Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev memberi hormat pada Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dalam kunjungannya ke Jakarta tahun 1959.
Uni Soviet mendukung gerakan antikolonialisme di Asia dan tertarik
dengan misi Sukarno untuk membebaskan seluruh Hindia Timur dari
pemerintahan kolonial Belanda. Dukungan terbuka dan bantuan persenjataan
Moskow terhadap Jakarta memaksa Belanda untuk bernegosiasi di meja
perundingan. Tak seperti perjuangan pembebasan negara-negara jajahan
Inggris yang akhirnya diberi jalan untuk merdeka dan membentuk negara
baru, Indonesia benar-benar harus melawan Belanda dalam perang empat
tahun untuk mencapai kemerdekaan seutuhnya.
Pada Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di seluruh
bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Papua. Pemerintah Belanda
beralasan bahwa pulau dan suku-suku yang mendiami Papua memiliki
kebudayaan mereka sendiri yang berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya.
Presiden pertama RI Sukarno, yang memimpin gerakan kemerdekaan
Indonesia, membuat misi pribadi untuk membebaskan wilayah yang saat itu
disebut sebagai Irian Barat dari kekuasaan Belanda.
Nama Irian adalah satu nama yang mengandung arti politik. Frans Kaisepo,
pahlawan nasional Indonesia dari Papua, pernah mengatakan, “Perubahan
nama Papua menjadi Irian, selain mempunyai arti historis, juga
mengandung semangat perjuangan: IRIAN artinya Ikut Republik Indonesia
Anti Nederland.” (Buku PEPERA 1969 terbitan tahun 1972, hal. 107 – 108).
“Pada awalnya, ini adalah upaya yang sia-sia,” kata Clarice Van den
Hengel, seorang peneliti dan ahli Indonesia yang tinggal di Den Haag,
kepada
RBTH. “Awalnya, Amerika, yang telah membentuk NATO,
mendukung Belanda, sedangkan Stalin tidak peduli dengan Indonesia yang
berada jauh di khatulistiwa.”
Upaya Sukarno untuk membebaskan Irian Barat dimulai dengan melakukan
negosiasi bilateral langsung dengan Belanda. Ketika langkah ini gagal,
Indonesia kemudian mencoba untuk menggalang dukungan di Majelis Umum
PBB. Namun, hal ini pun terbukti sia-sia.
Konfrontasi
Pada tahun 1956, Presiden Sukarno, yang memiliki kecenderungan jiwa
sosialis yang kuat, melakukan kunjungan pertamanya ke Moskow. Di Moskow,
sang presiden pertama RI membahas sengketa negaranya dengan Belanda,
yang kemudian disebut sebagai Sengketa Irian Barat.
Dari kiri ke kanan: kosmonot legendaris Uni Soviet Yuri Gagarin,
Nikita Khruchev, Presiden RI Soekarno, dan Leonid Brezhnev di Kremlin,
Moskow, Juni 1961. Sumber: RIA Novosti
Pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang mendukung gerakan
antikolonialisme di Asia dan Afrika, dengan cepat mengumumkan
dukungannya terhadap Indonesia yang pada waktu itu tengah berupaya
mendapatkan dukungan di PBB.
Moskow juga mulai mempersenjatai angkatan bersenjata Indonesia. Dari
akhir 1950-an hingga akhir masa kepemimpinan Sukarno pada 1966, Uni
Soviet telah memasok Indonesia dengan satu kapal penjelajah, 14 kapal
perusak, delapan kapal patroli antikapal selam, 20 kapal rudal, beberapa
kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan
lapis baja dan amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom.
Aktivitas militer Indonesia terus meningkat di wilyah yang
dipersengketakan ini sampai pertengahan tahun 1962. AU RI mulai
beroperasi dari pangkalan di pulau-pulau sekitar Irian Barat dan pesawat
pengebom Tupolev Tu-16 yang dikirim Soviet — lengkap dengan misil
antikapal AS-1 Kennel/KS-1 Kome — dikerahkan untuk mengantisipasi
serangan kapal HNLMS Karel Doorman milik Belanda. Sumber: Wikipedia
“Situasi benar-benar berubah ketika Indonesia dipersenjatai oleh
Soviet,” kata Van den Hengel. “Belanda sudah kalah perang dengan rakyat
Indonesia dan tidak siapa untuk berurusan dengan tentara Indonesia yang
dilengkapi dengan senjata modern.”
Dengan dukungan persenjataan Soviet, Indonesia memulai kebijakan konfrontasi dengan Belanda pada tahun 1960.
Subandrio Bertemu Khrushchev
Konfrontasi antara Indonesia dan Belanda melibatkan kombinasi tekanan
diplomatik, politik, dan ekonomi, serta kekuatan militer yang terbatas.
Tahap akhir konfrontasi memaksa invasi militer berskala penuh, suatu
rencana berisiko yang akan memaksa Amerika untuk campur tangan dan
membantu sekutu NATO mereka.
Menteri Luar Negeri RI Subandrio (1964). Sumber: Wikipedia
Selama puncak konfrontasi, Subandrio, menteri luar negeri Sukarno yang
fasih berbahasa Rusia, terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet.
Nikita Khrushchev menggambarkan peristiwa yang berujung pada konfrontasi
ini dalam memoarnya. “Saya bertanya kepada Subandrio, ‘Seberapa besar
kemungkinan kesepakatan (dengan Belanda) bisa tercapai’,” tulis
Khruschev.
“Dia menjawab, ‘Tidak terlalu besar.’ Saya bilang, ‘Jika Belanda tidak
bisa bersikap rasional dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini
akan menjadi perang yang, pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai
medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur
yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami
bekerja’.”
Meskipun dukungan Moskow terhadap Indonesia sangat jelas dan dinyatakan
secara terbuka, pembicaraan antara Khrushchev dan Subandrio ini
seharusnya bersifat rahasia. Namun, sang menlu, menurut memoar
Khrushchev, mengungkapkan hasil pembicaraannya itu kepada Amerika, yang
sama sekali tak ingin terjebak dalam krisis lain yang berpotensi menjadi
Perang Dunia.
“Ini menjadi momen berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat,” kata
Van den Hengel. “Selain ingin menghindari konfrontasi langsung dengan
Uni Soviet, AS tidak ingin terlihat bahwa negaranya tampak mendukung
penjajah Eropa melawan negara dunia ketiga yang baru merdeka.”
Di bawah tekanan Amerika, pada Agustus 1962, Belanda akhirnya setuju
untuk menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Pada 1963,
wilayah Irian Barat akhirnya diserahkan kepada Indonesia.
Setelah referendum tahun 1969, atau yang dikenal sebagai Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat dengan suara bulat memilih
bergabung dengan Indonesia. Meskipun dibantah oleh beberapa pengamat
Barat, hasil referendum diterima oleh Amerika Serikat, Uni Soviet,
Australia, serta 81 anggota PBB lainnya.
Namun, Belanda mengembangkan sekelompok orang yang hendak menentang
penggabungan wilayah Papua dengan Indonesia. Unsur-unsur ini kemudian
membentuk gerakan separatis yang hingga kini masih aktif di Papua.
https://id.rbth.com/politics/2017/01...arat_wyx686673