingan nasionalis masih mengadvokasikan pengembalian Kaisar ke posisi keagamaan dan politik utama, yang mereka yakini akan merestorasi esensi nasional dari persatuan.
Sumber :
0 comments:
Post a Comment