Kisah Pemeriksaan Seorang Pedagang Cina Mengenai Orang Batak Di Sumatera Utara
Quote:
Berita mengenai wilayah Provinsi Sumatra Utara sekarang, yang disampaikan oleh seorang Tionghoa kepada VOC di Batavia pada tahun 1701, merupakan salah satu laporan terawal oleh seorang yang jelas pernah tinggal di pedalaman wilayah tersebut. Sejak abad ke-2 M, lewat tulisan Ptolemaeus,dan selama satu milenium, Sumatra bagian utara dianggap sebagai daerah berbahaya karena diduga dihuni oleh sejumlah masyarakat kanibal. Yang diketahui juga adalah bahwa wilayah itu kaya dengan kamper, khususnya yang diekspor sejak abad ke-5 atau ke-6 M, melalui sebuah tempat yang bernama Barus. Pada awal abad ke 13 M, Zhao Rugua mencatat sebuah negeri bernama Pa-t’a, di bawah kuasa Sriwijaya. Kaitan antara Pa-t’a dan Bata sudah diterima umum. Selain itu, Sejarah resmi dinasti Yuan (Yuanshi) mencatat kedatangan utusan dari Ma-da di istana maharaja Tiongkok pada tahun 1285. Sebenarnya suku kata ma diucapkan ba dalam dialek yang digunakan di bagian selatan Fujian, sehingga nama tempat ini mungkin dapat dikaitkan dengan Bata. Tetapi kedua sumber Tionghoa ini tidak mengaitkan nama negeri Bata dengan sebuah masyarakat kanibal. Gambaran tentang populasi semakin jelas dengan persinggahan Marco Polo di bagian utara Sumatra tahun 1291. Ia adalah orang pertama yang mencatat kehadiran Islam dan juga pertentangan antara kaum minoritas Islam yang bermukim di kota-kota pesisir dan masyarakat mayoritas penganut paganisme, yang biadab dan sebagian kanibal, yang tinggal di pegunungan dan belum dikenal dunia luar.
Pada abad berikutnya, terdapat semakin banyak catatan dari orang Barat atau Tionghoa. Data mengenai penduduk masih tetap sama, dengan tambahan informasi di sejumlah sumber mengenai adanya orang-orang bertato. Nicolo de’ Conti tinggal selama setahun di kota Sciamuthera (Samudra) tahun 1430 dan menjadi orang pertama yang menyebut nama tempat “Batech” yang dikaittl dan gemar berperang. Nama tempat ini ditemukan kembali pada awal abad ke-16 melalui Tomé Pires yang menyebut “seorang raja dari Bata” dalam laporannya Suma Oriental (1512-1515) yang terkenal. Anehnya, sumber- sumber Tionghoa zaman itu tidak menyebutkan adanya populasi kanibal dan hanya membedakan antara masyarakat beradat yang sama dengan masyarakat di Jawa dan di Melaka, dan populasi kasar yang tidak selalu orang gunung. Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat aktivitas dengan pedagang asing di Pesisir Timur Laut, yaitu Bata (di selatan Pasai) dengan barang perdagangan utama rotan, Aru yang memiliki cukup banyak kamper dan banyak kemenyan, serta Arcat. Nama suku “Bata” muncul berkat Fernão Mendes Pinto, (1509-1583) mungkin orang Eropa pertama yang pernah pergi
ke pedalaman utara Sumatra dan meninggalkan jejak tertulis. Dalam karyanya berjudul Peregrinação, penjelajah Portugis ini di antaranya mencatat kunjungan duta “raja orang Bata” ke kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria, tahun 1539. Mendes Pinto antara lain melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibu kotanya bernama Panaju, tetapi sebagian dari tulisannya mengenai wilayah utara Sumatra kurang masuk akal. Mendes Pinto juga yang pertama mencatat adanya masyarakat “Aaru” di Pesisir Timur Laut Sumatra dan mengunjungi rajanya yang Muslim.
Sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa (1480-1521) sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme. Nama suku “Batang” muncul dalam sumber-sumber Arab lima belas tahun sesudah kisah Pinto. Penyair dan sastrawan Turki Sidi ‘Ali Celebi tahun 1554 menyebut tentang pemakan manusia yang bermukim di bagian barat Pulau Sumatra. Tahun 1563, Joao de Barros menggunakan kembali nama suku “Batas” dan menyebutkan bahwa masyarakat kanibal “yang paling liar dan paling gemar berperang sedunia” ini menghuni bagian pulau yang berhadapan dengan Melaka. Namun, sudut pandangnya mengenai geografi suku-suku hanya mengulang pandangan yang sudah berumur hampir tiga abad, yang menghadapkan kaum “Moros” (orang Islam), yakni orang asing yang datang untuk berdagang dan bermukim di daerah pantai, dengan kaum “Gentios” (penganut paganisme), penduduk asli pulaunya yang berlindung di daerah pedalaman. Di antara peristiwa-peristiwa penting di daerah tersebut yang dapat kita yakini, dapat dikemukakan direbutnya pusat perdagangan Deli oleh Aceh tahun 1612 dan kemudian Aru tahun berikutnya. Deli, yang disebut Dillij, dalam dokumen yang dipresentasikan di sini,
tidak lain daripada tempat yang akan menjadi pusat kesultanan Deli di Sumatra Timur Laut. Nama tempat ini masih digunakan sampai sekarang di wilayah Medan dengan Deli Tua dan Labuhan Deli. Baru setelah direbutnya Melaka oleh Belanda tahun 1641, kita mendapatkan kembali informasi tentang hubungan perdagangan pantai timur Sumatra Utara dengan dunia luar dan khususnya hubungan erat tersebut khususnya terkait dengan sejumlah pelabuhan di pesisir barat Semenanjung Melayu, terutama Melaka.
Maka sumber daghregister menyebutkan bahwa bulan Juni 1642, Arent Pater pergi ke Deli dan kembali dengan membawa delapan budak dan 270 gantang beras. Saat itu, Deli dianggap kawasan berbahaya karena sungai-sungainya sempit dan karena yang dihuni “orang-orang Batak” perampas (roofgierige Battaers). Selain itu, diketahui juga bahwa tahun 1644 sejumlah perahu berangkat dari Aceh menuju Perak dan singgah di Deli dengan muatan kain atau pakaian (cleden). Seseorang bernama Jooris Vermeeren yang singgah di Deli bulan Mei 1644 melaporkan bahwa tempat itu subur dan setiap tahunnya dapat memasok 300 sampai 400 last beras, delapan sampai sepuluh bahar lilin lebah, budak, kuda, serta sebahar kayu gaharu (agerhouwt). Ia juga membenarkan bahwa sebagian besar kain-kain berasal dari Aceh. Pada akhir tahun 1645, hubungan antara Deli dan Melaka tampak berjalan baik terbukti dengan panglima Deli mengirimkan seekor kuda sebagai hadiah kepada gubernur. Tahun 1648, sumber-sumber Belanda melaporkan bahwa sejumlah perahu meninggalkan Batavia menuju Deli dengan muatan kain atau pakaian dan garam. Tahun 1653, sumber Belanda juga mencatat kedatangan sebuah perahu bermuatan 40 lasten beras dari Deli. Tahun 1660-an, Schouten menyebut kota Dely Aru memiliki peran yang tidak begitu penting dalam perdagangan. Meskipun demikian, kain atau pakaian terus datang dari Aceh dan Batavia. Tahun 1670-an, Deli mengirim ke Batavia ikan (atau telur ikan) asin (gesoute vischkuyten), lilin lebah dan kacang, sebaliknya Batavia mengirim garam dan keramik. Tahun 1682, sebuah perahu berangkat dari Batavia menuju Deli melalui Melaka, dengan muatan antara lain besi bekas (oud ijser), tembaga, keramik, benang emas Tiongkok (chinees goutdraat) dan tembakau (tubacq) Tiongkok.
Jadi nama Deli tidak asing bagi pihak VOC ketika menerima laporan daripada orang Tionghoa itu pada tahun 1701. Dia juga menyebut sebuah tempat yang bernama Pande (atau Panda) di sekitar Deli. Bagi kami, Pande berbunyi seperti Panai yang merupakan nama muara Sungai Barumun dan Sungai Bilah sampai sekarang, sekitar 200 kilometer di tenggara Medan, di Selat Melaka. Jelas bahwa dalam laporan ini, Pande terletak di pantai timur atau di tepi sungai besar yang bermuara di pantai timur. Pada waktu itu, Pande mungkin merupakan pelabuhan utama Aru, karena pada sebuah peta tahun 1686, Aru digambarkan terletak di muara Sungai Barumun dan kelihatan seperti tempat yang lebih penting dibandingkan dengan Deli. Selain itu, lokasi ini masuk akal karena diceritakan juga bahwa orang Tionghoa tersebut mondar mandir di antara Pande dan kawasan pegunungan Angkola (Ancools gebergte). Sebenarnya daerah Angkol ini terletak di hulu Sungai Bilah dan Barumun yang disebut tadi. Tambahan lagi, juga disebut bahwa tempat tinggal orang Tionghoa itu di Angkola, terletak sejauh sekitar 10 hari dari Barus di pantai barat. Informasi ini juga cocok dengan satu tempat tinggal di pegunungan Angkola. Walaupun ringkas, gambaran orang Tionghoa mengenai keadaan ekonomi, budaya, termasuk kanibalisme, di pedalaman juga sangat menarik, karena merupakan gambaran sedemikian yang paling awal. Perlu dicatat juga bahwa, menurut laporan ini, tampaknya di pantai barat pada waktu itu, belum ada orang Tionghoa yang tinggal di Barus, sedangkan sudah ada komunitas Tionghoa di Padang. Baru 70 tahun sesudah laporan orang Tionghoa itu, terdapat satu lagi kisah perjalanan di pedalaman,yaitu masuknya Charles Miller ke pedalaman Tapanuli tahun 1772. Miller terkesan oleh keberagaman bahasa penduduk di pedalaman yang meskipun demikian memiliki abjad yang sama, dan mencatat tentang sebuah masyarakat kanibal bernama “Battas” yang berbeda dari semua penduduk lain di Sumatra dari segi bahasa, kebiasaan dan adat. Sepuluh tahun kemudian diterbitkan sintesis-sintesis pertama tentang Sumatra, yaitu sebuah artikel oleh Radermacher (1781) dan karya William Marsden yang terkenal, History of Sumatra (1783).
Pada abad berikutnya, terdapat semakin banyak catatan dari orang Barat atau Tionghoa. Data mengenai penduduk masih tetap sama, dengan tambahan informasi di sejumlah sumber mengenai adanya orang-orang bertato. Nicolo de’ Conti tinggal selama setahun di kota Sciamuthera (Samudra) tahun 1430 dan menjadi orang pertama yang menyebut nama tempat “Batech” yang dikaittl dan gemar berperang. Nama tempat ini ditemukan kembali pada awal abad ke-16 melalui Tomé Pires yang menyebut “seorang raja dari Bata” dalam laporannya Suma Oriental (1512-1515) yang terkenal. Anehnya, sumber- sumber Tionghoa zaman itu tidak menyebutkan adanya populasi kanibal dan hanya membedakan antara masyarakat beradat yang sama dengan masyarakat di Jawa dan di Melaka, dan populasi kasar yang tidak selalu orang gunung. Pires mencatat tiga tempat yang menjadi pusat aktivitas dengan pedagang asing di Pesisir Timur Laut, yaitu Bata (di selatan Pasai) dengan barang perdagangan utama rotan, Aru yang memiliki cukup banyak kamper dan banyak kemenyan, serta Arcat. Nama suku “Bata” muncul berkat Fernão Mendes Pinto, (1509-1583) mungkin orang Eropa pertama yang pernah pergi
ke pedalaman utara Sumatra dan meninggalkan jejak tertulis. Dalam karyanya berjudul Peregrinação, penjelajah Portugis ini di antaranya mencatat kunjungan duta “raja orang Bata” ke kapten Melaka yang baru, Pedro de Faria, tahun 1539. Mendes Pinto antara lain melaporkan bahwa raja ini penganut paganisme dan ibu kotanya bernama Panaju, tetapi sebagian dari tulisannya mengenai wilayah utara Sumatra kurang masuk akal. Mendes Pinto juga yang pertama mencatat adanya masyarakat “Aaru” di Pesisir Timur Laut Sumatra dan mengunjungi rajanya yang Muslim.
Sekitar dua puluh tahun sebelumnya, Duarte Barbosa (1480-1521) sudah mencatat tentang kerajaan Aru yang ketika itu dikuasai oleh orang-orang kanibal penganut paganisme. Nama suku “Batang” muncul dalam sumber-sumber Arab lima belas tahun sesudah kisah Pinto. Penyair dan sastrawan Turki Sidi ‘Ali Celebi tahun 1554 menyebut tentang pemakan manusia yang bermukim di bagian barat Pulau Sumatra. Tahun 1563, Joao de Barros menggunakan kembali nama suku “Batas” dan menyebutkan bahwa masyarakat kanibal “yang paling liar dan paling gemar berperang sedunia” ini menghuni bagian pulau yang berhadapan dengan Melaka. Namun, sudut pandangnya mengenai geografi suku-suku hanya mengulang pandangan yang sudah berumur hampir tiga abad, yang menghadapkan kaum “Moros” (orang Islam), yakni orang asing yang datang untuk berdagang dan bermukim di daerah pantai, dengan kaum “Gentios” (penganut paganisme), penduduk asli pulaunya yang berlindung di daerah pedalaman. Di antara peristiwa-peristiwa penting di daerah tersebut yang dapat kita yakini, dapat dikemukakan direbutnya pusat perdagangan Deli oleh Aceh tahun 1612 dan kemudian Aru tahun berikutnya. Deli, yang disebut Dillij, dalam dokumen yang dipresentasikan di sini,
tidak lain daripada tempat yang akan menjadi pusat kesultanan Deli di Sumatra Timur Laut. Nama tempat ini masih digunakan sampai sekarang di wilayah Medan dengan Deli Tua dan Labuhan Deli. Baru setelah direbutnya Melaka oleh Belanda tahun 1641, kita mendapatkan kembali informasi tentang hubungan perdagangan pantai timur Sumatra Utara dengan dunia luar dan khususnya hubungan erat tersebut khususnya terkait dengan sejumlah pelabuhan di pesisir barat Semenanjung Melayu, terutama Melaka.
Gambar Dokumen Folio 1
Maka sumber daghregister menyebutkan bahwa bulan Juni 1642, Arent Pater pergi ke Deli dan kembali dengan membawa delapan budak dan 270 gantang beras. Saat itu, Deli dianggap kawasan berbahaya karena sungai-sungainya sempit dan karena yang dihuni “orang-orang Batak” perampas (roofgierige Battaers). Selain itu, diketahui juga bahwa tahun 1644 sejumlah perahu berangkat dari Aceh menuju Perak dan singgah di Deli dengan muatan kain atau pakaian (cleden). Seseorang bernama Jooris Vermeeren yang singgah di Deli bulan Mei 1644 melaporkan bahwa tempat itu subur dan setiap tahunnya dapat memasok 300 sampai 400 last beras, delapan sampai sepuluh bahar lilin lebah, budak, kuda, serta sebahar kayu gaharu (agerhouwt). Ia juga membenarkan bahwa sebagian besar kain-kain berasal dari Aceh. Pada akhir tahun 1645, hubungan antara Deli dan Melaka tampak berjalan baik terbukti dengan panglima Deli mengirimkan seekor kuda sebagai hadiah kepada gubernur. Tahun 1648, sumber-sumber Belanda melaporkan bahwa sejumlah perahu meninggalkan Batavia menuju Deli dengan muatan kain atau pakaian dan garam. Tahun 1653, sumber Belanda juga mencatat kedatangan sebuah perahu bermuatan 40 lasten beras dari Deli. Tahun 1660-an, Schouten menyebut kota Dely Aru memiliki peran yang tidak begitu penting dalam perdagangan. Meskipun demikian, kain atau pakaian terus datang dari Aceh dan Batavia. Tahun 1670-an, Deli mengirim ke Batavia ikan (atau telur ikan) asin (gesoute vischkuyten), lilin lebah dan kacang, sebaliknya Batavia mengirim garam dan keramik. Tahun 1682, sebuah perahu berangkat dari Batavia menuju Deli melalui Melaka, dengan muatan antara lain besi bekas (oud ijser), tembaga, keramik, benang emas Tiongkok (chinees goutdraat) dan tembakau (tubacq) Tiongkok.
Gambar Dokumen Folio 2
Jadi nama Deli tidak asing bagi pihak VOC ketika menerima laporan daripada orang Tionghoa itu pada tahun 1701. Dia juga menyebut sebuah tempat yang bernama Pande (atau Panda) di sekitar Deli. Bagi kami, Pande berbunyi seperti Panai yang merupakan nama muara Sungai Barumun dan Sungai Bilah sampai sekarang, sekitar 200 kilometer di tenggara Medan, di Selat Melaka. Jelas bahwa dalam laporan ini, Pande terletak di pantai timur atau di tepi sungai besar yang bermuara di pantai timur. Pada waktu itu, Pande mungkin merupakan pelabuhan utama Aru, karena pada sebuah peta tahun 1686, Aru digambarkan terletak di muara Sungai Barumun dan kelihatan seperti tempat yang lebih penting dibandingkan dengan Deli. Selain itu, lokasi ini masuk akal karena diceritakan juga bahwa orang Tionghoa tersebut mondar mandir di antara Pande dan kawasan pegunungan Angkola (Ancools gebergte). Sebenarnya daerah Angkol ini terletak di hulu Sungai Bilah dan Barumun yang disebut tadi. Tambahan lagi, juga disebut bahwa tempat tinggal orang Tionghoa itu di Angkola, terletak sejauh sekitar 10 hari dari Barus di pantai barat. Informasi ini juga cocok dengan satu tempat tinggal di pegunungan Angkola. Walaupun ringkas, gambaran orang Tionghoa mengenai keadaan ekonomi, budaya, termasuk kanibalisme, di pedalaman juga sangat menarik, karena merupakan gambaran sedemikian yang paling awal. Perlu dicatat juga bahwa, menurut laporan ini, tampaknya di pantai barat pada waktu itu, belum ada orang Tionghoa yang tinggal di Barus, sedangkan sudah ada komunitas Tionghoa di Padang. Baru 70 tahun sesudah laporan orang Tionghoa itu, terdapat satu lagi kisah perjalanan di pedalaman,yaitu masuknya Charles Miller ke pedalaman Tapanuli tahun 1772. Miller terkesan oleh keberagaman bahasa penduduk di pedalaman yang meskipun demikian memiliki abjad yang sama, dan mencatat tentang sebuah masyarakat kanibal bernama “Battas” yang berbeda dari semua penduduk lain di Sumatra dari segi bahasa, kebiasaan dan adat. Sepuluh tahun kemudian diterbitkan sintesis-sintesis pertama tentang Sumatra, yaitu sebuah artikel oleh Radermacher (1781) dan karya William Marsden yang terkenal, History of Sumatra (1783).
Referensi :
• Guillot, Claude (ed.), Lobu Tua. Sejarah Awal Barus.
Daniel Perret (penerjemah), Naniek H. Wibisono dan Ade Pristie Wahyo (peny. terj.).
Jakarta: EFEO/Association Archipel/Pusat Penelitian Arkeologi/Yayasan Obor Indonesia, 2002.
• Guillot, Claude; Perret D., Surachman H. et al., Histoire de Barus. Le site de Lobu Tua. II: Etude archéologique et Documents.
Paris: Archipel, Cahier d’Archipel 30, 2003. Edisi dalam bahasa Indonesia: Barus Seribu Tahun Yang Lalu.
Jakarta, EFEO/Forum Jakarta-Paris/KPG/Puslitbang Arkenas, 2008.
• Perret, Daniel, La formation d’un paysage ethnique. Batak et Malais de Sumatra nord-est. Paris: EFEO, Monographies, no 179, 1995.
Edisi baru dalam bahasa Indonesia: Kolonialisme dan Etnisitas. Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Saraswati Wardhany,penerjemah.
Jakarta, EFEO/KPG/Forum Jakarta-Paris/Puslitbang Arkenas, 2010.
• Perret, Daniel dan Surachman, Heddy (eds.), Histoire de Barus-Sumatra. III: Regards sur une place marchande de l’océan Indien (XIIe-milieu du XVIIe s.).
Paris: EFEO/Archipel (cahier d’Archipel 38).
• Perret, Daniel, Heddy Surachman, Lucas P. Koestoro, Sukawati Susetyo,
“Le programme archéologique franco-indonésien sur Padang Lawas (Sumatra Nord).
Réflexions préliminaires”, Archipel, 74, 2007: 45-82.
Courtesy Arsip Nasional Republik Indonesia dan The Corts Foundation
• Guillot, Claude (ed.), Lobu Tua. Sejarah Awal Barus.
Daniel Perret (penerjemah), Naniek H. Wibisono dan Ade Pristie Wahyo (peny. terj.).
Jakarta: EFEO/Association Archipel/Pusat Penelitian Arkeologi/Yayasan Obor Indonesia, 2002.
• Guillot, Claude; Perret D., Surachman H. et al., Histoire de Barus. Le site de Lobu Tua. II: Etude archéologique et Documents.
Paris: Archipel, Cahier d’Archipel 30, 2003. Edisi dalam bahasa Indonesia: Barus Seribu Tahun Yang Lalu.
Jakarta, EFEO/Forum Jakarta-Paris/KPG/Puslitbang Arkenas, 2008.
• Perret, Daniel, La formation d’un paysage ethnique. Batak et Malais de Sumatra nord-est. Paris: EFEO, Monographies, no 179, 1995.
Edisi baru dalam bahasa Indonesia: Kolonialisme dan Etnisitas. Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Saraswati Wardhany,penerjemah.
Jakarta, EFEO/KPG/Forum Jakarta-Paris/Puslitbang Arkenas, 2010.
• Perret, Daniel dan Surachman, Heddy (eds.), Histoire de Barus-Sumatra. III: Regards sur une place marchande de l’océan Indien (XIIe-milieu du XVIIe s.).
Paris: EFEO/Archipel (cahier d’Archipel 38).
• Perret, Daniel, Heddy Surachman, Lucas P. Koestoro, Sukawati Susetyo,
“Le programme archéologique franco-indonésien sur Padang Lawas (Sumatra Nord).
Réflexions préliminaires”, Archipel, 74, 2007: 45-82.
Courtesy Arsip Nasional Republik Indonesia dan The Corts Foundation
0 comments:
Post a Comment